Saya selalu merasa seorang elitis jika mengingat pernah menonton film ini. Perasaan itu muncul karena Kala terbilang film yang underrated. Walaupun menuai banyak pujian ketika perilisannya, jarang sekali orang tahu Kala ketika saya membicarakannya. Padahal, dengan tema yang tergolong fresh untuk film Indonesia. Kala begitu menggoda untuk dicicipi. Belum lagi, saya pernah membaca konspirasi kalau Soekarno menyimpan berton-ton emas di Swiss Bank. Membuat Kala mempunyai daya tarik tersendiri bagi saya.
Minggu kemarin, saya sempat memberitahu kepada Fredel kalau penamaan karakter Janus dan Eros pada film ini, mungkin saja berdasarkan benda langit. Mengingat salah satu bulan di Saturnus dan sebuah Asteroid mempunyai nama serupa. Berangkat dari perbincangan tersebut, Fredel pun menyarankan saya untuk mengulas film ini.
Kala bermula dari Eros (Ario Bayu). Seorang polisi yang tengah menyelidiki kasus 5 orang warga yang dibakar massa. Dalam penyelidikannya, Eros kesulitan menentukan pelaku, dikarenakan banyak saksi yang bungkam. Di tempat lain, seorang wartawan bernama Janus (Fachry Albaar) juga sedang menyelidiki kasus yang sama. Penelusuran Janus mengungkap sebuah fakta, bahwa kasus pembakaran tersebut menyimpan rahasia besar. Yaitu mengenai harta karun presiden pertama. Menjadi satu-satunya orang yang mengetahui lokasi harta karun. Janus pun diincar oleh pejabat-pejabat yang ingin menguasai harta tersebut.
Lewat sudut pandang Eros dan Janus, penonton akan diajak dalam menelusuri rahasia harta karun presiden pertama. Nantinya penelusuran mereka merujuk pada satu benang merah, yaitu ramalan Jayabaya. Dalam ramalannya, disebutkan bahwa harta tersebut akan membawa negeri pada kemakmuran, melalui 3 perantara: Ratu Adil, Sang Penidur, dan Pelindung Sang Penidur.
Menarik bagaimana Joko Anwar mengaitkan ramalan Jayabaya ini dengan journey para karakternya. Pada bagian akhir, terungkap bahwa Eros seorang polisi yang jujur ditakdirkan sebagai Ratu Adil. Sementara Janus sebagai satu-satunya orang yang tahu mengenai lokasi harta karun, dimandati menjadi Sang Penidur. Selain itu, ada Ranti (Fahrani) sebagai Pelindung Sang Penidur yang tugasnya melenyapkan siapapun yang mengetahui lokasi harta karun. Terkecuali Janus dan Eros.
Menonton Kala seperti menyusun kepingan sebuah puzzle. Rumit namun menyenangkan. Sejak awal, Kala tampak menyodorkan adegan yang terkesan tak berkaitan. Namun perlahan kepingan-kepinganya akan menyatu dan memunculkan perasaan puas ketika sampai pada kepingan terakhir. Dengan cerita yang sedemikian kompleks, Joko Anwar dengan mantap mengolahnya tanpa harus membuatnya ngejlimet. Masa bodoh jika konklusinya mudah ditebak. Toh, saya tetap ikut girang ketika para protagonisnya berhasil memenuhi ramalan.
Joko Anwar berhasil menciptakan dunianya sendiri. Memberi latar kisahnya di sebuah negri antah-berantah yang tidak pernah disebut namanya. Membuat Joko Anwar leluasa dalam bereksplorasi. Terutama dalam melontarkan beragam komentar sosial tanpa malu-malu. Masyarakat yang makin hari makin kehilangan kemanusiaannya, polisi dan pejabat yang menghalalkan segala cara untuk kepentingannya sendiri, pemerintahan yang bobrok, serta neegri yang diambang kehancuran. Semua dituturkan secara menohok di dunia imajiner hasil rekaanya.
Di sisi lain, Joko Anwar juga mencoba menerobos pakem ‘hero‘ yang sering ditampilkan di film-film sejenis. Yang biasanya digambarkan sebagai pria maskulin. Disini, hal tersebut coba diotak-atik. Eros yang ditunjuk sebagai Ratu Adil mempunyai orientasi seksual gay. Menarik ketika metafora ‘Ratu’ disini merupakan seorang pria homoseksual. Adapun Janus yang heteroseksual, mempunyai penyakit narkolepsi. Sehingga selalu tertidur jika terlalu capek, termasuk ketika berhubungan seksual. Padahal, hubungan seksual sering dijadikan simbol maskulinitas. Peran maskulin pun diberikan kepada Ranti, sebagai perempuan yang sedia menghunus pedangnya untuk melindungi Janus. Tak pelak, keberanian Joko Anwar dalam melawan stereotipe tersebut membuat dunia yang dibangunnya kian inklusif.
Kualitas produksi turut berperan penting dalam menambah cita rasa otentik dari dunia yang dibangun. Kostum, furniture dan gedung-gedung yang bergaya kolonial menambah kesan terasing namun juga terasa familiar. Sinematografi bergaya noir yang diusung juga bukan hanya gimmick belaka. Tata cahaya sangat dimaksimalkan untuk menggambarkan dunia yang suram tanpa harapan.
Untuk urusan acting, terbilang hanya pemeran utamanya saja yang bermain bagus, seperti Ario Bayu, Fachry Albar dan August Melaz. Sedangkan pemeran lainnya tidak bisa mengimbangi dengan baik. Sialnya, penggunaan dialog baku pada filmnya, membuat acting pemerannya cenderung canggung dan kaku.
Kala hadir bukan tanpa kekurangan. Dengan eksplorasi naskah dan teknis yang menawan, sayangnya beberapa bagian ceritanya terasa berlubang. Belum lagi, saya kurang sreg ketika beberapa hal lebih banyak dijelaskan secara verbal dibandingkan lewat visual. Dalam filmnya, berkali-kali disebutkan kalau “Negeri sedang dilanda kekacauan”. Namun tak sekalipun ada adegan yang menunjukan hal tersebut (Bagaimana saya mau percaya coba, huh!). Yang paling mengganggu adalah CGI-nya yang kasar. Membuat beberapa adegan gore malah berakhir konyol. Memang terkesan hal minor, namun sangat mengganggu experience menonton.
Sebagai karya keduanya, Kala seperti sebuah pagelaran ide gila dan ambisi seorang Joko Anwar. Sineas mana lagi yang berani bereksperimen meramu cerita penelusuran ala-ala detektif mengenai perebutan harta karun presiden pertama yang bersumber dari ramalan Jayabaya? Ditempatkan kedalam dunia yang surealis pula. Ya, dan Joko Anwar melakukannya di tahun 2007.
Sekali lagi. 2007!
Bahkan setelah 15 tahun berlalu, saya belum lagi menemukan film Indonesia seperti Kala.