Indonesia kembali berduka. Pada Minggu, 24 November 2024, seorang siswa SMKN 4 Semarang berinisial GRO (16) tewas diduga ditembak oleh Aipda Robig Zaenudin, anggota Satresnarkoba Polrestabes Semarang. Dari laporan Pikiran Rakyat, terdapat dua versi kronologi yang amat berbeda: versi kepolisian dan versi warga.
Kronologi Versi Kepolisian
Menurut kepolisian, insiden terjadi pukul 01.00 dini hari. Saat itu, terjadi tawuran antara Geng Seroja dan Geng Tanggul Pojok di daerah Paramount, Semarang. Polisi yang berpatroli mencoba memisahkan perkelahian, namun mendapat serangan balik sehingga melepaskan tembakan peringatan yang tak sengaja menyimpang mengenai pinggul GRO. Korban kemudian dibawa ke rumah sakit, tetapi nyawanya tidak tertolong.
Kronologi Versi Warga
Berbeda, warga melalui akun Facebook Nafas Tua, memandang bahwa polisi-polisi melakukan penembakan pada anak-anak sehabis pesta narkoba, di daerah Sampokong, Semarang. Satu korban siswa SMK meninggal. Dua orang kritis. Klaim ini diperkuat oleh seorang satpam di daerah Paramount, yang menyatakan tidak terjadi tawuran selama ia bertugas, yang bertentangan dengan keterangan pihak kepolisian.
Kejanggalan Keterangan Kepolisian
Kepolisian menyebut korban sebagai anggota geng, tetapi fakta bahwa GRO adalah anggota paskibra memicu keraguan. Anggota paskibra umumnya memiliki moral baik dan disiplin tinggi, nggak identik dengan perilaku tawuran.
Selain itu, status sebagai anggota Satresnarkoba juga menimbulkan potensi penyalahgunaan narkoba yang didapat dari barang bukti yang diduga dilakukan oleh Aipda Robig Zaenudin. Dalam kondisi di bawah pengaruh narkoba, kekerasan brutal terhadap GRO bisa saja terjadi dalam bentuk penembakan.
Kepolisian dan Kekerasan Kultural
Kekerasan semacam ini bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya, kasus Ferdy Sambo, intimidasi wartawan terkait pungli, kasus polisi menyiksa Afif sampai meninggal, dan kasus polisi tembak polisi, sudah menunjukkan pola kekerasan kultural dalam institusi kepolisian. Kekerasan seperti ini sering dibiarkan dengan pembenaran yang dianggap wajar.
Menurut Tuti Budirahayu, kekerasan kultural adalah kekerasan di dalam sebuah kultur, yang dibenarkan dan divalidasi secara kolektif sehingga dianggap normal. Klaim bahwa polisi yang nggak sengaja melukai korban hingga meninggal karena memberikan tembakan peringatan yang tak tepat sasaran untuk melerai konflik, secara sadar atau tidak, telah menormalisasi kekerasan.
Kekerasan ini berkembang dari rasa superior aparat terhadap warga sipil. Akibatnya, bisa muncul peningkatan kekerasan, menurunnya kepercayaan masyarakat, hingga ketidakstabilan sosial.
Reformasi Kepolisian
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia belum mengatur kebutuhan temperamen stabil untuk calon anggota polisi, asesmen dan sanksi penyalahgunaan narkoba pada polisi yang mengurusi narkoba, dan penyalahgunaan senjata. Syarat-syarat tersebut wajib dicantumkan dalam reformasi kepolisian.
Hal tersebut perlu dilakukan supaya kasus pembunuhan siswa SMK dan Ferdy Sambo tidak terjadi lagi.
Oh iya, kejahatan besar ada karena kejahatan kecil yang dinormalisasi atau tidak cepat diproses. Maka dari itu, Kode Etik Polri juga perlu disederhanakan, sehingga pelanggaran kecil bisa diselesaikan dengan sanksi administratif tanpa sidang etik yang panjang.