Nikah Muda vs Nikah Tua: Mana yang Lebih Baik?

Lalu mereka membawa semua itu ke dalam pernikahan, berharap pasangan bisa menyembuhkannya.

Energi masih banyak, bisa tumbuh bareng pasangan, & waktu lebih panjang untuk adaptasi. Tapi… Emosi belum stabil, ego masih tinggi, dan belum selesai dengan diri sendiri.”

Mungkin kalimat tadi sedikit-banyak adalah wajah dari pernikahan muda yang terjadi di Indonesia—sebuah pilihan hidup yang kadang dielu-elukan sebagai solusi sakral atas resah hati, namun tak jarang menjadi cermin getir yang memantulkan realitas yang belum siap ditanggung. Di sisi lain, menikah pada usia yang lebih tua (sebutlah usia 30 s.d. 40 tahun) sering kali dikaitkan dengan stabilitas emosi, kemapanan finansial, dan kesiapan mental yang lebih kokoh.

Tapi kemudian, muncul pertanyaan lain seperti:

Benarkah menikah matang selalu lebih baik?

Atau justru memunculkan ‘keterlambatan’ memulai hidup bersama membawa tantangan lain yang tak kalah pelik?

Menikah Muda: Berani atau Buru-Buru?

Pernikahan muda bukan sekadar janji suci yang dilafalkan dalam satu tarikan napas, tapi nikah adalah pertaruhan waktu, jiwa, dan kesiapan emosional. Banyak dari kita terutama generasi muda yang terjebak pada narasi indah bahwa cinta akan menyelesaikan segalanya. Bahwa ketika dua hati yang bertemu di usia belia bisa menaklukkan segala halangan, dan “tumbuh bersama” akan otomatis terjadi begitu akad selesai dilafalkan.

Tapi kenyataannya, cinta yang belum matang kerap rapuh menghadapi kenyataan. Energi yang melimpah bisa terkuras bukan untuk membangun rumah tangga, melainkan untuk arena beradu ego. Waktu yang panjang bukan buat adaptasi yang sweety, tapi proses saling menyakiti dan bagian terburuknya justru menimbulkan luka-luka ketidaksiapan tadi.

Banyak pasangan muda yang masing-masing belum selesai dengan dirinya sendiri. Luka masa kecil belum dipulihkan, kemarahan belum dipahami, ambisi belum tertata. Lalu mereka membawa semua itu ke dalam pernikahan, berharap pasangan bisa menyembuhkannya. Padahal mah da pasangan teh bukan tabib. Ia juga manusia yang sama-sama sedang belajar mencintai dirinya sendiri.

Let’s be fair, bukan berarti nikah muda selalu berujung pada kegagalan. Justru, ada kisah-kisah indah yang lahir dari dua anak muda yang sama-sama berani belajar, berani jatuh, berani tumbuh dan berani bangun kembali.

Mereka bukan pasangan yang sempurna, tapi mereka mau membuka diri terhadap proses. Mau mengakui kekurangan, meminta maaf, dan mengoreksi diri. Mereka tidak menganggap pasangan sebagai pelengkap, tapi sebagai partner dalam bertumbuh, dalam belajar, dan dalam proses mendekatkan diri dengan tuhannya.

Menikah Tua: Keburu Capek?

Di sisi lain, menikah di usia yang lebih matang memberi waktu lebih panjang untuk mengenal diri, menyembuhkan luka batin, membangun karier, dan menata hidup secara mandiri. Orang yang menikah setelah usia 28 atau 30 tahun umumnya memiliki fondasi emosional yang lebih stabil, dan tidak terburu-buru menjadikan pernikahan sebagai pelarian dari kesepian. Meskipun banyak juga kita lihat di sekeliling orang-orang dengan usia yang banyak tapi kelakuannya masih piomongeun.

Tapi banyak pula yang menunda menikah, karena takut tetap membawa trauma dan ego ke dalam pernikahan. Ada pula yang menjadi terlalu nyaman sendiri, sehingga sulit membuka ruang untuk kompromi, atau merasa bahwa pasangan seharusnya “sudah sempurna”, dan banyak, lah.

Menikah di usia yang sudah tua bukan berarti jalan tol yang lurus tanpa hambatan. Kadang justru jadi ladang ujian dari ekspektasi yang terlalu tinggi, keengganan untuk menyesuaikan diri, dan keletihan akibat terlalu lama menunda komitmen.

Mana yang Lebih Baik?

Terus mana yang lebih baik?”

Sebenarnya pada akhirnya, pertanyaan semacam itu gak bisa dijawab secara mutlak. Semua kembali pada kesiapan individu (dan segalanya termasuk finansial), bukan pada angka usia. Muda atau tua, menikah bisa jadi sangat baik, jika dilakukan dengan niat yang matang, kesiapan mental yang mumpuni, duit yang cukup, dan terpenting: ada pasangannya.

Jadi intinya?
Jangan terjebak sama angka. Bukan muda atau tua yang bikin pernikahan bertahan, tapi siap atau enggaknya kalian untuk jalan bareng, bukan lari sendiri-sendiri. Kedewasaan nggak datang cuma karena umur nambah, tapi karena seorang itu mau belajar terus—tentang diri sendiri, tentang pasangan, tentang hidup yang bakal dibangun bareng.

Menikah itu bukan balapan. Bukan soal siapa cepat siapa lambat. Tapi soal siapa yang cukup berani bilang: aku siap belajar bareng kamu, tiap hari, sampai nanti.

Isa Hotaman Nurjaman, akrab disapa Mas Is, lahir di Purwakarta pada 25 Oktober 2000. Mulai belajar menulis sejak tahun 2022. Salah satu karyanya yang telah terbit berjudul Lampang: Rindu yang Tak Terjawab. Saat ini, ia sedang menempuh pendidikan di STAI Riyadhul Jannah Subang. Sebagai pendiri Bookmates Community di Kabupaten Subang, ia bersama teman-temannya ia telah menerbitkan buku kedua berjudul Merangkai Kehidupan Baru: Panduan Praktis Hidup Produktif. Ia bercita-cita menjadi penulis yang bermanfaat.

Related Post

2 comments

  1. Pak RT 02 Avatar
    Pak RT 02

    Jadi kumaha pak RW?

  2. Readhuan Avatar
    Readhuan

    Sangat ter ter ter edukasi

Leave a Comment