Dari atas sini, sinar matahari terasa lebih menyengkat ke mata. Di bawah, di jalan yang mengarah ke pintu tol Karawang Barat, kendaraan berbaris tidak beraturan seolah-olah beberapa jam lagi kiamat dan para pengendara itu harus secepatnya pulang ke rumah menyelesaikan urusan duniawi. Di pinggir jalan dekat bundaran, terpampang baliho besar berlatar biru. Seorang lelaki, berusia pertengahan 30, tersenyum simpul sembari mengenakan jas warna biru. “Pilih Zuhdi lebih baik dari main judi, max win untuk Pileg 2024, Zuhdi si pangeran berhati biru As Blue As You.” begitu bunyi tulisan di baliho, besar, terang, menggunakan Times New Roman.
Seandainya tidak sedang terikat, aku mungkin sedang mengisap sebatang marlboro sembari membayangkan bagaimana rasanya meluncur dari lantai delapan. Ah sial, omong-omong, sudah lima jam aku belum merokok.
“Kamu bilang apa tadi?”
Suara Jayanti, terdengar mengancam dari balik kursi.
“Sial.”
Bukan, kata perempuan itu, ”Kalimat sebelum itu.”
Aku tidak tahu persis apa yang perempuan itu lakukan. Dalam keadaan duduk terikat tangan dan kaki di sebuah kursi kayu, sulit rasanya menoleh ke belakang.
“Minum bir paling enak ditemani bala-bala,” jawabku, asal.
“Anjing.”
“Maaf, darah di mulutku bikin aku susah bicara, bisa kamu seka…”
“Ingat peraturan pertamanya,” kata Jayanti meraup rambutku dari belakang sebelum aku sempat menyelesaikan satu kalimat, “Aku penculik, kamu sandera yang tidak berdaya, yang mungkin bisa saja mati kalau tidak kooperatif. Setelah ini, kamu bisa seka darah di bibirmu semau kamu sekalian kamu seka iler di mulut gerombolan sekte agama kamu itu.”
“Baik, mbak penculik, apa yang kamu mau dariku?”
“Katakan, tadi kamu bilang apa?”
Jayanti mengendurkan cengkraman jarinya di rambutku. Ia mundur dua tiga langkah ke belakang, kembali duduk di atas kasur.
“Iya, Jayanti. Kamu pembunuh paling indie di dunia ini setelah JTR.”
“Jangan samakan aku dengan kalian, badut. Jack The Ripper membunuh pelacur, aku membunuh laki-laki brengsek yang membuat sistem sehingga para perempuan jadi pelacur.”
“Kami juga tidak mau disamakan dengan orang yang membunuh demi uang lalu mengaku-aku perbuatannya sebagai karya seni.”
Sebentar lagi mungkin aku akan mati di tangan Jayanti. Tidak perlu kata “mungkin”, sebenarnya. Terlepas dari kepastian segala yang bernyawa pasti akan mati, ditambah dengan kondisiku yang terikat tangan dan kaki di depan perempuan paling mematikan di dunianya. Dalam waktu dekat, aku pasti mati seperti ramalan Bocah Penyimpang. Tidak perlu pakai kata “ramalan” juga sebenarnya. Bocah Penyimpang atau Singularity Point atau Penyimpang atau biasa disingkat Nyimpang adalah anomali dalam gempa waktu.
Di duniaku, dunia Jayanti, dan dunia lain di luar sana, selalu ada anak manusia dengan kemampuan mengintip segala peristiwa sampai 10 tahun ke depan. Bocah Penyimpang melihat peristiwa itu bagaikan menonton sinema. Aku juga kurang begitu paham cara kerjanya. Tapi kira-kira begitu kata orang-orang di Keparad. Makanya, kemampuan dan fenomena si bocah ini diberi nama: Nyimpang Cinematic.
“Kamu tidak seharusnya berada di sini, Jayanti.”
Aku merasa waktuku semakin dekat. *Saya sudah berkali-kali melihat cara anda mati. Semuanya sama, dibunuh di ketinggian. Jadi, ini pesan saya, hati-hati apabila berada di ketinggian. Malaikat maut anda ada di sana. Menanti anda.*
“Iya, kalimat itu. Aku ingin dengar sekali lagi ancaman itu. Sekarang, setelah kamu dikurung di sini, berjam-jam, ternyata kamu masih punya nyali untuk mengatakan itu.”
