Setelah seharian bekerja, Neng terlibat percakapan tak terduga dengan dampal kakinya—penuh keluhan, humor, dan ironi.
Nasihat-Nasihat Dampal Kaki

Begitu sampai di hotel, Neng membersihkan diri sebisanya. Sepatunya ia lepas begitu saja sebab ia sendiri tak kuat dengan baunya.
“Lengket pisan ih, bau!!! Aaaargh I hate Riau!”
Setelah melepas sepatu kerjanya, ia berlari kecil sambil berjinjit karena bau kakinya pasti menempel di lantai hotel. Setelah itu barulah ia mandi dan menggosok kakinya seperti orang kesurupan.
Ini memang kesalahan Neng yang tidak menggunakan kaos kaki. Tapi siapa juga yang mau payah mencari kaos kaki di kota yang tak dikenalinya itu. Ia menggosok-gosok lagi kakinya dengan seksama. Shower tetap menyala dan terus saja ia menyikat-nyikat kakinya.
“Ini hari harus sempurna. Gue udah sebulan gak ketemu dia dan gak ada ya ceritanya gue dimarahin gara-gara elo bau!” katanya sambil menyikat kaki dengan sabun yang berbusa-busa. Sesekali Neng pun menunjuknya.
“Sepatumu murah, aku berkeringat di sana,” kata kakinya mengeluh terus setelah menjadi sasaran marah-marah
“Heleh. Gue sama Rey pernah bikin teori soal itu. Gue pikir sepatu kalau mahal kaga bakal bau, tapi tetep aja ternyata. Jadi mau sepatu murah, mau sepatu mahal, sama aja deh.”
“Mungkin sepatu-sepatu mahalmu bikin aku tetap bau karena itu pemberian dan bukan hasil keringatmu sendiri.”
“Nyenyenye. Apa bedanya sepatu dikasih sama beli sendiri.” Neng sedikit kesal dan menyikat kakinya lebih kencang.
Ia kesal karena penghinaan itu benar bunyinya. Mana bisa ia beli sepatu yang harganya jutaan. Kalau bukan pemberian, Neng tentulah tidak bisa membelinya.
Setelah memastikan semuanya wangi, berpakaian lah ia. Kali ini ia menggunakan sandal saja. Bukan sepatu safety yang baunya seperti salak busuk itu.
Dengan baju lucu dan celana pendek yang itu-itu saja, bercerminlah ia: cantik sekali teteh-teteh gaptek ini. Begitulah pikirnya.
“Sayangnya akuuuu!” ia berteriak dan memeluk kekasihnya.
“Kenapa harus selalu berlebihan seperti itu?” kata kaki Neng pada kaki Ajo
“Mereka kan baru bertemu lagi, biarin saja. Apa salahnya sih? Kamu habis bertengkar, ya?” kata kaki Ajo.
“Yaaa gitu lah.”
“Apa yang terjadi?” tanya kaki Ajo.
“Neng terus saja menyalahkanku karena bau kakinya. Memangnya salah kalau kaki berkeringat? Dia bekerja dari pagi sampai hampir malam. Seharian berada di proyek. Debu, bau logam, serbuk besi, minyak, pipa, dan apapun itu membuatku gampang berkeringat, kan. Lalu memangnya salahku kalau berkeringat? Dia saja yang sepatunya murah dan jelek. Eh, waktu aku bilang gitu dia malah menggosokku dengan kasar.”
“Ya kamu. Aneh-aneh aja.”
“Keluargamu tau kamu ke Riau?”
“Enggak.”
“Kamu gak bilang?”
“Enggak. Aku juga gak ditanya. Tapi aku memang bilang lusa aku ke Jakarta.”
“Jadi orang tuamu taunya kamu berangkat dari Padang lalu ke Jakarta? bukan dari Padang ke Riau lalu ke Jakarta?”
“Ya, kalau ditanya aku jawab kaya gitu.”
“Kamu jadi ngerasa suka bohong gak sih sama keluargamu kalau sama aku?” Neng kali ini merasa bersalah.
“Hahah sejak kapan kamu mikirin itu?” Ajo menoyor kepalanya. Lucu sekali melihat Neng menjadi sosok yang menyadari kesalahan, “Kamu biasanya kalau selingkuh juga sok-sokan dibener-benerin semua alasan tuh, sekarang malah baru ngerasa bersalah. Ngadi-ngadi!” Ajo menciuminya gemas
“Menurutmu mereka bakal baik-baik saja?” tanya kaki Neng
“Ya, sejauh ini aku senang. Ajo jadi melangkah lagi setelah Neng kembali. Sebelumnya aku di kamar saja. Diam saja merenung. Ya beberapa kali ke luar untuk memastikan bisnisnya lancar. Pernah satu waktu aku sudah lama tidak ke luar kamar. Lalu Ajo berkendara 6 jam ke kota untuk melihat lukisan Neng. Aku senang.”
“Tapi Neng itu memang bajingan. Kau bayangkan saj…” sanggah kaki Neng.
“Ajo tau, tapi dia tetap menerimanya, kan? Lagipula memangnya kau mau apa? Kau ini cuma dampal kaki. Diajak ngobrol pun kalau cuma lagi mandi dan cuci kaki aja, kan.”
“Ihhh malas kerja. Aku capek ke site. Bau besi, debu, panas. Banyak pipa. Aku benci aku gak suka Riau. Hiks… hiks.” Neng memulai dramanya
“Heeee besok kamu kerja, terus kita pulang ke Jakarta sama-sama, ya. Sekarang kita pelukan. Aku mau peluk kamu gini aja,” kata Ajo memeluknya sambil tidur.
“Ya udah aku juga mau peluk tapi peluknya gini.” Neng tiba-tiba saja menggelitiki Ajo.
“Haaa! Iseng! Aku balas sini!”
Keduanya saling menggelitik, berguling ke sana-ke sini.
“Lihat, senang kan? Kapan coba terakhir kali kamu lihat Neng ketawa gitu?” kaki Ajo berlagak menasehati.
“Lebay anjir.”
Kaki-kaki itu terguncang sampai pagi.
Leave a Comment