Tertanggal 23 September 2024, bertempat di Jakarta, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut TAP MPR Nomor VI/MPR/1998 Pasal 4 yang menyinggung keterlibatan Soeharto dalam praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).¹ Menurut MPR, tindakan ini didasarkan pada alasan bahwa yang bersangkutan sudah meninggal dunia dan oleh karena itu tidak boleh ada dendam sejarah.
Apa yang dilakukan oleh MPR ini bikin dongkol. Walaupun seseorang telah wafat, blunder yang mendiang Soeharto lakukan semasa hidup secara sengaja, terencana, dan berulang-ulang itu tidak boleh dicuci dalam sejarah! Hitler membunuh jutaan orang dan mempergunakan yang lainnya untuk dijadikan kelinci percobaan di kamp-kamp kerja paksa selama Perang Dunia Kedua.
Namun, setelah kematian Hitler dengan cara menembakkan pistol ke kepalanya sendiri di dalam bunker yang sempit pada tahun 1945, para cendekiawan tidak serta-merta menghilangkan sifat bengisnya yang khas seorang tiran dalam buku-buku dan pembicaraan mereka di mimbar-mimbar akademik.
Pasca kematiannya, orang-orang justru semakin giat mencari, mengumpulkan, menyelidiki, dan mendokumentasikan berbagai kejahatan yang dilakukan oleh Hitler. Tujuannya adalah untuk memahami apa saja bentuk kekejaman yang terjadi, apa motifnya, dan bagaimana cara atau modus operandinya.
Dari upaya tersebut, Jerman kemudian memperoleh solusi konkret: jelas, terasa, terukur, dan sistematis untuk menangkal paham fasisme ala Hitler, sehingga sejarah tidak terulang. Parlemen dan eksekutif negara tersebut kompak membuat dan menjalankan ketentuan hukum yang mengatur pencegahan, larangan, dan penindakan terhadap praktik fasisme. Di sekolah-sekolah, universitas, institusi politik, dan ruang publik lainnya, pandangan yang intoleran ini tidak mendapat tempat.
Hasilnya? Jerman menjadi salah satu negara yang menjunjung tinggi pluralisme. Orang-orang yang datang dari berbagai latar belakang budaya, etnis, dan bahkan negara yang berbeda bisa merasa aman tinggal dan mencari nafkah di Jerman. Dalam kasus ini, Jerman bisa mempergunakan sejarah sebagai bahan pembelajaran.
Sebaliknya, Indonesia tidak dapat belajar dari sejarah. Menganggap enteng apa yang mendiang Soeharto lakukan semasa hidup sebagai Presiden Republik Indonesia atau bahkan memberi ruang justifikasi untuk Soeharto dengan wacana memberikan gelar “Pahlawan Nasional” dapat berakibat sangat mengerikan.
Petaka Menormalisasi KKN Soeharto
Sebagaimana yang telah Redaksi Nyimpang bahas di awal, KKN adalah singkatan dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Untuk semakin memahami duduk perkara yang ada, redaksi akan menjelaskan definisi ketiga kata tersebut merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring Kemdikbud.
Korupsi adalah penggelapan uang negara yang ditujukan untuk keuntungan diri sendiri atau pihak lain.² Tindakan korupsi ini bisa ditemukan dalam praktik birokrasi di negara ini, misalnya ada pejabat yang menggunakan uang pajak untuk membeli mobil pribadi.
Kolusi adalah kegiatan bersama untuk tujuan tercela.³ Contohnya: kongkalikong menyembunyikan barang bukti. Sementara nepotisme adalah dorongan keterlaluan untuk memprioritaskan keluarga (dalam jabatan tertentu),⁴ seperti pada kasus anaknya “Mulyono”.
Dalam hal korupsi, kejaksaan Republik Indonesia telah menetapkan Soeharto sebagai tersangka karena diduga telah mengkorupsi anggaran negara pada yayasan-yayasan yang ia miliki, yang daftarnya adalah sebagai berikut:
- Yayasan Dana Sejahtera Mandiri
- Yayasan Supersemar
- Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais)
- Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab)
- Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila
- Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan
- Yayasan Trikora.⁵
Pada tahun 2015 dan lebih awal lagi 1999 para penegak hukum mengambil langkah yang serius untuk keluarga Soeharto.⁶
Mahkamah Agung mengeluarkan putusan pada tahun 2015 yang berisi ketentuan tidak menerima Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Yayasan Supersemar dan menerima permohonan Peninjauan Kembali Jaksa yang mewajibkan keluarga Soeharto membayar Rp 4,4 triliun kepada negara sebagai ganti rugi.
Tidak berhenti sampai di situ saja: Soeharto dan anaknya, Tutut, juga pernah terlibat kasus kolusi dan nepotisme terkait penyelewengan anggaran Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan pada tahun 1999 yang diusut Kejaksaan Agung.
Bayangkan, duit sebanyak Rp 4,4 triliun itu jumlah total yang hanya berasal dari salah satu yayasan Soeharto. Bayangkan, sampai sekarang keluarga Soeharto masih ongkang-ongkang kaki, tidak membayar kewajibannya. Bayangkan, persoalan Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan itu hanya salah satu dari sekian banyak proyek politik lainnya yang mendiang Soeharto jalani, sarat akan kolusi dan nepotisme (melakukan hal tercela bersama anaknya dan menempatkan anaknya pada posisi strategis).
Namun, Redaksi Nyimpang menyayangkan kenapa negara mencoba menormalisasi kejahatan-kejahatan Soeharto ini. Akibat dari upaya ini, praktik KKN bisa semakin banyak, yang berimbas pada menurunnya kualitas birokrasi, pembangunan infrastruktur, dan sumber daya manusia.
Urusan administrasi pemerintah menjadi bertele-tele dan memerlukan biaya tambahan tak tertulis alias pungli. Ini membuat sebagian orang malas mengurus dokumen penting seperti KTP dan KK.
Dengan adanya korupsi, misalnya, anggaran dana untuk membangun jalan tol masuk ke kantong pribadi, menurunkan mutu jalan. Ini bisa menimbulkan kecelakaan karena keberadaan jalan tol tidak sesuai standar yang ada.
Terakhir, jika korupsi, kolusi, dan nepotisme berjalan bersamaan dalam dunia pendidikan, maka kondisi anak didik akan kacau. Siswa atau mahasiswa perlu membayar buku ekstra yang sebenarnya gratis diberikan perpustakaan. Kepala sekolah atau rektor menunjuk anaknya yang tidak kompeten untuk mengajar dan berkomplot melakukan pungli. Akibatnya, siswa atau mahasiswa gagal memperoleh pendidikan optimal dan hak mereka untuk bebas dari penyelewengan.
Menormalisasi KKN lewat pembersihan nama Soeharto sama saja dengan membuat negara kacau.
Landasan Hukum:
TAP MPR Nomor VI/MPR/1998.
Referensi:
Dimas Bagus Arya, Wana Alamsyah, dan Danang Widoyoko – MPR Cabut Nama Soeharto: Akal Bulus Negara dalam Memutihkan Dosa Orde Baru! (Indonesia Corruption Watch).¹
Korupsi – Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring Kemdikbud.²
Kolusi – Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring Kemdikbud.³
Nepotisme – Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring Kemdikbud.⁴