There can be no society without poetry, but society can never be realized as poetry, it is never poetic. Sometimes the two terms seek to break apart. They cannot.”–Octavio Paz.
Dalam tulisan “Babak Baru Sastra Purwakarta” Amar memetakan komunitas literasi sekaligus mendeklarasikan kelahiran Sebul. Ini menarik apalagi ia menjanjikan bakal jadi penanda babak baru perliterasian di dekat-dekat sini.
Tapi saat ini perhatian saya terbetot pada dua hal berikut: pertama, “perkubuan” ganjil antara Jamaah Faridiah dan Kopel, Hadi. Kedua, sambutan khusus untuk Sebul.
Perkubuan ini agak sembrono karena selain kami sama-sama warga Nahdliyin, kami berdua relatif dekat saat Kopel awal-awal dibentuk. Tapi kalau ini soal dia pernah melihat saya mengumpat saat ada orang dari antah barantah mengira saya anggota Kopel, itu murni karena saya sedang bad mood. Wkwk.
Persoalan beberapa komunitas seperti Swarsa lebih sering jalan bareng Nyimpang daripada Kopel, murni karena Nyimpang dan Swarsa punya perhatian pada topik dan isu yang sama.
Tapi kalau ini ditarik pada persoalan Hadi dan saya yang jarang muncul bareng itu murni karena… hufft.. saya juga gak yakin kenapa sebabnya. Namun rasa-rasanya karena murni model organisasi dan fokus kekaryaan kami yang berbeda. Misalnya Hadi organisatoris yang baik, tapi tidak ada yang menulis sebaik saya di sekitar Purwasuka. Widi dan Hendra mungkin boleh mencobanya. Hahaha. Dari sini saja sudah kelihatan beda antara saya dan Hadi.
Untuk perbedaan lainnya, Nyimpang jelas lebih nyaman beroperasi dalam tim kecil dan menjual diri sebagai bisnis penerbitan dan media, sementara Kopel murni komunitas kreatif anak muda. Persoalan cabang-cabangan bisnis yang Kopel bikin, itu lain soal.
Hal ini juga bisa dilihat dari tradisi organisasinya. Jika Kopel ada istilah terima anggota baru tiap tahunnya, Nyimpang cuma bongkar pasang tim, kapan pun, menyesuaikan kebutuhan, ketersediaan, dan kesanggupan. Kopel menerima semua orang, sementara Nyimpang akan mencuri yang terbaik dari komunitas mana pun. Hahaha.
Spektrum perkubuan dalam komunitas sosial (khususnya literasi) di Purwakarta tidak sesederhana itu. Tidak sehitam putih yang Amar bilang. Bukan soal Farid dan Hadi saja. Ada nama-nama lain yang lama, maupun yang seusia tapi tak kalah mapannya.
Dan daftar yang disusun oleh Amar, bahkan tidak menyentuh beberapa komunitas literasi yang audiensnya lebih besar dan lumayan sudah bertahan lama.
Setidaknya Rumah Bacaan yang terdaftar oleh Forum Taman Bacaan Masyarakat Purwakarta (ini mesti dilihat sebagai komunitas juga) ada di kisaran 50-an nama. Belum juga ditambahkan dari inisiatif literasi yang dibentuk oleh orang dari organisasi kemahasiswaan yang lebih mapan. Atau sekadar jadi program dari komunitas profesi tertentu. (Mungkin lain waktu saya akan coba mendaftarnya)
Kebanyakan komunitas literasi dibentuk dengan latar belakang yang berbeda.
Beberapa punya perbedaan menyikapi kerjasama dengan badan pemerintahan, ada pula perbedaan orientasi bisnis seperti yang saya sebut di atas, bahkan demografi usia para inisiatornya, perbedaan concern issue, dan perbedaan ideologis–dan sialnya yang terakhir ini gak bercanda.
Apakah komunitas-komunitas ini sering merasa eksklusif? Ya dan tidak.
Ya, karena dalam urusan kolaborasi setiap komunitas punya posisi enaknya masing-masing. Dan mereka hanya mau kolaborasi dengan posisi yang enak tersebut. Misalkan Kopel tidak akan bikin Festival Film bareng Nyimpang, karena mungkin sekali Nyimpang yang doyan nyinyir ini akan membuat kondisi jadi tak nyaman. Begitu pula sebaliknya, Nyimpang tak akan minta anak Kopel jadi pembedah buku-buku yang diterbitkan Nyimpang karena buku belum jadi agenda utama mereka–setidaknya menurut saya begitu.
Tidak, karena di luar kerja-kerja komunitas, kami sering hangout bareng dan ketemu-ketemu lucu. Ya kalau beruntung ada aja yang berjodoh dari irisan lingkaran-lingkaran komunitas ini. But.. wait a minute. Yang terakhir ini sudah lama sekali tidak terjadi.
Apakah di sana ada intrik-intrik mencuri ide, paheula-heula eksekusi ide, gosip-gosipan, pasindir-sindir, patiru-tiru gimmick? Ini sih biasa. Makanya urusan ini bisa disebut “persaingan” tipis-tipis.
Namun yang jelas akar utama dari semua drama dalam perkomunitasan ini justru yang menyamakan mereka: meraih atensi kawula muda Purwakarta sebanyak-banyaknya. Diakui atau tidak. Ini juga termasuk komunitas yang suka ngomong “kami ga berorientasi pada jumlah anggota”… namun belum sampai tiga kejapan mata bilang… “tapi kalau mau gabung silakan.” Ya Allah!
Selamat Lahiran Sebul
Nah, selamat karena udah lahir ya sebul. Mungkin aku bukan orang yang tepat untuk mengucap hal setelah ini. Tapi saat memulai Nyimpang, saya bahkan tak mendapat pesan-pesan selamat dari orang yang saya sebut guru dan jelas saya kagumi. Jadi kuharap kamu tidak mengalaminya juga. Bagaimana pun terlihat jelas kalau kamu mengagumiku. Hahaha.
Jadi aku titip beberapa pesan.
Kuharap sebelum fafifu-wasweswos soal literasi atau semacamnya, fokuslah membangun ekosistem yang aman dan nyaman untuk semua orang. Sehingga siapapun nanti yang berteduh atau cuma bersentuhan dengan Komunitas Sebul bakal kecipratan manfaat dan barakahnya.
Btw perubahan sapurwakartaeun mah bisa menunggu. Itu bukan tanggung jawab Sebul saja. Yang mendesak adalah perubahan dalam diri. Disiplin berkarya dan niat yang tulus untuk berjejaring.
Baiklah itu saja untuk saat ini. Selamat karena sudah lahir. Terima kasih karena sudah memantik diskusi ini. Mari kita lihat Sebul bakal jadi komunitas literasi seperti apa. Semoga di babak baru ini (kalau betulan iya) “permainan” akan benar-benar berbeda.