“Es teh”, “Miftah”, dan kata “Makian.” Tiga kata kunci tersebut menghiasi media sosial di ujung 2024. Singkat cerita, telah viral interaksi yang diklaim sebagai candaan dari seorang pendakwah bernama Miftah Maulana kepada seorang penjual es teh di momen Magelang Bersholawat (20/12/24).
Yang mewajarkan dan ikut mentertawakan candaan Miftah tentu ada, setidaknya jajaran tokoh agama yang berada di atas panggung acara tersebut. Namun ternyata, justru lebih banyak orang bersimpati kepada penjual es teh yang akhirnya diketahui bernama Sunhaji itu. Publik menyayangkan candaan tersebut muncul dari seorang pemuka agama sekaligus Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan, di acara kajian keagamaan pula.
Miftah memang sudah meminta maaf (11/5/24) kepada Sunhaji yang saat itu tampak hanya terdiam dan menghela napas panjang. Sunhaji pun sudah kebanjiran berkah, dari donasi materiil, hadiah umroh, hingga gelar anggota kehormatan suatu organisasi masyarakat.
Akan tetapi, bukan berarti fenomena ini tidak menarik lagi untuk dibahas. Tidakkah kita penasaran mengapa sekadar humor dan tertawaan ini efeknya bisa dalam membekas?
Miftah memang sudah meminta maaf (11/5/24) kepada Sunhaji yang saat itu tampak hanya terdiam dan menghela napas panjang. Sunhaji pun sudah kebanjiran berkah, dari donasi materiil, hadiah umroh, hingga gelar anggota kehormatan suatu organisasi masyarakat.
Akan tetapi, bukan berarti fenomena ini tidak menarik lagi untuk dibahas. Tidakkah kita penasaran mengapa sekadar humor dan tertawaan ini efeknya bisa dalam membekas?
Komposisi “Ongkos” Bercanda
Thomas Hobbes (1588-1679), filsuf asal Inggris, menyebutkan bahwa tawa sering kali muncul dari sense of sudden glory. Dalam tawa, ada rasa superior mendadak yang dirasakan seseorang ketika menyadari kelebihan dirinya dibandingkan orang lain (Laughter as Politics, 2022, h. 41).
Dengan kata lain, tawa bukan hanya soal lelucon, tapi juga soal perasaan dominasi.
Pernah tertawa karena melihat teman yang tersandung? Nah, tawa seperti itu, menurut pemikiran Hobbes, muncul karena kita merasa lebih unggul karena tidak merasakan kesialan yang sama. Inilah inti dari teori Humor Superiority.
Dalam konteks interaksi Miftah ke Sunhaji, ada kemungkinan candaan itu dimaksudkan untuk mencairkan suasana ceramah. Namun, perbedaan strata antara Miftah dengan sederet embel-embel yang tersemat padanya dan Sunhaji yang “cuma” penjual es teh membuat guyonan tersebut mengandung tanggung jawab moral yang tidak ringan.
Berkaitan teori superioritas dalam humor, ada perspektif penting yang relevan dari Thomas Wilk dan Steven Gimbel untuk mendalami konsekuensi dari lelucon sarat konteks seperti ini. Akademisi Filsafat dari Widener University dan Gettysburg College tersebut berangkat dari argumentasi bahwa humor tidak pernah bebas dari risiko yang sifatnya relatif.
Terus kalau relatif, bagaimana kita bisa mengukur seberapa berisiko sebuah lelucon?
Untuk mengukur seberapa tinggi “ongkos” yang perlu dipertimbangkan ketika bercanda, mereka menggagas konsep bernama Joke Cost (In on the Joke: The Ethics of Humor and Comedy, 2024, h. 34).
Seperti produk jualan, penentuan “ongkos” sebuah lelucon dipengaruhi oleh beragam indikator, mulai dari tingkat kekasaran lelucon, siapa penutur dan objek tertawaannya, serta konteks sosial dan masyarakat yang mengelilingi lelucon itu.
Pada indikator pertama, secara eksplisit maupun maknanya, guyonan untuk pedagang es teh itu sudah auto disebut kasar. Kiranya, editor tulisan ini pun setuju agar kita tidak perlu menulisnya ulang.
Kemudian pada indikator kedua, jelas pula bahwa penutur humor dan yang disasarnya secara sosial, ekonomi, dan simbolis tidak setara. Dalam konsep Joke Cost, Wilk dan Gimbel menjelaskan faktor yang namanya “vulnerability tax”. Artinya, “ongkos” humor itu semakin mahal ketika objek candaannya berasal dari kelompok “rentan”.
Dari dua indikator ini saja, “ongkos” lelucon Miftah itu sudah kelihatan mahal sekali.
Sementara itu, indikator ketiga sangat cocok ketika dikontektualisasikan ke kondisi bangsa kita saat ini. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada kuartal III 2024 melambat (4,95 persen). Sementara itu, angka pengangguran di bulan September justru naik dibandingkan Februari 2024 (7,47 juta berbanding 7,20 juta). Belum lagi dengan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% tahun 2025 (kabar terakhir Sri Mulyani bilang kalo PPN 12% ini tidak jadi lewat akun IG-nya— Red.).
Maka, ketika ada candaan yang dianggap remeh oleh penuturnya tetapi menyenggol “ikon” dari masyarakat kebanyakan yang sedang terhimpit hidupnya, ledakannya jadi luar biasa dan menjalar ke mana-mana. Tendensi Miftah malam itu, yang tidak ada angin, tapi ada hujan memaki orang lemah pun dipertanyakan dan langsung jadi bulan-bulanan. Netizen bahkan menuntut Presiden Prabowo Subianto memecat Miftah yang baru dilantiknya Oktober lalu.
Lelucon yang sarat akan rasa makian rendahan itu pun memakan biaya yang teramat besar karena mengandung risiko moral.
Dari peristiwa ini, kita jadi tahu bahwa humor tidak pernah netral. Sebagaimana pisau bisa digunakan untuk memasak atau melukai, humor juga demikian. Humor perlu “ongkos”, karenanya memerlukan kalkulasi alias kebijaksanaan.
Ini peringatan sekaligus pembelajaran untuk semua orang, khususnya mereka yang jadi panutan, untuk tidak sembarang bercanda. Karena seperti kemanusiaan dalam Pancasila, humor semestinya adil dan beradab.