Saat main ke apartemen Lika, ia bertanya kapan patah hati pertamaku.
“Ayo ceritakan,” katanya sambil menarik tanganku. Ia hendak memotong kuku-kuku tanganku. Begitulah ia jika sedang kesepian, ia akan bilang, “Aku sedang ingin memotong kuku orang, nih.”
“Catut kuku ini mereknya Kenko, bukan?” tanyaku. Ia membalik-balik benda itu sekejap, lalu menunjukkan tulisan Made in China ke depanku.
“Tapi kamu pernah punya yang mereknya Kenko, kan?” tanyaku, tak puas. Ia mengangkat bahu dan memberikan tatapan, seolah berkata, “aku tak begitu ingat,” dan yang jelas aku nggak ngerti apa maksudmu nanya soal merek pemotong Kenko.
Aku agak lupa-lupa ingat. Apakah ia punya pemotong kuku dengan merek Kenko, atau pemotong kuku warna merah, atau mungkin ia punya cutter bermerek Kenko, atau…
Sesuatu terjadi saat aku masih muda, dan aku agak kesulitan menceritakannya sampai saat ini.
Tapi gampangnya begini, sahabat dekatku saat itu, Ali, mati setelah mengiris lengannya dengan cutter merah bermerek Kenko. Kami kira awalnya ia membelinya untuk keperluan—yah, biasalah santri—suka punya hobi yang nggak jelas, seperti menghias lemari dengan kertas kado atau karton warna-warni, dan semacamnya.
Intinya, itu cutter merah bermerek Kenko, dan alasanku terus bertanya apakah mantanku punya yang seperti itu hanya menandakan pikiranku sedang tak beres.
Geng Zawiyah Mim, termasuk aku di dalamnya, dikeluarkan sebagian besarnya karena terlibat pengeroyokan Ustaz Labib, yang menurut kami adalah sumber dari peristiwa tersebut.
“Ada yang jemput atau tidak, 24 jam ke depan kalian tidak boleh ada di pesantren ini!” usir Ustaz Badrian kepada kami.
Tak perlu 24 jam, kami semua sudah ada di Stasiun Purwakarta. Namun, sebelum kami yang diusir pergi, malam itu kami sepakat membakar jemuran umum di atap asrama sebelum cabut dengan sisa lebam di betis dan punggung.
Tidak ada yang mau menjemputku. Pamanku kecewa berat. Tidak banyak pilihan. Mungkin aku akan pergi ke rumah Lutfi.
Kebanyakan santri diusir karena tingkah mereka yang goblok, tapi kami diusir karena tidak terima pada kematian Ali.
Teman-temanku mengira aku sudah kadung jatuh sayang padanya, sehingga akan melakukan apa saja demi dirinya.
Kau cuma perlu korek, minyak tanah, dan keberanian. Hal terburuk dari membakar pondokmu sendiri adalah berurusan dengan polisi. Aku tidak pernah berurusan dengan polisi, tapi Ali pernah.
Kini aku 30 tahun. Semuanya sudah lewat belasan tahun saat temanku Ali memotong nadinya dengan cutter merah bermerek Kenko. Usia kami masih belasan tahun saat itu, dan kukira itulah patah hati yang pertamaku. Aku tidak benci atau terganggu melihat warna merah. Aku cuma benci melihat orang yang paling kupercayai menyerah. Kurang lebih begitu.
“Ayo, ceritalah. Bengong melulu. Senang banget ya tangannya kupegang-pegang begini,” katanya sedikit menggoda.
Kemudian aku menceritakan soal Niken, seorang gadis di seberang pesantren kami yang setiap malam Minggu selalu diapeli teman sekolahnya, dan setiap itu terjadi aku pergi ke kamar mandi, menangis tanpa alasan.