“Jika para koruptor masih bisa hidup mewah bergelimang harta selama maupun sekeluarnya mereka dari penjara, lalu kenapa saya harus berkata tidak pada korupsi?”
Andai muncul pertanyaan seperti itu dari seorang siswa, bagaimana kita para pendidik mesti memberi jawaban yang logis? Jika saya yang harus menjawab, maka jawabannya akan cukup panjang.
Pertanyaan tersebut adalah jenis pertanyaan yang mengandung fallacy atau sesat pikir, bersifat individualis, cenderung egois dan hanya melihat harta sebagai satu-satunya hal penting dalam hidup. Alih-alih memeras energi untuk menjawab pertanyaan tersebut, lebih baik kita meluruskan pola pikirnya. Dan untuk mengubah pola pikir tersebut diperlukan cara yang sistematis dan disertai contoh nyata.
Pertama, mari kita ambil sebuah contoh. Ketika berbicara mengenai korupsi, ada banyak contoh kasus level negara yang bisa kita jadikan contoh. Yang pertama, sebut saja Indonesia di era 80an hingga akhir 90an, dan yang kedua adalah Venezuela pada masa 10 tahun terakhir. Membicarakan Indonesia di masa kejayaan Orde Baru agak membosankan karena setiap orang telah mafhum bagaimana kanker korupsi tumbuh sangat subur di era tersebut. Maka lebih asyik jika negara lain saja yang kita ghibahkan, Venezuela.
Venezuela hingga tahun 2017 bisa disebut sebagai negara yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja versi Amerika Latin. Pendapatan perkapita mereka mencapai 684,960.377 USD pada akhir tahun 2017, bandingkan dengan pendapatan perkapita kita di tahun tersebut yang ‘hanya’ sebesar 3.876,8. USD.
Namun memasuki akhir 2018, negara tersebut mengalami kebangkrutan parah. Mereka mengalami inflasi hingga 1.300.000 %. Bayangkan, harga barang-barang kebutuhan naik 13 ribu kali lipat. Sebagai perbandingan, kita pernah mengalami hiperinflasi pada tahun 1965, itu saja hanya 658%. Dan itu sudah cukup menimbulkan chaos yang berdarah-darah dan berujung pada pergantian kepemimpinan.
Apa penyebab utama kebangkrutan Venezuela tersebut? Jika bisa dirangkum dalam 2 kata, maka itu adalah: salah kelola. Dan salah kelola dalam suatu negara sebesar Venezuela, tak lain dan tak bukan pasti melibatkan korupsi dalam berbagai varian di dalamnya. Kita sama-sama tahu apa akibat dari korupsi di Venezuela.
Kita bisa saja bersikap masa bodoh terhadap apa yang terjadi di Venezuela. Namun jika mau sedikit berpikir, kita bisa mengambil pelajaran agar yang terjadi di sana tidak sampai menimpa kita. Bukankah pengalaman (Negara lain) adalah guru terbaik? Salah satunya adalah dengan mengikis habis tindak korupsi dengan segala variannya.
Kabar buruknya, memberantas korupsi bukanlah pekerjaan mudah yang bisa rampung dalam semalam. Andai bisa seperti itu, KPK istirahat saja. Serahkan pekerjaan kepada Bandung Bondowoso yang mampu membangun seribu candi hanya dengan semedi. Atau bisa juga kepada Sangkuriang putra Dayang Sumbi.
Memberantas korupsi adalah proses panjang yang bisa memakan waktu puluhan tahun, bahkan mungkin hingga alih generasi. Mengikis korupsi ada kaitannya dengan mengubah pola pikir, sikap dan perilaku. Dan untuk mengubah pola pikir, sikap dan perilaku tersebut, adakah yang lebih manjur dari pendidikan?
Berangkat dari hipotesa tersebut maka jalan terbaik untuk menanamkan sikap dan perilaku anti korupsi adalah melalui pendidikan, dan pendidikan paling ampuh harus dilakukan sejak usia dini. Menurut hasil penelitian Osbora, White dan Bloom, “perkembangan intelektual manusia pada usia 4 tahun sudah mencapai 50%, usia 8 tahun 80%, dan pada usia 18 tahun bisa mencapai 100%.”
Artinya, usia dini 0-8 tahun merupakan masa emas bagi pendidikan anak. Norma dan nilai-nilai apapun yang diajarkan pada periode emas tersebut akan lebih bisa diterima. Dengan begitu akan lebih besar kemungkinannya untuk bisa membentuk karakter anak hingga usia dewasa. Dengan dasar berpikir tersebut maka pendidikan anti korupsi akan lebih mengena jika diajarkan pada anak sejak usia dini.
Dalam upaya memberikan pendidikan anti korupsi kepada anak usia dini tersebut, guru bisa memanfaatkan penggunaan berbagai media. Tentu saja media yang disukai anak-anak. Misalkan media permainan monopoli dengan beberapa modifikasi. Atau media komik yang bisa dibuat dengan aplikasi di smartphone. Bisa juga melalui poster, pop-up book, dan lain-lain. Bagi guru angkatan milenial yang lebih melek teknologi, bisa juga dengan membuat film-film pendek. Untuk urusan membuat media pembelajaran ini, jangan pernah meragukan kreatifitas guru-guru TK dan SD.
Jika diajarkan secara ajeg dengan menggunakan media yang menarik, maka guru bisa menanamkan 5 sikap dasar anti korupsi pada anak-anak. Kelima sikap dasar tersebut adalah disiplin, tanggung jawab, jujur, sederhana dan berani mengungkapkan kebenaran. Kelima sikap tersebut otomatis akan membentuk antibody terhadap tindak korupsi pada diri anak-anak. Dengan begitu tidak akan muncul pertanyaan sesat pikir semacam: “Jika para koruptor masih bisa hidup mewah bergelimang harta selama maupun sekeluarnya mereka dari penjara, lalu kenapa saya harus berkata tidak pada korupsi?”
Demikianlah sumbangsih yang bisa dilakukan para guru untuk Indonesia yang nir korupsi. Perkara penegakan hukumnya biarlah menjadi urusan beliau-beliau yang duduk di Senayan sana. Soal law enforcement, memangnya guru bisa apa?