Di senja yang mulai kehilangan mentari, Muit termenung di Taman Sri Baduga. Sudah berjam-jam ia di sana, entah apa yang sedang ditunggu. Bukan angkot, bukan becak, bukan ojek, bukan juga odong-odong. Rupanya Muit sedang menunggu badai galau di hatinya mereda.
Air matanya pecah berlinangan, sesekali menetes di pipinya yang berona coklat kehitam-hitaman, lalu meluncur ke arah bibir.
“Duh asin!” gumannya lirih.
Air matanya memang terasa asin, tapi getir di hatinya begitu pahit mendera, merajam! Karena sang pujaan hati, Neng Suci, berikrar janji di pelaminan dengan pria lain pilihannya.
“Duh sakit!” keluhnya lagi.
Badai galau tak kunjung reda, dan Muit tak sanggup lagi menerima kandasnya harapan yang selama ini, ia pupuk begitu mesra di mimpi-mimpi malamnya. Hingga takdir berkata, Neng Suci bukanlah jodoh untuknya.
Neng Suci hanyalah gadis biasa, dengan rasionalitas berpikir yang sama pada umumnya.
Tak seperti Juliet dalam Roman Shakespeare atau Layla dalam Layla Majnun. Neng Suci hanyalah Neng Suci. Meski lebih menyukai Muit, tapi karena faktor ekonomi, terpaksa pilih yang lain, yang lebih menjanjikan masa depan.
“Gimana sih A, memang mau makan cinta aja!?” kenang Muit teringat perkataan Suci saat berdebat dengannya untuk kali terakhir.
Sebetulnya Suci sudah cukup bersabar menunggu Muit datang ke rumah untuk melamarnya. Tapi Muit selalu berkelit dengan mengundur-undur waktu.
Alasannya klasik: belum punya uang lah, nggak ada ongkos lah, kurang enak badan lah, nenek lagi sakit lah, atau bahkan:
“Nanti atuh Neng, minggu depan aja! Sekarang tetangga aku lagi hajatan, jadi orangtua aku belum bisa kuajak ke rumah Neng.” Alasan yang nggak masuk akal menurut Suci.
Bagi Suci sebetulnya tak soal bila Muit memang tak punya uang. Dia pun tak menuntut mahar yang berat atau pernikahan yang megah. Asalkan Muit punya pekerjaan atau minimal mau kerja serabutan, nikah di KUA pun, Suci rela.
Tapi masalahnya, Muit nggak peka. Sehari-hari Muit hanya sibuk rebahan, nyanyi-nyanyi waktu mandi, paling produktif, Muit hanya mengurusi peliharaan burungnya.
“Nanti kalau burung ini beranak, kita bisa dapat uang Neng,” ujar Muit yang sibuk memasukan pakan ke sangkar burungnya.
“Iya tapi mau sampai kapan, kalau nunggu burung beranak? Lagian burung itu bertelur, bukan beranak!” ujar Suci, geram.
Sudah sering Muit dinasehati orangtuanya, keluarganya, kerabat dan teman-temannya, bahkan Suci sendiri sampai capek membujuk Muit supaya bergerak cari kerjaan.
“Kalau A Muit gini terus, nggak kerja-kerja, kita kapan nikahnya! Emang kamu mau liat aku nikahnya sama orang lain!” ancam Suci yang sudah empat tahun pacaran dengan Muit.
“Jangan dong Neng! Terus nanti aku nikahnya sama siapa?”
“Sama burung kamu aja!” Suci jengkel.
Muit menyesal mengabaikan ancaman Suci dan malah terus sibuk mengurusi burungnya, yang ternyata tak lama kemudian, burungnya lepas dari sangkar.
“Duh apes!” sesal Muit.
Kini nasi sudah menjadi bubur. Burung lepas, Suci pun kandas. Muit pikir, nggak ada gunanya lagi. Maka ia bulatkan tekad untuk say “goodbye” sama dunia.
Taman Sri Baduga adalah destinasi wisata yang cukup populer di Purwakarta. Banyak turis domestik bahkan mancanegara yang setiap hari datang berkunjung.
Di Taman Sri Baduga ini ada ikon yang cukup menarik, yakni Patung Badak. Entah setan apa yang membisiki Muit sehingga ia berencana loncat dari patung badak tersebut.
Muit tengok kiri-kanan, merasa cukup aman, ia memanjat Patung Badak.
Saat berada di atas, Muit langsung loncat. Gubrak!!!
Alih-alih pindah alam, Muit justru nyungsep di tanah. Ternyata, Patung Badak itu memang tidak tinggi. Orang-orang di taman menatapnya penuh tanya.
“Kenapa loncat, Kang? Terus kenapa tiduran? Bangun! Bangun!” ujar Pak Satpol PP yang kebetulan lewat.
Muit membuka mata dan berusaha tersenyum. “Lagi olahraga aja, Pak. Loncat-loncatan, hehehe.”
Orang-orang hanya geleng kepala. Sementara Muit, di tengah rasa nyeri dan malu, akhirnya sadar.
Hidupnya belum selesai. la mengucap istighfar, bangkit dari tanah, dan memutuskan untuk benar-benar bangkit: bukan hanya dari jatuhnya tadi, tapi juga dari kegagalan dan kesedihannya.
Neng Suci memang bukan jodohnya, tapi itu bukan akhir segalanya. Taman Sri Baduga jadi saksi, bukan untuk akhir cerita, melainkan awal baru bagi Muit yang kini ingin berubah. Ahe. (*)