Negara, Pajak, dan Politik Kepatutan: Respons terhadap Kenaikan PBB 600% Kabupaten Karawang

Kamis malam, saya membaca sebuah pesan di grup WA yang memberitakan Pajak Bumi dan Bangunan di Kabupaten Karawang telah naik sebanyak 600%. Selanjutnya, kita sebut pajak ini dengan PBB-P2 yang berarti Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan. Saya lantas menjulid dalam hati,

Anjay, perdesaan perkotaan. Meuni dikelas-kelasin wae ih, lagian!” 

Hal itu berarti, kamu mau tinggal di desa atau di kota, dirimu akan tetap kena pajak. Sebagaimana slogan julid saya: di ma bumi dipijak, di siko awak dipajak!

Sebagai warga Karawang tulen yang juga terseok-seok menyicil rumah, saya lantas memastikan kepada kawan-kawan saya

“Apa yang sebenarnya terjadi?”

Danny lalu mengirimkan saya 6 buah Perbup terkait. Perbup paling tua bertahun 2012.

Intermezzo 

Pada tahun 2012, saya baru masuk SMA. Sekitar tahun 2013, saya masuk kelas IPS dan satu kelas dengan keponakan bupati Ade Swara pada saat itu.

Konteksnya, sekolah saya terkenal dengan sekolah anak-anak orang “tajir” atau anak-anak pintar. Pada tahun itu, saya mungkin keduanya. Awokwok. Ada satu hal yang sangat saya benci dari teman sekelas saya ini.

Masalahnya, menjelang UTS kelas sebelas SMA, teman saya ini sudah banyak sekali izinnya. Bahkan sampai dua minggu. Izinnya untuk apa? Liburan keluarga besar ke Bali.

Sebut saja saya memang sentimen personal padanya, alasannya? Dia suka sekali meminta jawaban ke saya, jelas saja saya tolak dan saya jutekin sampai dia nangis. Kan bodoh banget. Dia bisa berfoya-foya secara penuh di Bali dengan keluarga besar bupati terkait tapi gak bisa bayar orang buat ngajarin dia Bahasa Inggris? It’s something strange! 

Yang lebih aneh, dia menunjukkan itu dengan bangga tanpa malu sedikit pun. Kemudian pada tahun 2014 atau 2015, barulah pagi-paginya ia menangis menjerit di sekolah karena mamaknya tertangkap juga waktu bupati/istri bupati ditangkap kasus korupsi pas lagi shopping di Ramayana (sekarang Ciplaz). Ah!

Baik. Sebelum pembahasan lebih lanjut, saya akan memberikan sedikit gambaran begini:

Dalam pembicaraan terkait PBB, ada sebuah unsur yang disebut Nilai Jual Objek Pajak (mari kita singkat saja menjadi NJOP). NJOP itu semacam harga resmi versi pemerintah untuk tanah dan bangunan. NJOP bukan merupakan harga jual yang bisa kita atur, tapi harga yang dianggap “wajar” oleh negara. Mirip-mirip dengan HET yang muncul di setiap rokok legal yang kamu beli.

Bedanya, kalau HET itu seperti harga maksimal untuk kamu jual ke konsumen dan gak ada satupun pedagang yang boleh melewati batas HET ini. NJOP itu lebih seperti harga minimal dan  tidak boleh dianggap lebih rendah dari ini untuk urusan pajak. Singkatnya, pemerintah mengatur semua itu.

Kalau HET itu buat menahan harga jangan kemahalan (meskipun faktanya malah bikin lebih mahal), sedangkan NJOP itu buat memastikan pajak jangan murah. Sebab dalam perhitungan nilai PBB-P2, semakin tinggi NJOP maka semakin tinggi pula nominal pajak yang diterima pemerintah.

Di Karawang, 2025, banyak warga terkejut ketika membuka amplop putih dari pemerintah daerah: Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) dengan nominalnya yang melonjak. Lonjakannya empat sampai lima kali lipat dari tahun lalu.

Masih dari sumber yang sama, saya menemukan fakta bahwa di Mekarjati, tanah yang NJOP-nya dulu dihitung Rp200 ribu per meter tiba-tiba jadi Rp750 ribu. Katanya karena pembaruan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak).

Yes, warga Mekarjati tidak diberikan penjelasan. Tak ada sosialisasi, tak ada ruang tanya-jawab. Tiba-tiba saja harganya naik. Mungkin, semoga saja ini hanya kekhawatiran dan suudzon saya, angka-angka itu yang mendadak membuat orang-orang berpikir: “Kalau pajak tanah segini, mungkin lebih baik tanahnya dijual.”

Sebab nampaknya saya akan melakukan penjualan tanah kalau pajaknya lebih besar dari penghasilan saya, meskipun saya mengingat wasiat Bapak saya sebelum meninggal,

“Itu tanah jangan dijual, ya.”

“Lho, kenapa, Yah?”

“Soalnya punya orang, bukan punya kita.”

Dah lah. 

Kenaikan PBB-P2 (Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan) di Karawang tahun ini gak main-main. Berdasarkan kajian GMNI UBP Karawang, lonjakannya mencapai 400–500 persen.

