2 tahun yang lalu, tak ada satu hari pun ibu saya tak mengoceh terkait relokasi pasar tempat saya dan ibu saya berjualan, yaitu Pasar Senen/Pasar Leuwipanjang. Wajar saja ibu saya bereaksi demikian. Saat itu, laju ekonomi pedagang pasar, baru saja pulih pasca dihantam pandemi COVID-19. Daya beli masyarakat saja masih minim, tapi sudah diruwetkan dengan isu relokasi.
Sejak awal saya sudah antipati ketika rencana relokasi ini menyeruak. Jika menarik benang ke belakang, terus terang Purwakarta punya histori buruk soal relokasi pasar. Berkaca ke Pasar Simpang atau Pasar Jumat, alih-alih semakin ramai pengunjung dan meningkatkan kualitas hidup para pedagangnya, relokasi malah berujung meninggalkan kios-kios kosong terbengkalai karena pedagangnya berbondong-bondong gulung tikar.
Sebagai informasi, Pasar Senen mempunyai dua bagian pasar, satu terletak di area atas, sedangkan satunya di area bawah. Sedangkan, upaya relokasi kali ini untuk menertibkan pedagang-pedagang yang berjualan di luar pasar dan memenuhi trotoar, agar pindah ke pasar area atas yang masih mempunyai banyak lapak kosong.
Di luar dugaan, pemerintah justru meminta para pedagang untuk pindah semua ke pasar area atas dan mengosongkan pasar area bawah. Mungkin, maksudnya sih biar adil, dan semua pedagang terpusat di satu area. Tapi nyatanya hal ini menetaskan berbagai masalah baru.
Pengundian nomor untuk menempati lapak baru saja sudah bikin para pedagang gontok-gontokan. Pasalnya, beberapa pedagang yang sebelumnya sudah punya lapak di area bawah malah tidak kebagian lapak di area atas. Kemarahan para pedagang pun semakin membuncah tatkala ada isu simpang siur yang mengatakan kalau ada orang-orang baru yang belum pernah berjualan di pasar, malah mendapat lapak.
Pemerintah seakan tidak memperhitungkan variabel lain dalam merelokasi para pedagang. Pemerintah hanya menggunakan pendekatan populis guna menggaet simpati masyarakat dengan ilusi bahwa pemerintah dapat menyelesaikan masalah.
Namun, pemerintah luput menggunakan pendekatan kelas guna melihat lebih dekat keadaan sebenarnya. Bahwa di balik masyarakat pasar yang perputaran uangnya bisa mencapai puluhan juta dalam sehari, masih terdapat ketimpangan di sana. Ada kelompok rentan yang perlu mendapat perhatian khusus.
Bagi sebagian pedagang, terutama yang mempunyai banyak jenis barang dagangan. Lapak Pasar Senen yang hanya punya lebar kurang lebih satu meter ini, gak akan cukup untuk menjajakan barang dagangan mereka. Untuk mensiasatinya pedagang-pedagang yang punya modal lebih, bakal membeli/menyewa lapak sebelahnya. Sedangkan pedagang kecil lebih memilih untuk merenovasi lapaknya sedemikian rupa agar dapat menampung semua barang dagangannya. Yang mana kedua opsinya punya kesamaan, yaitu butuh merogoh kocek cukup dalam.
Pedagang yang punya modal lebih, dapat serta-merta mencaplok lapak milik pedagang-pedagang kecil lewat kekuatan kapital mereka. Sedangkan, para pedagang kecil yang untuk ambil barang dari produsen saja harus gali lubang tutup lubang, pasti akan pasrah lapaknya dilepas di tengah kondisi pasar yang tidak baik-baik saja.
Bisa dibilang, pindah lokasi dagang sama dengan memulai lagi semuanya dari awal. Pedagang butuh menyuntikkan dana yang besar untuk kembali membangun usahanya. Makanya beberapa pedagang kecil yang kondisinya sudah seret dan tidak punya modal lagi untuk merenovasi lapak atau sekedar me-restock barang dagangannya, mau tak mau memilih mundur serta merelakan lapaknya di-takeover.
Selain itu, relokasi jelas membuat omzet para pedagang menurun. Karena, kerap menimbulkan kebingungan bagi pembeli dalam mencari lokasi lapak pedagang yang sering ia kunjungi.
Perlu diketahui, kalau pedagang pasar itu lebih bergantung kepada langganan yang rutin belanja ke pasar untuk dijual lagi, karena orang yang belanja ke pasar untuk dikonsumsi sendiri itu hanya datang sesekali. Maka, sangat disayangkan apabila pedagang yang sudah punya banyak pelanggan di lokasi sebelumnya, harus kehilangan pelanggan di lokasi baru, karena lapaknya sulit ditemukan. Alhasil, omzet-nya sudah dipastikan boncos.
Hasilnya pun bisa ditebak, seperti yang sudah-sudah, setelah para pedagang direlokasi ke area atas, area pasar bawah pun jadi terbengkalai, kumuh dan tak terurus. Mungkin bila ingin dialihfungsikan tanpa harus dibenahi, akan cocok jika dijadikan tempat uji nyali atau wahana rumah hantu.
Pemerintah pun angkat tangan, karena merasa sudah berhasil menunaikan tugasnya dalam menertibkan pasar, sehingga mereka bisa memamerkan (hasil kerjanya?) di konten-konten sosial medianya kelak, supaya mendapat ribuan sanjungan di kolom komentar.
Di sisi lain, para pedagang melambaikan tangan, karena tak kuat harus menggelontorkan banyak uang untuk bertahan di lokasi baru demi menggaet kembali para pelanggan. Ibu saya bahkan harus meminjam uang dari bank dengan jumlah besar agar usahanya tetap berjalan.
Bola salju bernama “relokasi” itu terus menggelinding membuat para pedagang berguguran. Hantaman bola saljunya juga tak pelak menghantam saya. 2 tahun berselang, setelah ibu saya tiada, saya kehabisan modal untuk terus melanjutkan usaha di pasar. Saya pun masuk menjadi bagian dari pedagang yang gugur dan harus gulung tikar. Apesnya lagi, saya harus membayar sisa pinjaman ibu saya ke bank.
Tapi layaknya kebahagiaan, hidup yang tak mudah pun sesekali perlu dirayakan. Setelah dipukul telak oleh pemerintah lewat relokasi, sampai harus menjual semua aset peninggalan ibu saya untuk membayar sisa pinjamannya ke bank. Saya masih tetap bisa haha-hihi setiap hari sama Fredel, sembari memuntahkan kekesalan ke pemerintah lewat Nyimpang.
Saya merasa masih diuntungkan, karena punya banyak akses dalam mencari kesempatan lain. Namun, kadang terbesit dengan pedagang lain yang kehabisan modal tapi tidak punya banyak pilihan. Apakah mereka masih bisa membeli beras bulan ini? Apakah biaya sekolah anak-anaknya masih terpenuhi untuk beberapa semester kedepan? Apakah mereka menghadapi pilihan sulit, semacam harus mengurangi porsi makan agar uangnya cukup untuk membeli token listrik?
Pertanyaan lainnya: Apakah pemerintah memikirkan hal ini sebelum melakukan relokasi?