Tulisan ini merupakan kampanye hitam dari Kepala DisPoraPakBud alias Dinas Porak-poranda Pak Budi. Beliau juga menjabat sebagai Ketua Ikatan Alumni Ilmunasi, kolektif konspirasi yang berfokus pada budidaya tuyul air tawar dan pocong hidroponik.
Katanya, bacalah sesuatu hal minimal dengan 2 cara:
(1) Secara mainstream; dan
(2) Secara nilai.
Contohnya, membaca Pemilu. Secara mainstream, orang Indonesia memahami Pemilu sebagai kegiatan untuk menghasilkan seorang pemimpin dengan cara voting melalui pencoblosan atau pencontrengan di TPS. Dengan serangkaian pernak-pernik acara yang harus dijalankan terlebih dahulu berdasarkan aturan-aturan yang telah dibuat oleh penyelenggara. Namun, Pemilu secara nilai dapat dipahami sebagai kegiatan untuk memilih seorang pemimpin yang tentunya bisa dengan cara apa saja dan tidak mesti di-voting gitu. Bukannya sekarang sudah bisa ya milih pemimpin dari jumlah followers atau dari kemampuan menjilatnya? Hm.
Tapi kemarin saya lihat status WA tetangga saya yang aktif ODOJ, upload video terjemahan Al-Maidah ayat 90. Dengan kemampuan cocoklogi terbaik se-Purwasuka ini, saya jadi tertarik membahasnya.
Bagaimana kalau sebenarnya Pemilu itu mengandung sebenarnya adalah kegiatan berjudi, kegiatan memabukkan, dan kegiatan mengundi nasib dengan panah yang termasuk perbuatan setan?!!
1. Al-Azlam (Mengundi Nasib)
Pemilu itu memang simpel, cuma butuh calon yang memenuhi persyaratan administratifnya, lalu masyarakat tinggal pilih deh. Mau kenal atau enggak dengan semua calon. Para calon juga tidak usah repot-repot terlihat kompeten dan ideal. Siapa pun yang mendapatkan suara pemilih terbanyak, ia yang menang dan mendapatkan amanat. Pokoknya, masyarakat hanya perlu menerima atas siapa yang terpilih itu dan menggantungkan harapan perubahan padanya, semoga nasib mereka akan lebih baik di tangan kepemimpinan Beliau yang terpilih itu. Saya pikir, realita itu adalah Al-Azlam (mengundi nasib), selayaknya orang-orang naif yang mengundi nasib pada anak panah. Rakyat kan hanya tinggal pasrah saja kalau memang anak panah itu melesat ke mana pun. Yang jelas, kalau panah sudah menunjukkan ke kanan, ya berarti ke kanan. Kalau ke kiri, ya berarti ke kiri.
2. Al-Anshob (Berkorban untuk Berhala)
Pada praktik Pemilu, circle-circlean adalah keniscayaan. Kalau ada 3 orang calon pemimpin, maka keberadaan 3 kubu di tatanan masyarakat itu sudah pasti terjadi adanya. Masing-masing kubu juga pasti mengelu-elukan kandidat pilihannya. Masing-masing mereka akan sangat fanatik pada kubu mereka sendiri. Apapun risikonya, pokoknya mau bagaimana pun caranya, mereka siap mempersembahkan semua asalkan kubu merekalah yang harus menang. Bagi saya, itu jelas-jelas pertanda Al-Anshob, yakni pemberhalaan.
3. Al-Maisir (Perjudian)
Sang kandidat berani menggelontorkan banyak hartanya, sanggup untuk meluangkan banyak waktunya, juga memforsir tenaganya, begitu pun dengan para pendukung atau pengusungnya. Pokoknya rela melakukan segala hal demi kemenangan yang hendak diraihnya. Itu Al-Maisir (perjudian) paling romantis yang pernah saya pandang. Mereka semua semangat betul mempertaruhkan segala apa yang mereka punya hanya demi satu kata: kemenangan. Terlintas Satu pertanyaan dalam benak: ‘Emang kalo menang mau apa sich??!!! mau langsung withdraw, kah??!!
4. Al-Khomru (Minuman Keras)
Realita seperti itu hampir setiap periode dialami oleh Bangsa Indonesia hari ini. Pemilu-voting sudah seperti Al-Khomru (minuman keras) saja, memabukkan masyarakat sehingga Kita semua tampak lugu untuk menemukan formula jitu dalam menentukan pemimpin supaya benar-benar dapat membangun peradaban madani yang mampu mewujudkan cita-cita bersama: perlindungan untuk segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kesimpulan
Al-Maidah: 90 adalah senjata para pemuka agama yang tempo lalu berhasil dilesatkan untuk men-delegalisasi minuman keras (Miras) di NKRI. Karena Miras dicap bertentangan dengan salah satu poin pada dalil tersebut, yakni: al-khomru. Lantas apakah Pemilu yang diuraikan di atas tampak jelas berbenturan pula dengan Al-Maidah: 90, akan diupayakan supaya dapat ditutup juga?
Tentu tidak! Sebab Pemilu itu tidak bergantung pada Alquran, melainkan pada konstitusi. Ya, seperti yang sudah sejak lama harus dimaklumi oleh kita bersama bahwa NKRI kan bukan negara Islam. Jadi enggak wajib lah mengindahkan hukum berlandaskan Alquran.
Lagi pula, secara pandangan mainstream, Pemilu kan gak cuma dilaksanakan oleh orang ber-KTP Islam doang. Walau pun secara nilai boleh jadi sebenarnya ajaran agama lain pun tidak mengindahkan cara memilih pemimpin dengan secara Pemilu voting begitu. Mungkin saja, bukan? Eh mungkin gak, sih?
So, intinya Kita harus toleran, jangan fanatik dan memaksakan bangsa ini berfilosofi menggunakan dalil Alquran atau hadis nabi. Maka kendati pun Pemilu itu berbenturan dengan Al Maidah: 90, ya itu bukan masalah dong bagi orang NKRI.
*Tulisan ini merupakan bagian dari dalam buku Upaya Berkenalan dengan Diri Sendiri (Al-Mahdi Sudah Dekat) karya Budi Hikmah
Isinya persepsi pribadi
Cukup menarik