November 1813, Raffles mesti melepas ratusan ribu hektar tanah negara ke tangan swasta, dengan alasan yang kala itu dianggap terlalu umum: negara alami krisis keuangan.
Jawa yang saat itu berada di bawah kendali pemerintahan kolonial Eropa, yang seyogyanya mewarisi kedigdayaan VOC dalam urusan bisnis, nyatanya menjadi negara yang hobi kekurangan uang.
Alih-alih memutar roda perkebunan yang industrialis, pemerintahan Belanda malah membuat mayoritas tanah bekas kumpeni multinasional tersebut menjadi tidak produktif.
Kekurangan dana segar untuk menjalankan operasional kenegaraan mengharuskan Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Hindia Belanda periode 1811-1816, melakukan liberalisasi lahan secara ugal-ugalan.
Terlepas dari banyak dugaan praktik nepotisme di balik kebijakan pemerintahan penjajah tersebut, liberalisasi atas lahan di beberapa wilayah justru dianggap untungkan kehidupan warga lokal atau pribumi.
Pemerintahan Raffles mengundang para pengusaha swasta, baik asli Belanda, maupun dari kalangan asing, seperti negara Eropa lain dan Cina, ke istana negara Stadhouse Batavia pada 25 Januari 1813 untuk dilakukan pelelangan tanah.
Dalam acara lelang tersebut, ditawarkan persil-persil lahan yang berada di wilayah Buitenzorg (Bogor), Krawang, Cianjur, dan Bandung.
Rerata persil berhasil di lepas ke tangan pengusaha kaya dengan harga 20.000 hingga 200.000 dolar Spanyol (mata uang yang saat itu menguasai ekonomi dunia).
Khusus di Afdeling Krawang, dua buah persil, yakni persil nomor 3 (Ciasem) dan persil nomor 4 (Pamanukan), berhasil didapatkan oleh dua orang pebisnis bernama J. Shrapnell dan Skelton.
Persil nomor 3 atau populer saat itu dengan nama persil Tjiasem (Ciasem) dibeli dengan harga 35.000 dolar Spanyol, seharga dengan persil nomor 4 atau persil Pamanoekan (Pamanukan).
Kesamaan kongsi bisnis yang memiliki kedua persil tersebut kelak melahirkan sebuah perusahaan perkebunan raksasa bernama Pamanoekan en Tjiasemland atau P en T Land.
Seluruh wilayah Pamanoekan en Tjiasemland seluas 2129,108 km2 itulah yang kelak menjadi wilayah pemerintahan Kabupaten Subang pada era modern.
P en T Land, Embrio Sosio-Ekonomi Kabupaten Subang Modern
Liberalisasi lahan oleh pemerintah di persil 3 dan 4 tak hanya mengalihkan kepemilikian tanah Subang kepada individu saja, melainkan menyulih-rupakan hampir seluruh aspek sosial dan ekonomi kehidupan manusia-manusianya.
Jauh sebelum dimiliki swasta asing, masyarakat Subang zaman dahulu memiliki corak produksi yang sama dengan kebanyakan masyarakat Nusantara, yakni petani subsisten.
Orientasi dari perkebunan dan pertanian, di antaranya padi, gula, kopi, yang dimiliki oleh warga Subang kala itu tidak lebih dari sekadar “dapur” rumahan, yakni untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarganya saja.
Berdirinya Pamanoekan en Tjiasemland mengubah wajah pertanian di utara Gunung Tangkuban Perahu tersebut menjadi murni komersialisasi dan industrialisasi.
Hasil panen yang semula cukup dinikmati oleh komunitas kecil kini menjadi komoditas yang diperjualbelikan, bahkan menjadi komoditi ekspor.
Belum lagi, pemerintahan kolonial yang hobi mengeksploitasi rakyat pribumi, salah satunya dengan kebijakan kultuurstelsel (tanam paksa) semakin memuluskan arah baru pertanian yang amat industri tersebut.
Bagi pemerintahan Hindia Belanda, tanah jajahan tak ubahnya pabrik yang mesti menghasilkan laba sebesar-besarnya dibanding sebagai komunitas manusia yang perlu dipenuhi hak-hak kemanusiaannya.
Anak ideologi dari kapitalisme klasik tersebut mewujudkan warga pribumi, termasuk warga Subang kala itu, menjadi sekelompok karyawan yang memiliki kewajiban produksi terhadap perusahaan, alih-alih sebagai warga negara yang mesti dilindungi negara.
Swastanisasi lahan tersebut membuat wilayah-wilayah di Hindia menjadi lahan partikelir yang dikuasai oleh tuan tanah yang berbeda-beda. Uniknya, perbedaan tuan tanah itu menciptakan kebijakan sosio-ekonomi antar satu wilayah dengan wilayah lain yang berbeda pula.
Machmoed Effendhie dalam “Petani dan Buruh Tani di Tanah Partikelir P en T” (1999) menyebutkan bahwa petani-petani Pamanoekan en Tjiasemland pada kurun 1910-1929 memiliki rata-rata penghasilan kotor sebesar fl. 75.27 per 1 bau.
Menurut Effendhie, penghasilan tersebut adalah yang terbesar dibandingkan dengan penghasilan para petani di tanah-tanah partikelir lainnya di Pulau Jawa.
Perbedaan tersebut merupakan satu dari sekian banyak bukti bahwa para tuan tanah yang berkuasa atas lahan partikelir ternyata memiliki visi yang berbeda-beda dalam pengelolaan lahan.
Kebijakan Tuan Tanah P en T Land yang Untungkan Warga Lokal
Dua puluh tujuh tahun kemudian pasca J. Shrapnell dan Skelton membeli lahan P en T Land dari pemerintah, seorang pengusaha asal Belanda bernama Peter William Hoffland, mengakuisisinya.
