Orang Asing yang Berduka

Innalillahi…” kata Ibu sekaligus mengecap bibirnya pertanda khawatir

Ck. Gusti nu Agung… Gak ada hujan gak ada angin. Ya Allah, bener ya yang namanya hidup mah gak ada yang tahu.” Ibu menggumam lagi sambil menutup teleponnya.

Ia bergegas naik tangga membangunkan Bapak yang baru saja pulang bekerja jam 8 pagi tadi.

Sedangkan aku tentu masih asyik bermain komputer. Sebab aku belum tahu siapa yang meninggal, jadi aku anteng saja bermain Zuma yang lidahnya melet-melet melemparkan bola-bola warna itu. Ya awalnya sih aku sedang menempel-nempelkan nama keluarga di karton tambalan super besar sebagai PR membuat silsilah keluarga, tapi karena aku keburu pusing sebab saudaraku banyak sekali itu, aku mau tak mau jadi harus bermain Zuma dulu supaya gak bosan.

Tak lama setelah aku menuntaskan level yang semakin sulit itu, Bapak muncul dan langsung bergegas ke kamar mandi.

Dalam hati aku terheran sebetulnya, sebab tumben sekali si Bapak gak marah-marah pas dibangunin Ibu waktu pulang shift malam. Biasanya, kalau kehabisan gas pas Ibu lagi masak dan Ibu membangunkannya, si Bapak marahnya bisa sampai 2 hari kemudian.

Waduh. Ini sih gawat. Siapa yang meninggal, ya?!” gumamku singkat saja

Aku sambil memikirkan saudara-saudara Bapakku yang banyaknya bukan main itu. Aku mengingat-ingat siapa yang sedang dalam kondisi sekarat atau sakit parah bertahun-tahun, tapi belakangan toh memang tidak ada yang menunjukkan tanda-tanda mau meninggal.

Si Bapak cepat pula mandinya. Ibu sudah menyiapkan baju koko hitam dan selesai diletakannya, si Bapak langsung memakai baju yang dipakai para muslim melayat itu.

Sekarang Ibu yang masuk ke kamar mandi dan bergegas. Byur byur suaranya. Dari dalam kamar mandi, Ibu berteriak begini:

“Neng! Cepat mandi kita berangkat ke Ranggon!”

Bapak menambahkan “Iya, cepat matikan komputernya jangan main game terus!”

Aku langsung mencari shut down di Windows dengan wallpaper gunung hijau dan langit biru sekali itu. Sambil menunggu CPU-nya yang berisik itu mati, aku mengambil bajuku. Aku tidak punya baju muslim berwarna hitam, maka aku ambil saja baju muslimku yang warnanya hijau tua. Ya, setidaknya itu warna tergelapku dan aku masih pakai jilbab. Lagian tidak mungkin aku ke pasar dulu, kan?

Ibu, Bapak, dan aku menuruni mobil. Ibu membawa wakul yang diberi lap kotak warna merah berisi beras, dan memasukkan banyak lembaran uang ke dalam amplop. Aku tiba di rumah Uwa di Ranggon.

Aku tahu saudaraku di Ranggon meninggal, tapi entah itu Uwa laki-lakiku, istrinya, atau anaknya aku tak tahu dan aku gak berani nanya sama sekali. Ibu dan Bapak jelas memunculkan wajah sedih dan menahan-nahan tangis biar tumpah pas ketemu keluarga mereka di Ranggon.

Ranggon, sebuah desa di pelosok Karawang yang masih punya banyak lahan sawah waktu itu. Di perjalanan, aku bisa melihat banyak padi yang menguning. Beberapa jerami kering yang sudah kosong bekas dipukul-pukul petani bahkan sudah menggunduk. Biasanya aku suka belajar menyetir sepeda roda dua di saat-saat sore waktu musim panen begini. Sore ini juga rencanaku begitu setelah selesai mengerjakan PR yang berat dan lama selesainya itu. Tapi apa boleh buat? Aku harus ikut tahlilan kalau begini.

Baca Lainnya: Ingin Jadi Ibu

Uwaku yang di Ranggon juga juragan sawah. Uwaku itu bekerja di perusahaan pupuk negara, dan ia punya sawah di belakang rumahku di Kosambi.

Sawahnya luas sekali. Kalau datang waktu istirahat, kadang ia numpang makan di rumahku sambil melihat sawahnya. Di saat itu lah aku juga sering pergi ke sawah di belakang rumah. Duduk santai di saung, bermain pompa air, membuat kalung dari daun singkong. Aku juga suka membunyikan sebilah angklung buat mengusir burung. Atau, aku menarik-narik kenur yang dibentangkan di sepanjang petak sawah, dan begitu tali kenur aku mainkan, maka kaleng-kalengnya akan berbunyi kencang dan pergilah burung-burung yang memakan padi di sawah Uwa itu.

Aku tidak berani lagi main ke sawah kalau tidak didampingi orang dewasa. Ya, setelah aku pernah terangkat traktor, dan jatuh ke kolam lele hingga terpatil kakiku.

