Usia dua puluh tiga tahun dan baru saja menyelesaikan studi memang bukan perkara mudah. Selain diserang pertanyaan “sudah kerja belum?” atau “kapan nikah?” dari teman-teman saat reuni SMA, hal menyebalkan lain juga datang saat tiba-tiba teman ibumu bertamu ke rumah dan tentu saja, sebagai anak perempuan yang dianggap harus anggun dan nurut, maka kamu harus berganti baju, membawakan minum dan menjawab basa-basi mereka dengan lungguh.
“Si Neng ini sudah jadi sarjana hukum ya mi, mau jadi apa? Pengacara?” lalu kamu jawab dengan anggukan sambil nyengir kuda, e ibu malah bilang “Enggak lah, mau ngajar aja, anak tetangga juga kuliah bidan ujungnya ngurus rumah tangga kok.”
Asem. Sebenarnya yang ditanya siapa, yang punya hak jawab siapa, sih?
Bahkan ketika kamu baru saja selesai mengisi webinar untuk membahas isu-isu yang krusial dan penting, orang-orang di rumah sempat-sempatnya protes dan bilang “nggak usah banyak gaya, belajar masak aja sana!”
Kalau kaian mengalami sebagian atau semua itu, ketahuilah kawan, kalian tidak sendiri.
Di masa begini yang mengharuskan untuk banyak-banyak tinggal di rumah, membuat saya harus berdamai setiap hari, mencoba merapikan isi kepala agar bisa waras sebaik mungkin menghadapi komentar-komentar yang bikin hadeh dan mumet.
Perasaan jengah semacam itu kadang-kadang harus ditambah dengan berita berisi tingkah laku pemerintah yang seliweran di timeline. Satu berita masih oke, bisa terobati dengan video gemas kucing, tapi masalahnya kalau sampai delapan berita dengan isi yang bikin mual lama-lama kok saya kasian sama diri saya sendiri. Belum lagi narasi-narasi misoginis dari kementrian agama yang bilang kalau pendidikan pra-nikah diprioritaskan untuk perempuan. Huft.
Tapi, dengan kondisi mental yang awut-awutan seperti ini, bikin saya benar-benar ingin bertanya, letak salah anak-perempuan-berusia-dua puluh tiga-baru-sarjana ini apa, ya?
Saya pribadi sebenarnya bisa dibilang sebagai anak yang cukup manis dan penurut di hadapan orang tua, apapun saya lakoni, sampai semuanya merasa senang. Disuruh pakai baju A, nurut. Diminta kuliah di B dan jurusannya C, nurut. Hal ini bisa terjadi karena norma-norma tradisional dalam keluarga masih kental. Tapi, seiring bertambahnya usia kok saya malah semakin berpikir, kayaknya kalau dirasa nggak sanggup atau nggak berminat, ya nggak usah dilakukan. Bukannya saya juga punya hak untuk memilih?
Perasaan sadar itu tumbuh setelah saya mengalami banyak hal, lalu direnungkan sebagai pengalaman nyata perempuan, belajar literatur gender, atau membaca esai-esai milik Mbak Kalis dan penulis perempuan lain yang menggugah semangat saya untuk jadi perempuan berdaya.
Dalam sebuah forum diskusi, salah satu narasumber berkata “Perempuan berhak memilih masa depannya untuk menjadi apapun yang ia mau, berhak memilih pakaian apa yang ia ingin kenakan, berhak memilih untuk menikah atau tidak menikah, berhak memilih untuk mempunyai anak atau tidak.”
Saya bergeming. Seperti mendapat kekuatan baru untuk menghadapi dunia yang kadang-kadang menyebalkan ini. Sebab, bagaimana tidak, kehidupan perempuan yang saya dapatkan saat remaja hanya terbatas pada produk hukum, perdebatan halal dan haram.
Perempuan tidak boleh menjabat tangan yang bukan mahram, haram.
Perempuan harus memakai hijab, sebab rambutnya aurat dan kalau terlihat maka hukumnya haram.
Suara perempuan harus pelan dan tidak boleh tertawa keras karena suara adalah aurat. Maka perempuan bernyanyi itu hukumnya haram.
Wah. Luar biasa. Kok saya sempat bangga menjadi perempuan yang sempit akan akses dan pilihan. Menjadi pasrah dan nrimo tanpa bertanya alasan rasional mengapa bisa-bisanya sehelai rambut bisa menyebabkan ayah tergelincir ke neraka.
Saya benar-benar mengimani, sebenarnya di sepanjang perjalanan kehidupan yang panjang ini, perempuan punya andil besar sebagai pemikir di segala aspek. Hanya saja tertutupi oleh politik dominasi kepentingan maskulin yang mereduksi perempuan ditakdirkan sebagai ibu rumah tangga tanpa adanya kesadaran untuk memilih menjadi ibu rumah tangga atau tidak.
Praktek diskriminasi gender yang terjadi di sekitar kita (atau bahkan pada diri sendiri) mestinya harus terhenti sampai disini. Perempuan mesti diberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Sebab, bukankah yang membuat manusia itu bernilai di mata tuhan adalah karena ketakwannya? bukan karena berpenis atau bervagina.
Nah lho, setelah uraian panjang tadi, apa sekarang kamu sudah memikirkan pilihanmu sendiri? #wink.