Kata pemerintah, semua ini dilakukan setelah melakukan “penyesuaian harga pasar”. Yang jadi pertanyaannya kemudian,

“Harga pasar siapa? Pasar yang mana? Pasar orang-orang yang masih sulit beli gas melon? Atau pasar investor yang setiap hari menawar lahan sawah dan bikin spanduk gede-gedean di jalan Cikopo? Yang setiap hari bagi-bagi brosur perumahan cluster? atau, gimana?”

Pelanggaran yang Disamarkan sebagai Pembaruan Nilai

Kalau dibaca dengan cermat, aturan pajak sebenarnya sudah jelas dan, ironinya, berpihak pada rakyat. Seperti dalam Perbup tertua yang saya terima, Pasal 1 dalam Perbup 123 Tahun 2012

Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Without being disrespectful, saya katakan bulshit. Jika pajak digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, tidak ada lagi jalan-jalan dengan lubang menganga yang bikin para buruh meninggal dalam upaya mencari nafkah. Jika betul pajak digunakan untuk keperluan daerah, sudah tidak ada anak-anak kecil yang mengamen di jam-jam kerja, tidak ada lagi orang-orang yang mati di antrean operasi BPJS. Saya mengalami betul bagaimana sulitnya melintasi jalur jalan Karawang, namun apa boleh buat?

Saya yakin hal itu tidak dirasakan para pejabat Pemda sebab tentu saja mungkin mereka naik mobil dengan suspensi yang bikin nyaman bahkan melalui gajlugan MBZ sekali pun.

Pasal 23A UUD 1945 bilang: pajak harus berdasarkan keadilan. Bulsyit.

Pasal 3 dan 95 UU No. 1 Tahun 2022 menyebut: setiap perubahan tarif pajak daerah wajib disertai analisis dampak sosial dan ekonomi. Bulsyit.

Perda Karawang No. 17 Tahun 2023 menetapkan tarif maksimal 0,3% dari NJOP, dengan nilai tidak kena pajak Rp10 juta. Bulsyit.

Perbup No. 31 Tahun 2024 mewajibkan pendataan transparan dan memberi hak warga untuk mengajukan keberatan. Bulsyit.

Di lapangan semuanya UU terdengar seperti quotes-quotes motivasi selewat yang besoknya kita lupakan.

GMNI menemukan bahwa pembaruan NJOP dilakukan setelah lebih dari sepuluh tahun, bukan tiga tahun sebagaimana aturan. Tidak ada kajian sosial-ekonomi, konsultasi publik, tidak ada penjelasan kenapa lahan rakyat bisa disamakan nilainya dengan kawasan industri.

Kesimpulannya, pelanggaran ini dilakukan dengan niat baik ceunah demi pembangunan dan sudah disesuaikan dengan kajian.

Mantapnya, dalam tahun yang sama, DPRD Karawang silently menaikkan tunjangan mereka sendiri. Berdasarkan Perbup No. 73 Tahun 2024 dan Perbup No. 22 Tahun 2025, tunjangan perumahan Ketua DPRD bisa mencapai Rp52 juta per bulan. Ditambah tunjangan transportasi sekitar Rp28 juta. Total Rp80 juta per bulan, atau 40; kali lipat dari UMK Karawang 2025 yang cuma Rp5,5 juta.

Yang paling bikin kesal, kenaikan tunjangan itu dilakukan tanpa kajian kemampuan keuangan daerah (atau memang dilakukan kajian tapi untuk kemampuan keuangan daerah high class aja), tanpa transparansi publik, dan atas usulan DPRD sendiri. Inisiatif yang tidak pada tempatnya, bukan?

Kemudian semuanya diperhalus dengan bahasa self-serving regulation. Bahasa Karawangnya, “Mamantes sorangan, keur nyenangkeun sorangan.”

Padahal, Pasal 3 PP No. 18 Tahun 2017 jelas bilang, pemberian hak keuangan anggota DPRD harus memperhatikan kemampuan daerah dan prinsip kepatutan. (Sumber: peraturan.bpk.go.id)

Tapi rupanya di Karawang dan mungkin di daerah lain, kepatutan bisa menjadi dinegosiasikan. Ya, wajar sih. Kepatutan bukan hal yang mutlak dan sangat subjektif, yang kita nilai gak patut mungkin dinilai patut-patut saja buat orang Pemda.

Kesimpulan

Saya kira, saya akan menjadi tajir dan resmi menyandang gelar mafia tanah hanya karena beli rumah di Karawang, tapi enggak anjir~

Saya orang yang tahu rasanya nyicil rumah pake keringat basah sampai ke beha-beha:( 

Saya kira saya sudah tajir dan layak menikah dengan anak DPR RI, tapi kok deg-degan juga ngurusin pajak rumah yang cuma sekian meter persegi aja. Ah! Ternyata Bapak saya serius soal wasiatnya,

“Itu tanah jangan dijual, ya.”

“Lho, kenapa, Yah?”

“Soalnya punya orang, bukan punya kita.”

 

 

 

Sumber lain: Kajian Pajak GMNI dan kawan-kawan di Karawang. 

Author

  • Arini Joesoef

    Menulis puisi, prosa, melukis, dan bermusik tipis-tipis. Bukunya sudah 4, As Blue As You (2022), Jayanti (2023), Notes of The Lost Sheep (2024). dan Yusuf dan Sapi Betina (2025). Suka pamer dan suka bikin pameran.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like