Sawah Uwa di Ranggon juga banyak. Uwa itu orang kaya, suka ke masjid, dan suka jadi imam. Tapi rumahnya itu jauh sekali dengan pabrik pupuk itu, sehingga Uwa memilih pulang ke kontrakan di Pejaten, sebuah desa di samping pabrik pupuk punya negara yang presidennya SBY atau Mega aku lupa.

Sudah banyak keluarga Bapak menunggu di sana. Semuanya berpelukan dan menangis lagi ketika melihat Bapak. Astaga. Anak-anak Uwa dan istri Uwa ada. Berarti sudah pastilah Uwa yang meninggal.

Baca Lainnya: Payung di Ujung Surup

Itu hari Sabtu dan Uwa tidak ke pabrik, jadwal kerja Uwa sama dengan madrasahku. Maka, sudah pasti hari itu Uwa tidak ke rumahku untuk makan siang, sebab aku pun libur sekolah.

Aku melihat Uwa yang sering menggendongku terbaring dengan samping yang wangi minyak kemenyan. Uwa mati, dan aku tentu sedih, tapi aku terlanjur bingung saja. Aku cuma bisa menangis kecil melihat Uwa. Orang-orang dewasa menghalangi pandanganku yang gak boleh dekat-dekat dengan jenazahnya.

Bapakku boleh mendekat karena dia adiknya, itupun Bapak harus menahan air matanya supaya gak kena kulit Uwa. Sebab kalau air matanya menyentuh kulit Uwa, bisa-bisa kulit Uwa terbakar api neraka katanya.

Maka apa jadinya Uwa kalau aku mendekati jenazahnya, coba?!

Aku beberapa kali terhempas orang-orang yang melayat. Uwa sudah dimandikan. Kini gilirannya didoakan. Beberapa orang yang masih berdoa berkumpul di tengah. Bapak melewati orang-orang itu dan duduk di dekat mayat Uwa.

Baca Lainnya: Suara dari Tahun 2013

Bapak adalah keluarga yang terakhir datang, maka, Bapakku yang juga mampu memimpin doa itu membaca Yasin, dan orang-orang mengikutinya.

Bapak-bapak yang lain yang bukan keluarga menunggu di luar. Ada yang memegang-megang bendera kuning, ada yang merokok, ada juga yang membenahi parkir motor. Sedangkan Ibu langsung ke dapur, membantu saudara-saudara Bapak mempersiapkan entah.

Aku menunggu bosan, karena sepupu-sepupuku juga ada yang ikut mengaji, ada yang digendong Ibunya, atau dipangku Bapaknya sambil baca Yasin. Sepupuku yang dewasa juga sama mengaji. Hanya aku saja yang jauh karena sudah sempit juga, sih.

Ketika selesai membaca Yasin, Bapakku merapal doa dan diaminkan juga oleh semua yang hadir. Wah, suaranya kencang sekali, banyak juga orangnya. Semuanya saudaraku. Entah kenapa aku punya banyak sekali saudara. Sepertinya Kakekku yang terkenal galak itu punya anak 3 lusin lebih.

Tiba-tiba, seorang perempuan berkerudung panjang datang. Wajahnya tidak kelihatan karena sebelah tangannya menutupi wajahnya dengan sisa kain kerudung itu. Lalu sebelahnya lagi memegang anak kecil, laki-laki. Lebih kecil dariku dan sepertinya belum sekolah.

Semua orang heran melihatnya, tapi perempuan itu langsung permisi pada orang-orang yang duduk bersila, ia langsung duduk menyela Bapakku untuk melihat Uwa. Semua orang terdiam dan kebingungan melihatnya. Tidak ada yang mengenalnya sama sekali. Tidak ada yang bertanya pula. Lalu Ibuku mulai mendatanginya, karena semua orang bingung, tapi tak ada yang berani bertanya.

Aku hanya melihat anaknya saja. “Apakah mungkin itu saudara Bapak juga? Saudara Bapak kan banyak, dan aku saja kebingungan menghapal saudaraku. Tapi kenapa tidak ada yang kenal dengannya?

Ibuku yang berani itu lalu berjalan dari dapur dan bertanya padanya, lalu perempuan itu memeluk Ibuku.

Ibuku terkejut. Meskipun berbisik, aku yakin beberapa orang di dekat perempuan itu mendengarnya, termasuk istri Uwaku. Istri Uwa pingsan, hampir menindih mayat Uwa. Lalu keadaan jadi ricuh. Bapak dan adiknya menggotong istri Uwa. Lalu sayup-sayup aku mendengar, “Itu istri siri Almarhum Uwa

Waduh! Sekarang aku yang hampir pingsan karena harus merombak PR silsilah keluargaku!

Menulis puisi, prosa, melukis, dan bermusik tipis-tipis. Bukunya sudah 3, As Blue As You (2022), Jayanti (2023), Notes of The Lost Sheep (2024). dan Yusuf dan Sapi Betina (2025). Suka pamer dan suka bikin pameran.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like
Yuk Berkawan

Bareng-bareng kita berkarya dan saling berbagi info nongkrong di grup whatsap kami.

Promo Gack dulu, dech Ayooo Berangkat!