Paradoks Srengi antara Luka Cinta dan Pengkhianatan dalam Lakon Janger Merah Karya Ibed S. Yuga

Membaca naskah drama Janger Merah karya Ibed S. Yuga berarti memasuki dunia yang sarat ingatan, rahasia, dan pertarungan batin. Drama ini tidak hanya menampilkan kisah keluarga sederhana di sebuah desa, tetapi juga membawa kita pada peristiwa besar yang berhubungan dengan sejarah kelam bangsa. Sejak awal pembaca sudah dihadapkan pada kabar pembongkaran kuburan massal. Berita itu menjadi pemicu yang membangkitkan kembali trauma lama. Dari titik inilah seluruh konflik berawal, karena masa lalu yang coba dilupakan ternyata tidak bisa benar-benar dikubur.

Tokoh yang paling menonjol dalam lakon ini adalah Srengi. Ia hadir sebagai sosok yang menyimpan luka, seorang perempuan yang masa lalunya dipenuhi tragedi. Namun menariknya, Srengi tidak hanya hadir sebagai korban. Ia juga tokoh yang penuh kontradiksi. Di satu sisi ia menolak janger karena menganggapnya kutukan, di sisi lain ia tetap memelihara sesuatu yang lebih berbahaya, yakni belati yang ia sembunyikan di bawah ranjang selama bertahun-tahun. Dari sinilah lahir sebuah paradoks yang memperlihatkan bagaimana Srengi ingin terlihat sebagai sosok yang melindungi keluarga dari ingatan, tetapi kenyataannya ia justru terus memelihara ingatan itu dengan caranya sendiri.

Alur drama bergerak dari kabar pembongkaran kuburan, menuju konflik rumah tangga antara Srengi, suami, dan cucunya Alit. Adegan ketika Alit bernyanyi menjadi titik awal pertentangan. Srengi melarang cucunya melantunkan lagu janger karena ia yakin nyanyian itu hanya akan membawa sial. Ia ingin generasi baru terbebas dari beban masa lalu. Tetapi larangan itu ternyata bertolak belakang dengan tindakannya sendiri. Belati yang ia sembunyikan menunjukkan bahwa ia tidak benar-benar ingin melepaskan masa lalu.

Belati dalam drama ini bukan sekadar senjata. Ia simbol trauma yang disimpan, sesuatu yang tidak pernah benar-benar dibuang. Keputusan Srengi untuk tetap menyimpannya adalah bentuk pengkhianatan terhadap dirinya sendiri dan juga terhadap orang-orang yang percaya padanya. Ketika Suana menuduh Srengi berkhianat karena tidak menepati janji membuang belati, tuduhan itu memang tepat. Ia berusaha tampil sebagai korban, namun sekaligus menjadi pelaku karena membiarkan simbol kekerasan itu tetap ada di ruang hidupnya.

Klimaks drama semakin kuat ketika Srengi berbicara dengan suaminya. Dalam percakapan yang emosional, ia menyebut janger sebagai lagu biadab, tetapi pada saat yang sama mengakui bahwa lagu itu terlalu indah. Ia mengutuk, tetapi juga merindukan. Ia melarang orang lain bernyanyi, tetapi hatinya tetap terikat. Suaminya mengingat masa lalu ketika Srengi adalah primadona janger, seorang penari yang dikagumi banyak orang. Ingatan itu menegaskan bahwa janger adalah bagian tak terpisahkan dari diri Srengi, meskipun ia berusaha menolaknya.

Pertentangan ini menunjukkan paradoks yang dalam. Srengi tidak mampu hidup hanya dalam satu sisi. Ia terombang-ambing antara keinginan untuk melupakan dan kerinduan untuk tetap terhubung. Justru karena ia tidak bisa memilih, ia akhirnya hidup dalam kontradiksi yang menyakitkan. Drama ini memperlihatkan bahwa manusia sering kali tidak sederhana. Kita bisa mencintai sekaligus membenci dalam waktu bersamaan. Kita bisa melarang orang lain, tetapi sendiri diam-diam melanggar larangan itu.