Tanpa melihat, aku bisa merasakan seringai Jayanti dari balik punggungku.
“Ini bukan ancaman. Jayanti di duniaku sudah mati di kerusuhan saat membeli obat di apotek.”
“Terus aku ini apa? Hantu PKI?”
“Singkatnya, ada seseorang yang tidak terpengaruh gempa waktu. Di dunia kami, ia disebut Penyimpang. Dia sudah membuat kacau alam semesta.”
“Gempa waktu? Ternyata ada orang yang percaya pada ocehan Kilgore Trout.”
“Kamu tahu Kilgore Trout?”
“Tidak hanya tahu. Pak tua gila yang setiap jam tiga pagi teriak ‘Mahdi tolong lakukan gempa waktu, Mahdi tolong lakukan gempa waktu’. Di rusun kami yang sempit, lolongan dia terdengar sampai ke lantai paling bawah.”
“Di dunia Blue as You, Penyimpang dinamai Messiah. Sedangkan pak tua Trout namanya Kurt Vonnegut. Ternyata di dunia kamu namanya Mahdi. Terdengar agak kuno.”
Sesuatu yang dingin menyentuh belakang kepalaku. Samar tercium bau mirip bubuk petasan. Terdengar bunyi klik satu kali. Cukup, kata Jayanti, ia mendorong pelan moncong pistol dengan blok pengaman terbuka. “Sudah ya bercandanya. Beri tahu aku lokasi pemimpinmu, atau kamu mati. Sekarang.”
*Saya sudah berkali-kali melihat cara anda mati. Semuanya sama, dibunuh di ketinggian. Jadi, ini pesan saya, hati-hati apabila berada di ketinggian. Malaikat maut anda ada di sana. Menanti anda.*
Penyimpang melalui kemampuan Nyimpang Cinematic telah berkali-kali melihat aku mati. Mati sekali lagi pun tidak masalah. Toh nantinya Penyimpang akan memicu gempa waktu sekali lagi, mengulangi waktu sampai 10 tahun ke belakang. Penyimpang akan terus mengulangi gempa waktu sampai pada kondisi waktu di mana aku bisa hidup, berada di sisinya sampai titik awal gempa waktu. Biar bagaimanapun, Penyimpang membutuhkan aku untuk mengakhiri rencananya.
Dan titik awal gempa waktu itu dimulai besok, Jumat, 27 Juli 2023. Gempa waktu di dunia kami dimulai di tanggal itu. Saat itu terjadi, waktu akan mundur sampai 10 tahun ke belakang. Segala kejadian dan perbuatan manusia akan terulang kembali. Semua manusia, kecuali Penyimpang, tidak akan menyadari fenomena ini. Andaikan sadar, seperti teori Trout, mereka akan menganggap kilasan itu sebagai de ja vu. Hanya Penyimpang yang bisa bergerak secara sadar di tengah gempa waktu. Dan karena ia memiliki pengetahuan segala kejadian 10 tahun ke depan, ia seolah-olah dikarunia kemampuan melihat masa depan.
Masalahnya, besok, tepat saat titik awal gempa waktu, Jayanti di dunia kami membunuh Penyimpang dunia kami. Penyimpang juga manusia, sama seperti kita, ia takut mati. Pada gempa waktu pertama, ia melakukan segala cara untuk mengubah masa depan di mana ia akan dihabisi Jayanti. Caranya berhasil. Ia tidak jadi mati. Namun, caranya mengelabui kematian berbuah malapetaka. Tercipta lubang besar di alam semesta, untuk menutupi lubang itu, alam semesta menarik segala versi Penyimpang dari dunia lain. Beberapa nama sudah berhasil kami petakan: Ahmad Farid dari dunia Mendengar Radio Sendirian, Jojon dari dunia Sejumput Kisah Pria Payah, Dea dari dunia Bisik Sebelum Tidur, dan Arini dari as Blue as You. Masing-masing dari Penyimpang ini memiliki Jayanti versi mereka sendiri. Lika dari Mendengar Radio Sendirian, Zuhdi dari as Blue as You, Nita dari Bisik Sebelum Tidur, dan Nik dari Seni Berjalan Sempoyongan.
Kekacauan dimensi, ruang, dan waktu itu kami beri nama: Nyimpang Cinematic Universe!