Jon Jandai punya naskah siap terbit, lalu naskah itu Jon kirimkan ke nulisbuku.com. Ada banyak jenis service yang situs itu sediakan sebetulnya, tapi yang paling penting adalah: semuanya hampir nol rupiah dan naskahmu sudah terdaftar ISBN (nomer serial buku internasional)
Hanya saja, kamu mesti beresin semua tetek bengeknya sendirian seperti editing naskah, layout (mereka bantu kamu dengan memberikan contoh format word), sampul, sampai display bukumu di website mereka.
Syarat lain (ini yang jadi sebab kena “nyaris nol rupiah”) adalah penulis mesti jadi pembeli pertama. Alasannya agar penulis tahu bentuk cetak buku yang ia kirimkan.
Jadi, pada penerbit seperti nulisbuku ya emang begitu model bisnisnya. Bukan karena mereka abai pada Jon Jandai, sekali lagi: begitulah model bisnisnya. Biasanya yang begini disebut Self Publishing.
Jadi ya, jangan harap ada diskusi serius sama admin atau ownernya soal konsep sampul, isi buku, gaya marketing, sampai yang sesepele ditemenin diskusi gaya-gayaan “melawan” jaringan kapital perbukuan Indonesia. Wkwkwk. Maaf, May.
Penerbit itu ya sama seperti perusahaan lainnya. Punya “model bisnis” sendiri-sendiri. Itu yang nantinya membedakan corak produksi penerbit a, b, dan z.
Sekarang, mari telaah “penerbit besar” yang buku terbitannya berjajar di toko buku besar. Ambil contoh yang paling umum: Gramedia.
Jon Jandai baru saja merampungkan naskah novel, tentu dia sudah mengira bahwa;
(a) naskah itu keren dan mungkin memanglah demikian;
(b) naskah itu akan naik jadi film suatu saat nanti
Jadi, Jon kirimlah naskah novelnya ke penerbit besar itu. Tapiii harus ingat juga, semakin besar sebuah kolam semakin banyak ikannya. Jadi, bukan cuma Jon Jandai yang mengirimkan naskah terbaiknya. Ada Ali Setia, Pepi Adisa, Dea Irawan, Ahmad Rizki, dan 58juta nama lainnya.
Baiklah 58 juta itu berlebihan. Bagaimana jika 8juta orang tapi masing-masingnya mengirim 5 naskah?
Berlebihan juga? Bodo amat. Tapi pikirkanlah ini…
Brand Gramedia sudah terlampau lekat dengan siapapun yang pernah bersentuhan dengan buku.
Ia jadi yang nomer 1 yang ada dalam pikiran orang ketika ngomongin penerbitan buku, toko buku, Tere Liye, dan banyak lagi.
Nah, oleh sebab banyak sekali naskah yang masuk ditambah opsi bisnis lain dari penerbit itu sendiri: sebutlah seperti project menerjemahkan naskah yang hits dari luar negeri (yang secara hitungan bisnis bisa jadi lebih menguntungkan) maka proses penerimaan naskah penulis baru (yang notabene masih spekulatif secara bisnis) akan membuat Gramedia terus-terusan meningkatkan “syarat” penerbitan naskah.
Nah kenapa ada syarat, dan syarat itu lebih ketat dari penerbitan semacam nulisbuku?
Karena model bisnis Gramedia itu sudah ngemodal besar dari awal.
Ia menangani hampir semuanya dari hulu ke hilir. Dari proses pra-produksi, sampai pasca produksinya. Dari brainstroming sampai majang di toko buku fisiknya!
Untuk usaha sebesar itu, ia harus membuat seleksi berdasarkan hitungan-bisnis yang sesuai model
Nah soal model-bisnis ini bisa lebih luas lagi dibicarakan. Pada penerbit-penerbit besar model-bisnis udah tentu selalu punya model bisnis yang variatif, dari yang paling terang benderang sampai yang agak remang-remang.
Kita bicarain ini kapan-kapan.
Nah kita jadi tahu alasan penerbit seperti nulisbuku.com (disebut self-publishing) berbeda dari penerbit seperti Gramedia (bisa disebut penerbit major) karena ya itu tadi, model bisnisnya beda.
Dengan mengetahui ini saja, sebaiknya kita ngerti, bahwa penolakan penerbit besar itu sebenarnya tidak menentukan kualitas naskahmu. Apalagi kalau syaratnya udah jauh melintas dari naskah itu sendiri. Misalnya “jumlah followers di Instagram” tadi itu.
Jadi kalau mau dipetakan gampangnya lagi…
Ada penerbit yang meminta bayaran (sebagai jasa menerbitkan dan produksi) pada penulis, yang disebut self-publishing. Ada juga penerbit major, yang tentu ja tidak meminta bayaran dari penulisnya, melainkan memberikan royalti pada penulis setiap ada buku yang terjual.
Nah di mana letak penerbit indie atau independen? Menurutku dia ada di antara kedua ini.
Mari kita coba bedah dikit penerbit independen/indie yang biasa disematkan pada Marjin Kiri. Penerbit yang semakin ke sini makin terasa pesonanya. Lalu, kenapa sejak awal aku menempatkan jenis penerbitan indie berada di antara spektrum penerbit-mayor dan self publishing?
Itu karena corak produksi dan gaya distribusinya, mengambil sejumput demi sejumput dari dua kutub yang berjauhan ini…
Marjin Kiri misalnya punya cara kerja seperti penerbit mayor, entah itu menetapkan syarat buku terbit (konten buku yang setidaknya punya haluan ideologi yg sama) karena itulah melakukan kurasi juga. Tapi ya setahuku, gak sampai mensyaratkan berapa jumlah followers juga. Di sinilah kukira letak independennya. Ia menentukan pada pangsa “pasar” seperti apa ia bermain.
Dan tentunya juga sistem royalti…
Gituu. Nah, sekarang udah tahu kan kalau mau nerbitin buku enaknya ke mana? he3x