

Sumatra masih berduka sebab bencana banjir dan tanah longsor di tiga provinsinya masih belum ditanggulangi.
Sampai saat ini, jumlah korban jiwa telah melebihi seribu jiwa, dan lebih dari seratus ribu keluarga kehilangan rumahnya.
Penyebabnya tentu timbul akibat deforestasi hutan yang dialih fungsikan menjadi perkebunan sawit, yang setiap keputusannya merupakan akumulasi dari keputusan-keputusan politik yang selama puluhan tahun menormalisasi deforestasi, alih fungsi hutan, dan eksploitasi ruang hidup atas nama pertumbuhan ekonomi.
Maka, mari sebut saja dengan gamblang bahwa deforestasi untuk perkebunan sawit telah lama menjadi biang keladi. Siapa mau peduli? Air meluap, longsor terjadi, dan warga menjadi korban pertama sekaligus terakhir yang dipikirkan.
Alih-alih berhenti dan belajar, negara terburu-buru mengalihkan target deforestasi selanjutnya ke tanah Papua.
Dalam pertemuan dengan para kepala daerah Papua di Jakarta, Presiden Prabowo Subianto secara terbuka menyampaikan gagasan bahwa wilayah hutan Papua harus ditanami sawit, tebu, dan singkong untuk menghasilkan biodiesel dan etanol.
Pernyataan ini merupakan sinyal pulitik yang berbahaya, dan lagi-lagi, Papua kembali diposisikan sebagai ladang eksperimen dan cadangan sumber daya dompet istana.
Penting diketahui, makna dari wilayah hutan yang harus ditanami sawit dan tebu dan singkong yang sesungguhnya adalah membabat semua pohonnya, menyingkirkan segala keanekaragaman hayati di hutan tersebut dan juga mengusir masyarakat adat setempat.
Padahal bukti nyata tentang bahaya deforestasi masih terlihat di Sumatra, dan bahkan belum selesai.
Apakah belum cukup bencana alam yang terjadi di Sumatra menjadi pelajaran bagi mereka?
Berdasarkan data dari BPS jumlah luas perkebunan sawit di Papua pada 2022 mencapai 218.900 hektare, lalu bertambah menjadi 236.060 hektare pada 2024. Angka ini kian mendekati ambang batas ekologis Papua yang diperkirakan sekitar 290 ribu hektare.
Artinya, Papua sedang dipacu menuju titik kritis yang sama seperti Sumatra dan Kalimantan, hanya jeda waktu yang berbeda saja. Menghitung hari kalau kata Krisdayanti.
Lagipula alasan Prabowo terkesan pragmatis, mendapatkan biodesel dari sawit dengan merusak hutan Papua yang menjadi tempat masyarakat adat menggantungkan hidupnya adalah tindakan yang tidak adil. Seperti memberikan kapur ajaib pada Jimmy Neutron, dan orang tua peri kepada Rudi Tapudi. Ah! Gak nyambung, Blogg!
Terus alasan awalnya ingin menanam singkong kan buat swasembada pangan, tapi kenapa hasil singkongnya mau dijadikan etanol. Emangnya masyarakat di Papua makan etanol?
Investigasi Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mencatat bahwa sepanjang Januari–April 2022, dua perusahaan sawit, PT Inti Kebun Sejahtera (IKSJ) dan PT Inti Kebun Sawit (IKS) di Kabupaten Sorong, Papua Barat, telah membabat sekitar 300 hektare hutan hujan tropis tanpa konsultasi warga adat.
Sekitar 60 hektare dibabat oleh IKSJ dan 240 hektare oleh IKS. Kedua perusahaan ini merupakan anak usaha dari PT Ciliandry Anky Abadi (CAA), yang sahamnya terhubung dengan Ciliandra Fangiono, salah satu daibaan terkaya Indonesia di bidang sawit, dan bukan Papi Minpang tentu saja. Selengkapnya baca di sini.
Laporan sebelumnya yang dipublikasikan pada 2016 oleh Mongabay juga mengungkap PT Korindo Group, raksasa sawit asal Korea Selatan telah menghancurkan hutan Papua dan Maluku melalui pembukaan lahan sawit yang intensif.
Investigasi Mongabay tersebut menemukan bukti deforestasi besar-besaran di konsesi Korindo, termasuk pola pembakaran lahan yang disengaja untuk membuka hutan demi kebun sawit.
Aktivitas ini terjadi berulang selama beberapa tahun (bahkan di tahun-tahun sebelumnya) dan memicu konflik dengan masyarakat lokal yang hak-hak mereka diabaikan, sampai tim Upin Ipin notice (saking tidak hanya terjadi di satu tempat. Ingat, kan?

Cuan dari sawit ini nampaknya memang membikin candu. Bila hutan selalu dilihat sebagai ladang bisnis hanya menunggu waktu sampai hutan kita hilang. Hanya menunggu waktu Papua bakal mengalami bencana serupa dengan yang tengah terjadi di Sumatra.