Tadi sore, tukang obat keliling menyodorkan tiga botol berisi cairan merah di meja. Saya sedang duduk mengisap rokok ketiga sambil menunggu bus jemputan. Sendirian.
Kantin itu kira-kira tiga menit jalan kaki dari kantor saya. Dinamai berdasarkan lokasinya yang bertetangga dengan Vihara. Ia memenuhi semua syarat tongkrongan asyik buat perokok: ruangan luas, terbuka, aliran udara lancar. Para buruh perokok seperti kawanan hewan sebelum banjir besar berbondong-bondong duduk lama-lama di sana. Mereka datang dari aneka macam perusahaan yang beroperasi di gedung-gedung sekitar. Sepengamatan saya ada tiga kantin di sekitar sini. Kantin Vihara salah satunya. Bahtera Nuh kaum perokok.
Sebagai pusat pertemuan tidak resmi para perokok, kantin Vihara surga bagi pengamen, tukang obat keliling, agen asuransi, marketing trading, pencari downline MLM, dan sebangsanya. Saya pernah menemui—atau ditemui?—semuanya. Yang paling menarik adalah tukang obat.
Tahun 1200, di Montpellier Prancis, sekolah kedokteran pertama di dunia membuka pendaftaran mahasiswa baru. 824 tahun lalu saat ilmu kedokteran diajarkan di bangku kuliah sampai 2024, mustahil ada satu obat penyembuh semua penyakit. Andaikan ada, para penemunya saat ini pasti sedang ongkang-ongkang kaki menerima kekayaan dari hak paten sambil mengelus-elus medali nobel. Dan saya kira, tukang obat yang menarik kursi lalu duduk di samping saya bukan salah satunya.
Thomas Sowell, ekonom Amerika murid dari bapak Kapitalisme Adam Smith, pernah bilang kira-kira begini: politik adalah seni menyembunyikan ambisi pribadi seolah-olah seperti kepentingan nasional. Sebagai mantan marinir, Sowell sangat paham bagaimana tangan-tangan militer mengamankan “kepentingan nasional”. Sebagai pengajar dan wartawan, ia tahu taktik pengusaha-penguasa merancang aturan yang tampak berpihak pada publik padahal menguntungkan golongan sendiri. Sekarang, duduk tepat di samping saya, tukang obat memainkan trik serupa.
Ia langsung mengenalkan khasiat ramuan dalam botol seukuran hand sanitizer tanpa memperkenalkan diri. Namaku tidak penting, begitu mungkin pikirnya, mukjizat dalam cairan ini yang lebih penting.
Tidak cukup dengan kata, ramuan itu dioleskan ke tangan saya. Ia bilang kalau merasakan sensasi panas, itu tanda obat bekerja. Kalau obat bekerja, itu tanda kamu sakit. Saya angguk-angguk saja, bukan tanda setuju, lebih pada mengagumi cara dia menahan diri tidak muntah saat menyampaikan omong kosong. Ia dianugerahi ketahanan terhadap rasa jijik setara para politisi. Kamu bisa mengapresiasi anugerah jenis ini dengan cara mengangguk pura-pura bodoh seperti saya, atau dengan cara lain, berdiri di depan istana setiap Kamis, misalnya. Apa pun caranya, kuping para politisi itu hanya mendengar suara mereka sendiri.
Saya akhirnya membeli ramuan itu. Bualan tukang obat itu memang sama dengan politisi. Bedanya, tukang obat membual untuk bertahan hidup, politisi bualannya merenggut hidup banyak orang. Tukang obat cari makan, politisi curi makan banyak orang.
Debat Capres terakhir diselenggarakan pada Minggu, 4 Januari 2024. Sebentar lagi. Tidak salah apabila Pemilu disebut pesta rakyat, karena hanya di momen itu kita leluasa balas dendam kepada politisi. Jika lima tahun ini protes kita tidak didengar, pada kesusahan dan kemiskinan kita mereka tutup mata, sekaranglah waktu bayar tuntas dendam.
Tidak ada satu obat yang menyembuhkan semua penyakit. Apalagi bila obat itu dipaparkan dalam waktu kurang dari lima menit dalam format debat yang hampir seluruhnya omong kosong belaka. Satu-satunya cara mengakhiri kebodohan ini adalah mematikan televisi, menutup ponsel, lalu membuka buku puisi.