Jumat pagi saya merasakan sakit luar biasa (tapi sudah biasa jadinya) di bagian perut. Saya cek hp dan lihat tanggal, masih tanggal 17, kok. Ini bukan jadwal mens saya. Jadwal mens saya maju 8 hari dari tanggal yang seharusnya. Ini punya dampak yang signifikan buat saya, sebab jadwalnya tidak sesuai dengan dokter saya yang biasa. Selama ini saya memang melakukan check up rutin ke dokter kandungan, dan saya sedang dalam proses terapi hormon untuk kista saya.
Saya rasa ini penting. Ternyata cukup banyak perempuan (7 orang dari 600 itu dikit atau banyak, sih?) yang komen di story saya di Instagram soal keluhan saya sama asuransi yang ternyata tidak menjamin biaya kesehatan karena sakit menstruasi. Ada 2 topik yang layak dijadikan bahan julid mbak-mbak SJW ini pagi-pagi.
Kesalnya, setiap saya kontrol ke dokter dengan asuransi kesehatan, saya selalu membayar excess. Memang excess yang dibayar setiap kali kontrol hanya ada pada rentang nominal 150-200ribuan. Saya bilang “hanya” karena kalau ke dokter umum tanpa asuransi saja saya menghabiskan 700ribu, dan itu umum ya bukan spesialis. Jadi saya merasa membayar 150-200ribu untuk pengobatan ke dokter spesialis itu sudah sangat murah.
Tapi saya pikir-pikir lagi, kalau setiap bulan saya membayar polis asuransi dan saya harus membayar excess lagi mah,
“Ya terus ngapain punya asuransi, dong?!”
Nikah dan Punya Anak itu Bukan Solusi
Sabtu siang sedikit, perut saya benar-benar sakit lagi. Saya tremor dan saya merasa hampir tewas. Akhirnya saya pikir geus kudu ka RS ieu mah. Berangkatlah saya ke poli eksekutif kandungan di satu RS di Purwakarta. Celakanya, dokternya bukan dokter yang biasa menangani saya (ya karena jadwal mensnya maju 8 hari itu). Diceklah saya, USG seperti biasa blablabla.
Saya gak ngerti ya apakah setiap dokter akan melihat rekam medis pasien atau mengabaikannya. Sebab, ketika Bapak saya dengan penyakit jantungnya itu ganti dokter juga, si dokter barunya benar-benar mengabaikan rekam medis sebelumnya dan betul-betul mengobservasi semuanya dari awal.
Jadi untuk hal ini saya gak bikin kesal, lah. Itu mah gimana masing-masing dokter aja. Mau mengabaikan rekam medis sebelumnya atau gimana yang jelas ya dibuat lebih clear dan diobservasi menyeluruh aja saya udah lega.
Yang jadi masalah buat saya adalah, ketika saya baru selesai membersihkan gel dari perut saya, dokter ini menjejali saya pertanyaan-pertanyaan seperti:
“Sudah menikah belum?”
“Sudah berapa lama menikah?”
“Wah, harus cepet-cepet punya anak.”
Sebetulnya saya mengharapkan jawaban yang lebih logis, akademis, dan lebih kuat argumennya dibandingkan dengan pertanyaan yang sering didapat orang pada kumpulan acara keluarga besar atau reuni.
Atau minimal, itu dokter nanya dulu lah pertanyaan sesederhana
“Berencana untuk punya anak dalam 1 tahun ke depan?”
Saya perlu tahu sedarurat apa penyakit saya sampai saya harus cepat-cepat punya anak. Apa kaitannya? Saya juga sering dengar orang (nonmedis) bilang
“Kista mah biasanya sembuh pas melahirkan.”
Saya cuma senyam-senyum aja karena saya tahu kalau saya nanya pun dia bukan orang medis yang mungkin tidak bisa menjelaskan dan barangkali landasan dia bicara kaya gitu juga karena pengalaman orang terdekat dia aja. Bukan semua cyst survivors. Nah, sekarang saya dihadapkan sama obgyn, obgynnya sendiri malah bilang gitu.
