Pada suatu masa, di sebuah negeri yang tampaknya indah, datanglah tiga orang pasien yang membutuhkan pertolongan dari seorang dokter legendaris bernama Dokter Hakim. Ia dikenal sebagai dokter umum yang mengaku bisa menyembuhkan segala penyakit hanya dengan satu obat: paracetamol.
Tentu ini terdengar ajaib, bahkan mustahil. Banyak yang bertanya-tanya, “Bagaimana mungkin satu obat bisa menyembuhkan berbagai jenis penyakit?” Tapi, begitulah kenyataannya.
Dokter Hakim punya cara unik dalam memberikan resep. Dosis paracetamol yang ia berikan sering kali bergantung pada perilaku pasien dan kesepakatannya dengan bidan yang membantu. Anehnya, dosis itu kadang terasa janggal—entah terlalu tinggi atau terlalu rendah, dan biaya perawatan juga jauh dari kata masuk akal.
Suatu hari, datanglah tiga pasien dengan kondisi berbeda.
Pasien pertama adalah Mayam. Ia mengidap penyakit kulit serius yang dikenal sebagai kusta. Sudah tiga hari ia menderita. Tapi, Dokter Hakim dengan santainya memberikan resep paracetamol dengan dosis 3x sehari selama lima hari. Biaya perawatannya? Lima ratus ribu rupiah!
Pasien kedua adalah Akrim. Ia mengalami sesak napas, dada berat, batuk-batuk, tubuh lemas—gejala yang mungkin mengarah ke asma. Tapi apa resepnya? Lagi-lagi, paracetamol. Bedanya, dosisnya hanya untuk dua hari, dan biayanya sangat murah, cuma sepuluh ribu rupiah.
Pasien ketiga adalah Korun. Kondisinya jauh lebih serius. Ia menderita komplikasi penyakit menular yang sudah dideritanya selama lebih dari tiga puluh tahun. Penyakit Korun ini adalah penyakit yang merugikan banyak orang. Tapi apa yang dilakukan Dokter Hakim? Ia tetap memberikan paracetamol dengan dosis hanya 1x sehari selama enam hari. Biaya perawatannya? Fantastis, satu miliar rupiah! Kenapa? Karena Korun dianggap “berkelakuan baik.”
Keputusan Dokter Hakim ini menuai banyak kritik. Orang-orang bertanya-tanya, bagaimana mungkin satu obat bisa mengatasi berbagai penyakit? Kenapa penyakit yang lebih berat malah dapat dosis kecil? Dan kenapa biaya perawatan tidak masuk akal?
Banyak yang mulai membandingkan metode pengobatan di negeri ini dengan negari lain. Hasilnya? Orang-orang merasa keputusan ini tidak relevan dan jelas-jelas tidak adil.
Kabar ini akhirnya sampai ke telinga Raja. Ia marah besar. Dengan cepat, ia mencabut gelar Dokter Hakim dan menggantikannya dengan dokter lain. Tapi lucunya, meski dokter berganti, obatnya tetap sama—paracetamol. Apapun penyakitnya, resepnya selalu paracetamol. Begitulah seterusnya, sampai akhirnya sebuah fakta mengejutkan terungkap.
Ternyata, para dokter, termasuk Dokter Hakim, hanyalah pelaksana dari sistem yang ada di negeri itu. Di sana, ada undang-undang aneh yang mengatur resep obat. Meskipun penyakitnya bermacam-macam, obatnya selalu sama. Kenapa? Karena paracetamol dianggap “aman.” Obat ini tidak akan menyembuhkan pasien, sehingga mereka terus kembali. Semakin banyak yang sakit, semakin banyak yang membutuhkan pengobatan. Lalu ini? Ini menghasilkan uang dalam jumlah besar.
Ironi tersebut adalah ilustrasi yang mengingatkan pada sistem hukum di negeri ini. Jika pelanggaran hukum diibaratkan penyakit, maka hukuman adalah obatnya. Tapi di negeri ini, meskipun pelanggar hukum beragam tindak kejahatannya, hukumannya hampir selalu sama: penjara.
Hukuman penjara ini pun tidak ditentukan oleh jenis kejahatan, melainkan oleh hal-hal lain seperti perilaku pelanggar, kepentingan pihak tertentu, atau bahkan campur tangan aparat hukum.
Contohnya?
Mayam (Maling Ayam) dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara dan denda lima ratus juta.
Akrim (Aksi Kriminal), seorang pelaku pembunuhan, pemerkosaan, dan pelecehan seksual terhadap anak, hanya dihukum dua tahun penjara dan denda sepuluh juta.
Korun (Korupsi Uang Negara) yang merugikan negara hingga tiga ratus triliun, hanya dijatuhi hukuman enam tahun penjara dengan denda satu miliar, karena dianggap “berkelakuan baik.”
Sekarang, coba kita pikirkan bersama, apakah mungkin semua penyakit bisa disembuhkan dengan satu obat saja?