Hari libur adalah waktunya leyeh-leyeh a.k.a rebahan di atas kasur yang makin hari semakin tipis, setipis dompetku. Seketika batal, saya ingat harus ambil obat di Puskesmas. Maka dari itu saya harus ke Puskemas. Saya keluarkan motor, dan gas ke Puskesmas. Setelah sampai, saya langsung ambil nomor antrian dan masuk ke poli dewasa. Di dalam poli umum, terlihat begitu ramai pengunjung Puskesmas. Saya kesulitan mencari tempat duduk. Setelah melihat ada yang kosong, saya pun duduk tepat di belakang dua orang ibu-ibu yang sedang mengobrol asyik. Terdengar sekilas, obrolan ibu-ibu itu sangat seru. Saya pun pengen ikut mendengarkan sambil berpura-pura bermain HP, biar nggak keliatan nguping banget. Salah satu Ibu itu melirik saya, tapi nggak berani membalasnya, takut kena semprot sama ibu-ibu itu. Cari aman sajalah!
Obrolan itu dimulai ketika Ibu A menanyakan namanya ke Ibu B. Saya sebut A dan B saja ya biar mudah.
“Ibu namanya siapa?” kata Ibu A.
“Saya Enny,” kata Ibu B sambil menunjukan kartu identitas periksanya.
“Lho, ternyata nama kita sama iya! Saya Enny juga aduhhh!” kata Ibu A dengan ekspresi kagumnya.
Terlihat Ibu A sangat mendominasi obrolan. Ia melihat bahwa Ibu B ini seringkali sakit dan harus bolak-balik ke Puskesmas dan si Ibu B ini memiliki celah sehingga Ibu A menyimpulkan hendak memberi kultum tipis-tipis untuk Ibu B. Tanpa ada kata pengantar atau basa-basi, si Ibu A ini memberikan sebuah cerita yang diselingi dakwah di dalamnya.
“Buk,” sambil menjawil pundak Ibu B supaya ia diminta untuk memperhatikannya ketika hendak memulai kultumnya, “saya ini kalo di rumah selalu salat dhuha, hajat, tahajud dan sunnah-sunnah lainnya. Itu saya rasakan sendiri kenikmatannya seolah saya dijaga oleh Allah dan saya selalu percaya bahwa Allah akan menjaga saya di dunia dan akhirat. Makanya, Buk, disela-sela waktu Ibu waktu menganggur, Ibu salat lah seperti saya ini, Buk! Insha Allah rezeki itu datang tanpa disangka-sangka, Buk, dan Ibu akan tenang nantinya.”
Si Ibu B ini mengangguk-ngangguk terus seolah ia setuju dengan semua omongannya. Saya yang dibelakang ingin sekali membantah pendapatnya itu. Tapi, saya masih punya akal sehat dan tahu tempat di mana semestinya saya menempatkan hal itu.
Si Ibu A itu masih melanjutkan obrolannya, kelihatnnya tambah seru. Saya mulai memasang telinga baik-baik; takut ada yang kelewat pembicaraannya. Setelah tadi temanya tentang agama, sekarang beralih ke kesehatan. Ia mengabarkan bahwa jadwal senam paginya itu telah berubah, tidak seperti dulu. Ia mengajak Ibu B untuk berangkat bareng bersamanya. Kebetulan rumah Ibu A dan Ibu B ini tak terlalu jauh. Aku tak tahu si Ibu B ini hanya mengiyakan saja tanpa peduli omongannya tadi atau ia memang benar hendak ikut senam?
Obrolan itu selesai ketika operator Puskesmas memanggil nama Ibu A, tapi urutan ia masuk ke ruangannya berbeda dengan Ibu B. Maka Ibu A terlihat melambaikan tangan pada Ibu B: tanda perpisahan supaya berharap ia bertemu lagi esok hari.
Saya mau berpendapat di sini mengenai obrolan ibu-ibu di atas tadi. Terus terang, saya terganggu sekali dengan narasi Ibu A ini yang memberi kultum pada Ibu B. Maksud saya, pengalaman spiritual itu cukup disimpan dalam diri sendiri saja. Tak usahlah, dibagikan sama orang. Tujuannya apa? meminta validasi agar semua pendapatmu benar dan mendapat pengakuan? Kasihan sekali, beragama kok minta validasi. Beragama ya cukup keteguhan hati dan mantap pada Ilahi. Berarti kan sudah terbukti bahwa si Ibu A ini perlu validasi terhadap argumen-argumennya selama ini yang bekerja atas dirinya. Bekerja di sini mengenai doa-doa yang dipanjatkannya sehari-hari. Yahhh, lagi-lagi kuasa agama mampu membius seseorang untuk mendominasi satu orang ke orang lainnya.
Begitu terlihat jelas Ibu B ini tak bisa membalas kata-kata Ibu A. “Ia juga takut harus membalas apa, mengingat kapasitas agamanya juga terbatas,” pikir saya. Orang-orang seperti Ibu A ini sudah terlalu banyak di dunia. Saking banyaknya, seperti sampah di Bantar Gebang sana. Ia berjualan agama supaya agama itu laku dan dibeli dengan mamakai narasi yang sedikit memaksa. Maksud saya, nggak perlu lah sama kayak gitu.
Penyampaian agama itu sebenarnya sudah bagus yang disampaikan oleh para terdahulu kita, seperti Kanjeng Nabi, Rasul dan Wali-wali Allah. Janganlah sekali-kali merusaknya dengan narasi jelekmu yang selalu kamu bawa itu! Siapa juga yang berani-berani berjualan dengan cara yang menurut saya sampah itu. SAMPAH UNTUK IBU-IBU A!
Yogyakarta, 25 Februari 2024.