Iya apa? Kenapa? Dikhawatirkan saya keburu tidak subur dan kistanya semakin parah sampai harus angkat rahim, kah? atau memang kista luruh saat proses persalinan, kah? atau apa?
Saya mungkin hanya tahu beberapa orang yang meskipun sudah punya anak tapi kistanya harus tetap diangkat seperti Rachel Goddard. Itu berarti, solusinya bukan punya anak, dong? Atau gimana, sih saya gak ngerti.
Saya sih berharap saya bisa dapat konsultasi dengan penjelasan yang rinci, detail, dan jelas, ya. Apalagi saya berada di poli eksekutif dengan segala kenyamanan fasilitas yang ada (tentu za biaya ekstra). Ya mirip-mirip Dufan Express Pass lah. Ya saya kira kan cuma industri hiburan za yang bisa express pass, kesehatan yang urusannya nyawa juga bisa kok.
Asuransi Tidak Menjamin Sakit karena Menstruasi
Pada pemeriksaan itu, saya menunggu cukup lama di sofa. Ada 30 menitan saking lamanya juga. Beberapa kali saya sempat nangis diam karena sakit, beberapa kali ngalenyep. Lalu seorang petugas (kasir atau apalah admission) menghampiri saya dan menanyakan kembali bagaimana akhirnya saya bisa berobat hari itu. Saya ingin bilang kasar tapi saya juga tahu dia pasti ditekan sama pihak asuransi. Saya jadi menjelaskan lagi blablabla.
Saya nunggu lagi, dan akhirnya obat saya diantar. Langsung lah saya diarahkan ke kasir. Lalu petugasnya bilang,
“Maaf ya, Bu. Lama. Asuransinya agak ribet sebab ini sakitnya karena sakit menstruasi.”
“Oh, meskipun ada riwayat kista?”
“Iya, Bu. Malah awalnya gak mau ngejamin mereka. Tadi juga nanyanya ribet banget, sampai 4x konfirmasi.”
“Hm anying.” kata saya dalam hati ke asuransi.
Udahlah ini mah bukan hal yang layak untuk didebatkan da kesehatan mah untuk semua orang atuh. Laki-laki, perempuan, transgender, dan apapun itu. Memang banyak asuransi yang tidak mau menjamin pasien dengan riwayat penyakit jantung, gagal ginjal, atau penyakit kronis yang butuh penanganan berkala dengan tindakan tertentu. Tapi saya juga tahu sebelum menjadi pelanggan, itu pasien juga di medcheck dulu.
Saya juga tahu intinya “harus sehat di awal” ketika terdaftar. Bukan yang kamu sudah ada penyakit kronis, baru kamu daftar. Ya gak bisa gitu asuransi mah. Bisa, tapi mungkin dipakainya nunggu 2 tahun.
Kalau pun saya tidak dijamin karena penyakit saya kronis, terus gimana dengan orang-orang yang belum terdiagnosa dan memutuskan ke dokter karena sakit mens? Gak dijamin juga?
Saya gak pakai asuransi juga saya menyiapkan uang untuk pengobatan saya, bayangkan yang gak siap. Bayangkan BPJSmu nunggak dan kamu gak bisa bayar tunggakannya. Bayangkan perempuan yang harus nahan sakit tiap bulan. Mending kalau uangnya kekumpul, kalau ternyata pakuciweuh sama kebutuhan dapur gimana?
Seberapa tuntas pemerintah menunaikan kewajibannya untuk memenuhi hak-hak perempuan? Monangys za lah jadi perempuan. Sudah sakit setiap bulan, mau berobat pakai asuransi tidak dijamin. Mau papsmear untuk deteksi kanker harus izin suami, terus kalau yang belum bersuami gimana:(
Seolah-olah otoritas tubuh perempuan ada di suaminya. Ya sebelas duabelas lah sama omongan dokter,
“Wah harus cepet-cepet punya anak.”
Sebagai perempuan yang sakit setiap mens dan harus berobat, Para Penyimpang ada yang punya pengalaman lain?
Love u kak ariniiii😗🌻
Luv u too kesayangan setiap manusia:*