Di bawah kekuasaan tuan tanah yang baru ini, Pamanoekan en Tjiasemland bersulih menjadi perkebunan yang jauh lebih produktif.
P. W. Hoffland menanam berbagai jenis tanaman komoditas seperti kina, karet, kopi, hingga teh yang jejaknya masih dapat dilihat di beberapa titik di Kabupaten Subang hingga kini.
Berbeda dengan pendahulunya, Hoffland membuat patok-patok batasan yang jauh lebih jelas. Selain itu, ia merupakan seorang tuan tanah yang dianggap menguntungkan kehidupan warga lokal kala itu.
Di samping pengembangan bisnis yang sehat, keuntungan perkebunan yang didapatkan oleh Hoffland tak cuma membuat dirinya kaya seorang, melainkan ia gunakan untuk membangun berbagai infrastruktur untuk menunjang kegiatan warganya.
Di antara yang dibangun oleh Hoffland pada masa itu yakni jembatan, rumah sakit, jalan-jalan kota, hingga sekolah desa untuk masyarakat pribumi.
Tak sedikit infrastruktur buah kebijakan Hoffland masih dapat dinikmati oleh warga Subang sampai hari ini.
Mengutip Jan ten Brink dalam Op de grenzen der Preanger. Reisschetsen en mijmeringen (1861), Hoffland bahkan tak cuma menjadikan hasil bumi sebagai komoditas global, melainkan juga membuka pasar lokal untuk masyarakat dengan harga yang lebih murah dibanding pasar lain.
Seakan berbeda dari wajah kolonial yang kerap dianggap jahat dan menindas, Hoffland justru dijuluki sebagai seorang “Imperialis Humanis”.
Ia menerapkan aturan penggajian yang layak bagi para petani dan pegawai perkebunan. Sebagai tuan tanah, Hoffland membuka lapangan pekerjaan bagi kaum inlander untuk memperoleh kehidupan yang layak.
Kepuasan bumiputera Subang atas kebijakan Hoffland dapat dilihat dari kesaksian Effendhie. Ia bilang, tidak ditemukan gerakan-gerakan protes dan pemberontakan yang terjadi di tanah partikelir P en T Land seperti yang terjadi di tanah partikelir lainnya.
Sebagai perbandingan, Iim Imadudin, dkk. dalam “Social Movement in The Plantation Land of Pamanukan and Ciasem 1913” (2012) secara rinci menceritakan bagaimana pada 1913 masyarakat Subang berjilid-jilid melakukan protes atas berbagai kebijakan yang merugikan rakyat pribumi.
Gerakan protes tersebut bahkan sampai berhasil mencopot seorang Wakil Administrator pada 1 Juli 1913 dan kerap menyibukkan kepolisian kolonial dalam berbagai momen.
Subang 41 tahun pasca kepergian Hoffland menjadi tak ubahnya medan kerusuhan yang kebanyakan dipicu dari kebijakan cukai dan pajak yang tidak manusiawi.
Sebagai informasi, Hoffland tutup usia pada 4 Februari 1872 dan mewariskan lahan luas P en T Land kepada putranya.
Sayang, penerus Hoffland gagal melanjutkan kedigdayaan si “Kabupaten Swasta” Subang seperti ayahnya. Pamanoekan en Tjiasemland sejak saat itu secara berangsur mengalami kemunduran.
Roda ekonomi perkebunan tak lagi berputar, masyarakat lokal kembali pada kedudukannya sebagai warga biasa, tak lagi mendapat gaji perkebunan dan lepas dari berbagai tunjangan.
Guna menghindari kekacauan, pemerintah Hinda Belanda kembali membeli lahan itu selama kurun 1922 hingga 1923.
Ketika Jepang menduduki Tanah Air, lahan perkebunan P en T Land banyak yang dibongkar dan berhenti beroperasi. Puluhan ribu hektar kebun teh bahkan mengalami kekeringan.
Dua belas tahun pasca negara baru Indonesia diproklamirkan oleh Soekarno, lahan P en T Land dinasionalisasi dan tidak lagi menjadi perusahaan perkebunan.
Hingga pada hari ini, kita mengenal hamparan perkebunan yang pernah menjadi industri hasil bumi raksasa tersebut sebagai wilayah Kabupaten Subang.
Bagaimana Kita Menyambut Industrialisasi di Subang Saat Ini?
Era Hoffland memang tak mungkin dilupakan oleh masyarakat Subang. Meski ia adalah swasta “asing”, hak hidup warga lokal tetap menjadi perhatiannya hingga akhir hayat.
Namun, kenangan tentang industrialisasi tanah Subang pada era itu apakah hanya akan menjadi kenangan belaka?
Subang hari ini seakan kembali pada hari di mana Sir Thomas Stamford Raffles menjual hektaran lahan Subang ke tangan swasta.
Jika tidak percaya, silakan Anda berjalan sepanjang ruas Rawabadak, Pantura, Purwadadi, hingga Cipeundeuy, begitu berderetnya pabrik-pabrik miliki pengusaha asing berdiri.
Belum lagi, kawasan industri Subang Smartpolitan seluas 2.717 hektar bersama dengan jalur rantai pasok sepanjang tol pelabuhan Patimban sebentar lagi akan berdiri.
Menghadapi itu semua, apakah kita sebagai warga lokal akan menjadi manusia Subang era Hoffland yang makmur dan sejahtera, atau malah tersisihkan seperti pribumi tanah partikelir yang lain?
Jelas, akan semakin tersisihkan seperti pribumi tanah partikelir yang lain dibawah pemertintahan yang rakus dan rakjatnya yang tamak. Salam asu kabeh!
You suffer, but why!?