Pada abad ke-9, seorang ahli alkimia dari Cina terobsesi mencari ramuan kehidupan abadi.
Setelah melewati berbagai percobaan yang hampir membuatnya keracunan, akhirnya ia menemukan sesuatu yang lain dari paduan kalium nitrat, arang, dan belerang. Ia berbisik, “Aku mencium aroma keabadian. Tajam dan sedikit jahat. Seperti aroma buah pengetahuan.”
Saat ia menguji serbuk itu—setelah memastikan dirinya tidak langsung teler dengan menjilatinya—ia mencoba memantik api di dekat bubuk tersebut.
Kau pernah dengar, “Nasib buruk tak pernah berhenti tertawa pada ulah manusia”? Kau akan segera tahu sebabnya.
Seketika, api biru yang sempat dikaguminya menghadiahi si alkimiawan dengan:
(a) luka bakar permanen di wajah dan lengannya;
(b) satu hamparan selebar 80 × 40 langkah orang dewasa yang hangus, lengkap dengan reruntuhan rumahnya sendiri; dan
(c) istrinya yang sadar bahwa ia sudah lama seatap dengan orang sinting, lalu memutuskan pergi saat itu juga.
Alkimia adalah bukti nyali.
Aku mengerti ia marah. Tapi, apa ia tak takut melihat wajahnya sendiri yang seperti ini?
Petugas kamar mayat menyusulku dan bertanya apakah akan ada keluarga lain yang turut menjemput mayat kakakku yang—jika dilihat baik-baik—tidak ada bedanya dengan ikan bakar.
Aku menutup tubuh manusia ikan bakar itu sambil menggeleng, sekaligus merasa bodoh sebab baru saja dipergoki bicara pada mayat. Lagi pula, untuk ukuran ikan bakar, aromanya tidak lezat sama sekali.
“Takhayul dipegang teguh oleh orang takut, sains diuji oleh para pemberani,” katanya lima belas tahun lalu saat kami masih kanak-kanak. Saat itu ia membakar bonekaku.