Obrolan Jam 1 Pagi

Gusta

Bagaimana obrolan tongkrongan berbuah insight psikologi.

Tulilit tulilit

“Berisik banget dah HP lu, siapa sih?”

“Biasa, si Mamah. Nyuruh pulang, katanya pintu mau dikunci. Jalanan kompleks udah mulai sepi, bahaya kalau pulang jam segini. Apalagi lewat gang kecil begini.”

Tiba-tiba, suara familier muncul,

“Tahuuu bulat, digoreng dina katel dadakan, lima ratusan, gurih-gurih enyoooy…”

Semua langsung nengok, saling pandang, lalu lanjut ngobrol. Ada Adi, anak jurusan Ekonomi Unisba. Miguel, Psikologi UI. Sama Rendi, Manajemen Bisnis UGM.

“Eh, di Jakarta tukang tahu bulat pakai lagu juga nggak sih?” tanya Adi sambil nyeruput sisa Americano-nya ke Miguel.

Mereka lagi nongkrong di kafe kecil dalam gang di Cikampek, mumpung liburan akhir tahun.

“Lah ya sama aja. Di mana-mana juga ada, Bro. Di Yogya ada nggak sih?” timpal Miguel, nengok ke Rendi.

“Ya ada. Tapi di Jogja tuh nggak pakai nada. Cuma gitu aja, di atas triseda (alias cator). Tahu bulat digoreng dadakan, lima ratusan!”

“Emang iya? Jadi nggak rame dong?”

“Ah, ya tetap tahu bulat juga yang dijual.”

“Ya juga, ya. Tapi ngomong-ngomong soal jingle, itu bukan hal baru, tahu. Dulu juga ada tuh susu murni yang lagunya: teng teng, teng teng teng, teng teng teng teng teng, susu murni nasional.”
(Bacanya pasti sambil nyanyi, tuh.)

Mulailah mereka tebak-tebakan.

Yo, merek apalagi yang jinglenya kita hafal?” kata Adi.

“Es krim Walls, tuh—telolet telolet!”


“McD, Bro! Itu yang siulan.”


“KFC juga, noh—jagonya ayam!”


“Tar tar tar, kok banyak, ya?”

“Lah iya!” sahut Rendi.

“Kelas terakhir kemarin, dosen mata kuliah Marketing aku jelasin soal penelitian di Journal of Consumer Research. Katanya, musik itu bisa mengaktifkan bagian limbik otak—yang ngatur emosi dan pengambilan keputusan. Makanya jingle itu bisa nempel banget di kepala, bahkan bikin kita tiba-tiba pengen beli.”

Miguel nggak mau kalah. Dia buru-buru ambil HP, buka Google, lalu ngetik: studi Nielsen pengaruh musik campaign marketing. Pas loading beres, dia tunjukin layarnya ke temen-temennya.

“Nih, liat!”

Melansir NCBI, https://www.nielsen.com/id/news-center/2023/nielsen-study-reveals-majority-of-consumers-actively-avoid-ads-across-podcasts-streaming-and-live-tv-platforms/ dan studi oleh Nielsen, pengaruh musik dalam campaign marketing tuh gini,

“Jadi, penggunaan musik—atau dulu disebut jingle—itu emang strategi marketing biar kita hafal, Bro.”

“Tar tar tar, kalo gitu ada pengaruh psikologis dong?” timpal Rendi sambil bakar rokok Gudang Garam terakhirnya.

Kali ini Adi yang angkat suara,

“Ya, pasti ada lah! Musik tuh bisa ngelepas dopamin alias hormon bahagia. Bisa ningkatin mood, ngurangin perasaan negatif. Bahkan, musik yang kita suka bisa aktifin area otak yang sama kayak pas kita dapet hadiah.”

“Gue pernah lihat sendiri. Sepupunya adek gue yang penyandang autis bisa diajak interaksi kalo diputerin lagu yang dia suka. Soalnya musik juga sering dipake buat bantu pasien ngungkapin emosi, ngatur suasana hati, dan ngurangin gejala depresi atau cemas.”

“Penelitiannya Bradt & Dileo (2009) di Cochrane Database of Systematic Reviews juga nemuin kalau terapi musik itu efektif buat ngurangin kecemasan—terutama pada pasien medis,” lanjut Adi sambil semangat.

“Pas arus balik kemarin tuh, macetnya parah banget. Tiba-tiba bokap gue nyetel lagu Jangan Menyerah dari D’Masiv. Langsung, suasana mobil adem. Kesel ilang. Semua malah nyanyi bareng. Nafas lebih tenang, hati lebih ringan.”

“Gue juga nemu jurnal dari Blood and Zatorre (2001),” lanjut Adi. “Dia bilang, bagian otak yang aktif pas kita denger musik yang kita suka itu sama kayak yang aktif pas kita jatuh cinta atau merasa sangat puas.”

Menanggapinya,Rendi bilang, “Kemarin abang gue yang lagi les piano cerita. Katanya ada yang namanya Mozart Effect. Konon, musik klasik bisa ningkatin kemampuan berpikir spasial-temporal—walau efeknya sementara.”

“Pantes aja ya orang-orang pada doyan nonton konser. Padahal desek-desekan. Tapi pengaruhnya segitunya. Kebayang nggak sih? Musisinya paling lima orang di atas panggung, penontonnya bisa ratusan sampai ribuan. Bisa sampe disuruh nyanyi bareng, goyang bareng, padahal liriknya juga nggak semua apal,” kata Miguel.

“Yang dipengaruhinnya tuh sampe ke hati yang paling dalam,” lanjutnya sok puitis sambil nyedot Gudang Garam yang tinggal separuh.

Urang balik, ah. Si Mamah udah ngancem di-chat. Wassalamualaikum.”

“Yah, bubar nih?”
Yowis lah, aku juga pulang. Kasur udah manggil-manggil.”

“Jah, malah pada cabut. Ini kopi yang bayar siapa, oi?! Katanya patungan!” teriak Miguel sambil lari nyusul.

Konselor, aktor, terapis, enterpreneurship, dan berpuisi. Sedang merakit akun jasa konseling dan terapis psikologi di temendeket.co sejak 2024, menjadi pelatih basic acting di Teater Topeng Maranatha sejak 2019 - 2023, Menjalankan bisnis es kopi dengan merk gustaandco sejak 2015, Malam Puisi Cikampek juga.

Related Post

No comments

Leave a Comment