Ketika aku kecil (eh tapi sampai sekarang masih juga, sih), sering berpikir bahwa kampungku itu sebuah negeri dongeng yang aman. Pribumi hidup sebagai petani dan para pelancong hidup sebagai buruh dengan upah yang cukup.
Di kampungku masih ada sawah, meski perlahan-lahan sawah itu berubah menjadi perumahan, masih ada pepohonan rindang dan hal-hal lain yang bisa membuat sebuah tempat bisa disebut kampung, kalau pengertian kampung mengacu pada suatu tempat yang asri dan rimba.
Oh iya, yang terpenting di kampungku masih ada warung Bah Udin tempat para pemuda nongkrong. Yang pasti, warung Bah Udin satu-satunya warung yang masih menerima kasbon. Kampungku selalu ramah terhadap para pelancong yang datang mencari penghidupan, namun kadangkala ada aja pelancong yang tidak tahu diri, merusak kedamaian kampungku.
Aku berpikir kampungku sebuah negeri dongeng bukan tanpa alasan. Ketika pandemi melanda, semua panik. Seluruh dunia panik, bahkan tiap-tiap negara menyatakan dirinya sekarat, tapi semuanya nampak biasa saja di kampungku, seperti ceruk dunia lain kampungku tidak sedikitpun tersentuh kepanikan pandemi.
Tukang bangunan masih kerja dan melakukan ritualnya seperti ngopi, buruh-buruh perempuan masih menunggu jemputan di pos ronda, tukang sayur setiap pagi mangkal dan tawar-menawar dengan ibu-ibu muda, dan yang paling jelas Bi Ula masih jualan nasi uduk setiap pagi. Bukannya aku menyepelekan pandemi, ya aku tahu pandemi dapat memusnahkan populasi manusia selain perang.
Tapi di kampungku, Semuanya berjalan sebagaimana mestinya, hanya ada hari-hari yang biasa. Gak ada istilah PPKM, PSBB atau apalah itu istilah-istilah yang dirancang sedemikian rupa oleh negara.
Aku mengatakan demikian dengan alasan yang jelas, bukan? Kampungku itu negeri dongeng, Jadi kamu tidak perlu repot-repot membantah perkataanku.
Namun kita tahu, entah itu negeri dongeng atau negeri yang nyata adanya pasti memiliki masalah, misal: setidaknya ada saja orang-orang jahat atau jalan rusak menuju negeri dongeng. Ya … kaya di Narnia atau Hogwarts yang sebetulnya aksesnya sukar dilalui, kan.
Begitupun dengan kampungku, yang sama juga kok, punya satu masalah yang tidak juga terselesaikan dan mungkin masalah itu akan tetap ada sepanjang usia Tuhan.
Begini, kampungku terletak di sepanjang jalan Badami-Loji. Kamu pasti tahu jalan ini memiliki tipe yang sama seperti jalur Pantura; jalur penghubung antar daerah.
Jalan Badami-Loji membelah kampung yang ada di sepanjang Kecamatan Telukjambe Barat hingga Tegalwaru yang berbatasan langsung dengan daerah Jonggol-Kabupaten Bogor. Meskipun jalan ini membelah kampung, jangan membayangkan jalanan yang sunyi, tenang, lancar dan lengang.
Di sana hanya ada lubang-lubang dan retak-retak di aspal. Jika kamu mengenakan sepeda motor di sepanjang Jalan Badami-Loji, maka perbanyaklah berdoa. Hal itu terjadi semenjak pabrik-pabrik dan perusahaan logistik mulai beroperasi.
Orang-orang asing datang dan Badami turut menjadi letak tumbuh kembang perindustrian Karawang. Mobil-mobil pengangkut besar (aku menyebutnya monster tapi editor nyimpang menyebutnya Optimus Prime) berlalu-lalang membuat jalanan rusak dan semakin banyak kecelakaan lalu-lintas parah seperti pengguna motor yang terlindas truk proyek.
Tentu saja Bumblebee dan kawanannya ini melewati kampungku. Mungkin sekilas nampak sepele dan bukan masalah besar, tapi ah masa iya ini sepele?! Masalah ini diperparah dengan tidak tertibnya jam operasional truk-truk tersebut. Truk-truk logistik yang seharusnya beroperasi di atas jam 12 malam, malah berkendara pada pagi dan sore hari.
Sebenarnya yang menjadi intinya ialah Jalan Badami-Loji gak boleh dilalui oleh kendaraan di atas 8 ton, karena jalannya termasuk dalam pemukiman milik kampung setempat atau mudahnya ya mana ada jalan kampung dipake lewat mobil tronton sih, ah! dan ini valid sama UU No. 22 Tahun 2009, loh. Ruas Jalan Badami-Loji merupakan jalan kelas III yang hanya boleh dilintasi kendaraan berbobot di bawah 8 Ton.
Para transformer ini melintas membawa muatan dari pabrik-pabrik kawasan industri menuju daerah Bogor, ditambah Bumblebee pengangkut kapur sampai Optimus Prime yang lagi jadi mobil kurir logistik antar provinsi.
Namun sayang sungguh sayang, hubungan pemerintah dengan para kapitalis empunya Transformer kalau dilihat-lihat malah makin mesra, truk-truk yang beratnya 30 ton dibiarkan lewat begitu saja. Bahkan banyak juga di beberapa titik seperti di Desa Nyangkokot atau Cintalanggeng malah jadi tempat parkir truk-truk besar itu. Padahal, kalau di Bandung, Bumblebee sama Optimus Prime biasanya parkir di jalanan sebesar Asia-Afrika. Gak tau ah, pusing.
Pemerintah kita dan para kapitalis itu toh terbukti gak menaati peraturan UU No. 22 Tahun 2009, kan?
Pernah warga Desa Margakaya (kampungku), Desa Margamulya, dan 3 desa lainnya berunjuk rasa soal kerusakan jalan dan isu pelanggaran ini pada tahun 2012, namun hasilnya? ya gak ada! kalau ada juga ya gak akan ada tulisan ini jadinya.
Comments 1