Setelah hampir 30 menit memecah ombak, boat yang saya tumpangi perlahan merapat di Pelabuhan Toya Pakeh, Nusa Penida. Angin pagi membelai rambut, membawa aroma laut yang asin bercampur wangi dupa dari canang (persembahan) yang baru diletakkan.
Tidak jauh dari dermaga, terdapat pasar tradisional yang sudah ramai oleh pedagang yang menawarkan ikan segar. Ibu-ibu bertukar cerita, berteman dentang lonceng sepeda motor yang bersahutan. Saat menyusuri pasar itu, saya melihat perempuan-perempuan Bali dalam balutan kemben, bergerak cekatan dengan bakul di kepala.
Ada yang menata pisang emas, menimbang ikan hasil tangkapan suami, atau meracik bumbu dengan tangan terampil. Senyum mereka mengembang, tetapi di baliknya tersimpan kisah ketangguhan yang terjalin erat dengan tradisi—dan batasan yang menyertainya.
Dewi di Kitab, Hambasahaya di Realita
Bali kerap digambarkan sebagai tanah yang memuliakan perempuan. Dalam lontar-lontar kuno, misalnya, mereka dilihat sebagai perwujudan sakti—energi ilahiah yang menggerakkan kehidupan. Rigveda bahkan menyebut perempuan sebagai Vak, suara kosmis yang layak disembah.
Namun, realitas berkata lain. Sistem adat yang patriarkis masih membatasi peran perempuan. Misalnya, konsep mepamit dalam pernikahan membuat mereka “keluar” dari keluarga asal, seolah kehilangan identitas. Meski ada sistem nyentana—di mana laki-laki masuk ke keluarga istri—ini tetap dianggap sebagai pilihan kedua. Tanpa anak laki-laki, peran seorang ibu pun sering dianggap “tidak lengkap.”
Jegeg: Cantik yang Berbatas
Dalam budaya Bali, perempuan ideal sering dikaitkan dengan konsep jegeg. Secara harfiah, jegeg berarti cantik. Namun, dalam praktiknya, makna ini melampaui fisik. Dari sudut konstruksi sosial, perempuan yang dianggap jegeg tidak hanya memiliki paras elok, tetapi juga lembut, penurut, dan pandai membawa diri sesuai norma sosial.
Perempuan Bali diajarkan untuk menjadi jegeg dalam arti “menyenangkan,” baik dalam keluarga maupun masyarakat. Keindahan mereka dihargai, tetapi juga diawasi. Perempuan yang terlalu vokal dianggap kurang jegeg, begitu pula mereka yang terlalu bebas mengekspresikan diri.
Ironisnya, jegeg yang sejatinya bisa menjadi kekuatan justru sering dijadikan alat kontrol. Ada aroma objektifikasi di sana, sebuah pandangan yang berpotensi mengabaikan kualitas perempuan. Padahal, setiap perempuan punya nilai, bakat, dan kepribadian unik yang jauh melampaui konstruksi sosial tentang kecantikan.
Konsep jegeg yang sebatas fisik ini juga perlu dikritisi. Perempuan Bali mesti berpikir more than a body—melihat diri mereka sebagai sumber daya yang kuat, belajar mencintai, serta menghargai tubuh dengan cara yang lebih sehat dan holistik.
Sakti yang Terbelenggu
Istilah sakti sering digunakan untuk meromantisasi pengorbanan perempuan. Mereka dihormati dalam ritual, tetapi suaranya jarang terdengar dalam keputusan adat. Jabatan bendesa (kepala desa adat) masih didominasi laki-laki, dan di Banjar, perempuan lebih sering mengurus konsumsi ketimbang kebijakan.
Padahal, dalam ajaran Tantra, sakti adalah kekuatan revolusioner. Dewi Durga, simbol sakti yang perkasa, digambarkan sebagai penumpas kejahatan. Namun, di Bali, perempuan diharapkan untuk nrimo—menerima saat hak warisnya dikurangi atau suaranya diredam dalam musyawarah adat.
Saatnya Menjembatani Tradisi dan Emansipasi
Feminisme Hindu sebenarnya menawarkan pendekatan unik dalam memperjuangkan hak perempuan tanpa harus melawan tradisi, apalagi agama. Sebaliknya, perjuangan itu bisa dilakukan dengan menggali kembali nilai-nilai spiritual yang sejatinya adil. Dengan demikian, emansipasi dapat dicapai tanpa kehilangan identitas sebagai perempuan Bali dan Hindu.
Vandana Shiva, filsuf feminis India, pernah berkata, “Perempuan bukan pelengkap, tapi mitra sejati dalam menjaga bumi dan budaya.” Di Bali, mitra itu masih menunggu untuk diakui. Emansipasi masih menjadi jalan yang panjang.
Epilog: Sakti yang Bangkit
Di sudut Pasar Toya Pakeh, Nusa Penida—pulau yang dijuluki telur emasnya Pulau Bali—seorang nenek dengan tangan keriput menimbang beras. Matanya berbinar saat bercerita tentang cucunya yang kuliah di Denpasar. “Dia ingin jadi politisi, tapi tetap ikut ngayah di pura,” katanya bangga.
Di sanalah harapan tumbuh: tradisi tidak harus membelenggu, tetapi bisa menjadi pijakan untuk melompat lebih tinggi. Perempuan Bali perlu merebut kembali semangat sakti yang merdeka, menjadi penjaga adat yang progresif, serta penggerak perubahan yang tak lagi bisu atau sebatas pelengkap.
Catatan: Tulisan ini dibuat untuk menyambut Hari Perempuan Internasional.