Percakapan di Bawah Meja

“Aku tidak menghendaki anak darimu, Dik.”

“Kenapa, Mas? Sebab aku mantan pelacur?”

“Aku tidak menghendaki anak darimu, Dik.”

“Kenapa, Mas? Sebab aku mantan pelacur?”

“Bisa ya juga bisa tidak, tapi sepertinya tidak. Mengapa kau masih membahas itu?”

“Tapi, aku sangat mencintaimu dan sudah berjanji tidak tidur dengan siapa pun dalam kondisi apa pun. Aku sudah berjanji padamu aku akan setia, Mas.”

“Ya, aku tahu kau mencintaiku. Itu tidak bisa diragukan, Dik. Tidak bisa.”

“Lalu mengapa kau tidak menghendaki mempunyai anak? Bukankah kau menginginkan seorang anak, yang nantinya kau timang, kau ajari bergulat, dan lainnya, yang juga akan kau ceritakan bagaimana dunia ini berjalan, Mas?”

“Betul, Dik. Aku menghendaki itu semua. Kau tidak salah, juga tidak keliru.”

“Tapi apa, Mas, masalahnya sampai kau tidak menghendaki anak yang lahir dari rahimku? Kau meragukan cintaku, Mas!”

“Dik, bagaimana bisa kau mengatakan bahwa aku meragukan cintaku padamu?”

“Sebab kau tidak menghendaki anak dari rahimku, Mas.”

“Dik…”

“Mas.”

“Aku tahu kau akan kecewa mendengar apa yang akan aku katakan.”

“Sudah kebal dengan itu, Mas.”

“Loh? Sudah begitu seringkah aku membuatmu kecewa?”

“Ya. Maaf untuk itu.”

“Aku juga minta maaf untuk itu.”

“Lantas apa masalahnya?”

“Masalahnya ialah aku selalu menaruh curiga padamu. Seminggu lalu, selepas pulang dari rapatmu di hotel mewah itu di bilangan Dago, aku terus mengamatimu—bagaimana kamu melambaikan tangan dan melempar senyum pada rekanan lelakimu yang baru aku tahu kalau ia atasanmu. Sialnya, sudah tiga kali aku bermimpi kau tidur dengan lelaki itu dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Dan dalam mimpi itu, persenggamaan kalian berdua sangat mengesankan.”

“MAS!!!!”

“Kau mulai menangis dan cengeng akhir-akhir ini.”

“Baru beberapa menit lalu kau meminta maaf padaku sebab terlalu sering mengecewakanku, Mas.”

“Aku mengatakan hal yang jujur.”

“Pahit rasanya mendengar hal itu darimu.”

“Kenyataan memang selalu bekerja seperti itu.”

“Tapi, apakah benar kamu tidak menghendaki anak dari rahimku sebab kau melihat aku melambaikan tangan dan melempar senyum pada atasan, Mas? Yang benar saja.”

“Kau boleh meremehkan apa pun yang sudah aku duga kan padamu. Tapi itu benar adanya.”

“Itu namanya kau tidak cinta padaku, Mas.”

“Dik, sudah aku katakan dan sering buktikan bagaimana aku selalu mencintaimu.”

“Tidak, Mas. Itu tidak cukup ternyata.”

“Silakan, kau boleh berkata apa pun dan mengataiku bagaimanapun. Ternyata aku juga mulai cengeng sekarang. Lihat bagaimana aku menangis hari ini di hadapanmu.”

“Lucu, Mas.”

“Tidak ada hal lucu yang aku sampaikan. Kau tahu bagaimana aku menghadapi hari-hari dengan pengalaman mimpi itu?”

“Tidak. Kau baru mengatakannya hari ini.”

“Ya, betul. Dan baru hari inilah aku mempunyai kesanggupan untuk menyampaikan itu padamu.”

“Terima kasih.”

“Tapi aku tetap masih ingin menimang-nimang seorang bayi.”

Yah, Mas. Aku juga sama. Ingin merasakan bagaimana rasanya menggendong dan bagaimana rasanya menjadi orang tua.”

“Dik…”

“Iya, Mas?”

“Aku pikir kita tidak perlu melahirkan—atau tepatnya, kau tidak perlu melahirkan seorang anak—untuk menjadi orang tua. Dan kita juga tidak perlu punya anak kandung untuk jadi orang tua.”

“Maksudmu kita mengangkat seorang bayi untuk kita rawat dan jadikan anak?”

“Ya. Di luaran sana juga banyak anak-anak yang membutuhkan kasih sayang orang tua, yang ditinggalkan begitu saja oleh orang tua kandungnya.”

“Apa yang kamu sampaikan tidak jelek juga, Mas. Bisa kita pikirkan kemudian lebih dalam.”

“Ok, Dik.”

“Mari kita makan dulu, Mas, sebelum sajiannya dingin.”

“Baik, Dik.”

Sebelum mereka menyantap makanannya masing-masing, kedua pasang suami istri itu mengambil gawainya satu sama lain. Menengok apakah ada pesan yang masuk.

Pada layar gawai istri tampaklah satu pesan masuk:

“Sebelumnya aku mohon maaf tidak memberitahumu dan meminta semua orang untuk tidak menceritakannya padamu. Aku sudah tidak lagi di perusahaan. Aku mengundurkan diri. Terima kasih atas pengalaman 3 malam panjang itu. Sungguh mengesankan.”

Suami juga mendapat pesan masuk yang berbunyi:

“Terima kasih sudah menginap di Hotel Kahyangan. Ceritakan pengalaman mengesankan Anda.”

Suka warna hijau. Aktor di teater Samana. 

Related Post

No comments

Leave a Comment