Tokoh-tokoh lain juga memperkuat gambaran paradoks ini. Suaminya hadir sebagai sosok yang lebih realistis. Ia mengakui kekalahan mereka dan berharap Alit tidak ikut kalah. Dengan sikapnya yang tenang, suami Srengi menegaskan bahwa penerimaan bisa menjadi jalan keluar dari trauma. Alit sebagai cucu justru menjadi pewaris ingatan yang tak bisa dihapus. Suaranya melanjutkan lagu janger, menunjukkan bahwa ingatan tetap hidup di generasi baru. Dura mengambil peran penting ketika belati akhirnya dipakai untuk menyembelih ayam di pura. Sementara itu, Suana menghadirkan warna masyarakat dengan dunia tajen dan kampanye yang seolah menjadi latar hiruk pikuk kehidupan desa. Semua tokoh ini memperkuat posisi Srengi sebagai pusat kontradiksi.

Tema utama yang muncul jelas berkisar pada paradoks antara luka cinta dan pengkhianatan. Srengi mewakili manusia yang tidak mampu melepaskan masa lalu. Ia menggunakan luka sebagai alasan untuk melarang, tetapi juga bersembunyi di balik luka itu untuk membenarkan tindakannya sendiri. Ia seperti sedang bermain peran sebagai korban, padahal di saat yang sama ia melanggar janji dan menyakiti orang terdekatnya. Tema ini sangat relevan, karena dalam kehidupan sehari-hari pun banyak orang menjadikan trauma masa lalu sebagai tameng. Luka digunakan sebagai pembenaran, meski tindakannya melukai orang lain.

Drama Janger Merah mengingatkan bahwa luka bukan hanya milik pribadi. Ia bisa menjadi warisan yang menurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Belati yang disimpan Srengi akhirnya dipakai orang lain. Lagu yang ia larang justru tetap hidup melalui suara cucunya. Dengan cara itu, drama ini menunjukkan bahwa trauma yang tidak diselesaikan tidak akan hilang, ia hanya berganti bentuk dan berpindah tangan.

Menariknya, paradoks Srengi juga bisa dibaca sebagai gambaran masyarakat yang lebih luas. Kita sering kali mengutuk masa lalu tetapi diam-diam masih merindukannya. Kita ingin menolak trauma tetapi tetap menyimpannya di dalam. Bahkan dalam politik, masyarakat sering terlihat menolak kekerasan, namun di balik itu justru memeliharanya dalam bentuk lain. Srengi adalah cermin dari kondisi itu.

Secara keseluruhan, Janger Merah karya Ibed S. Yuga menghadirkan tokoh Srengi yang tidak sederhana. Ia penuh luka, cinta, dan pengkhianatan. Ia hidup dalam paradoks yang menyakitkan, tetapi juga membuatnya manusiawi. Dari alur, tokoh, hingga tema, semuanya menunjukkan bahwa Srengi bukan sekadar korban. Ia juga pelaku yang memilih untuk menyimpan luka. Ia melarang orang lain, tetapi dirinya tetap terikat.

Paradoks ini menjadi pelajaran bagi kita. Jangan sampai luka masa lalu hanya dijadikan alasan untuk mengulang kesalahan baru. Jangan sampai cinta justru melahirkan pengkhianatan, dan jangan sampai generasi baru kembali menanggung beban yang seharusnya sudah kita lepaskan. Keberanian untuk jujur dan menghadapi masa lalu adalah satu-satunya cara agar belati benar-benar bisa dibuang dan lagu janger bisa menjadi kenangan, bukan kutukan.

Author

  • Ardina Putri Wijaya

    Ardina Putri Wijaya tengah menempuh pendidikan di Program Studi Pendidikan Bahasa dn Sastra Indonesia, Universitas Singaperbangsa Karawang. Ia gemar membaca, menulis, serta mendesain. Ia percaya bahwa setiap cerita bisa menjadi cermin kehidupan. Bisa disapa di akun Instagram @1m_ardinaptr

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like