Pada hari Jumat, 6 Desember 2024, Miftah Maulana Habiburrahman alias Gus Miftah, mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan. Menurut klaimnya, ia mundur dengan alasan rasa cinta, hormat, dan tanggungjawabnya kepada presiden Prabowo Subianto, dan semua masyarakat—bukan karena tekanan dan permintaan pihak tertentu. Padahal kita tahu, pertimbangan utamanya adalah karena dia nggak kuat menanggung kecaman netizen perihal kasus dia yang menghina tukang es teh di acaranya.
Kabarnya acara tersebut dimulai pada tanggal 20 November 2024, tapi viral pada hari Senin, 2 Desember 2024—dengan beredarnya video yang memperlihatkan Gus Miftah mengejek tukang es teh. Di dalam video yang beredar tersebut, Gus Miftah bilang begini (sudah diterjemahkan dari Bahasa Daerah ke Bahasa Indonesia), “Es teh kamu masih banyak nggak? Masih? Ya udah dijual lah, Gobl*k!” Sontak pernyataan ini pun membuat tukang es teh tersebut sedih. Beliau terlihat menarik napas panjang: berusaha untuk menahan emosi dan sakit hati. Iya, karena kan orang mempersepsikan kirain tuh ditanyain kaya gitu tuh mau diborong, eh taunya cuman diceng-cengin. Iya jelas kecewa, marah, dan sedih dong! Orang berusaha capek-capek nyari nafkah buat keluarga malah dipermalukan di depan umum.
Berangkat dari kasus viralnya Gus Miftah yang mengejek pedagang es teh ini memantik rasa murka netizen. Mereka berbondong-bondong mengeluarkan kecaman di kolom komentar dan status: menganggap bahwa kelakuan Gus Miftah tersebut tidak elok, tidak pantas, dan tidak sesuai pada tempatnya. Menghina seseorang apalagi di depan khalayak umum, itu melukai harga dirinya. Puncak kemurkaan netizen adalah dorongan untuk Gus Miftah supaya mundur dari jabatannya sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan. Alasan yang melatarbelakangi hal ini adalah karena jabatan tersebut memerlukan ketenangan, kebijaksanaan dalam bertutur kata dan berperilaku, serta pemikiran yang matang guna menjaga semangat toleransi di dalam masyarakat kita—yang mana semua hal itu tidak dimiliki Gus Miftah.
Kalau dipaksakan tetap menjabat, yang kemudian terjadi bisa berbahaya. Salah-salah ucap saat menangani konflik antar kelompok justru malah semakin memperuncing pertikaian yang terjadi. Sudah tak terhitung berapa banyak konflik horizontal yang terjadi karena provokasi verbal yang diucapkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.
Bukan sekali ini saja tindakan nir etika dilakukan Gus Miftah. Di tempo hari ada juga kejadian dia menoyor kepala istrinya di depan umum, dan terus yang belum lama ini viral, rekaman dia mengejek perempuan dengan “joke” seksis pun bertebaran. Ini menandakan bahwa apa yang dilakukan Gus Miftah itu bukan khilaf, tapi memang sudah menjadi watak jelek yang membatu.
Tapi, resistensi dan kecerdikan netizen dalam mengekspos sisi negatif Gus Miftah perlu dipelajari.
Bagaimana Netizen Kita Kuat dan Piawai Menjaga Ruang Cyber
Kalau kita ingin melihat kekuatan netizen Indonesia, maka kita perlu untuk melihat berapa jumlah pengguna internetnya, netizen kita paling banyak tuh di media sosial apa aja, dan berapa lama rata-rata netizen kita menghabiskan waktunya untuk “berjalan-jalan” di ruang cyber.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyatakan bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia itu ada 221.563.479 pada tahun 2024, dari total penduduk yang mencapai 278.696.200 orang pada tahun 2023. Ini jumlah yang sangat banyak, tapi kita tidak boleh berhenti sampai di situ saja. Merujuk pada data We are Social, media sosial yang paling banyak penggunanya di Indonesia, yakni ada WhatsApp sebesar 90,9%, dan Instagram sebesar 85,3%. Pengguna media sosial ini di Indonesia didominasi oleh orang-orang berusia 25-34 tahun yang menghabiskan rata-rata waktunya 7 jam 38 menit per hari untuk melanglang di dunia internet.
Dari sini kemudian kita bisa menyimpulkan bahwa dengan jumlah yang amat banyak, tersebar di WhatsApp dan Instagram, serta dimotori oleh anak-anak muda yang punya banyak waktu luang, membuat netizen Indonesia gencar menyuarakan isu sosial yang sampai sanggup mempengaruhi persoalan politik di dunia nyata. Kita masih ingat betul tentunya teman-teman kita membagikan status yang menyerang Gus Miftah karena arogansinya, dan membela Sunhaji (seorang pedagang es teh dari kalangan wong cilik yang tidak bersalah). Hal ini kemudian menyebar juga di grup-grup kerjaan, tongkrongan, dan keluarga–menjadi topik perbincangan utama yang memantik kesadaran bahwa seseorang yang memiliki kedudukan tertentu tidak boleh sewenang-wenang, dan orang yang harga dirinya sudah dilukai di depan umum itu berhak untuk mendapatkan hidup yang lebih baik.
Didorong oleh berbagai pemberitaan di lini masa, serta kecaman bertubi-tubi di media sosial, akhirnya tiap orang mendapatkan bagian yang pantas. Gus Miftah akhirnya mengundurkan diri, dan banyak orang yang berusaha untuk berhenti mengasosiasikan dirinya dengan Gus Miftah–di antaranya itu para supir truk yang tadinya begitu mengagumi Gus Miftah, tapi sekarang mencopot gambarnya di belakang truk sebagai bentuk kekecewaan mantan penggemar. Di sisi lain, Sunhaji banjir dukungan: banyak orang yang mendatanginya yang memberikan banyak manfaat dari mulai bantuan modal, uang, sampai tawaran ibadah haji. Sunhaji yang awalnya hidup serba kekurangan, sekarang sudah berkecukupan, dan kehadirannya diapresiasi oleh berbagai pihak.
Selain aspek intensitas serangan netizen kita terhadap Gus Miftah, ada satu hal yang tak kalah menarik: netizen kita menghentikan upaya menormalisasi menjelek-jelekkan orang kecil/lemah di depan umum. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di acara-acara publik seperti acara Gus Miftah, talkshow, Seminar, dan lain sebagainya, baik yang disiarkan oleh televisi atau media digital, orang kecil atau orang rentan sering dijadikan pelampiasan atau objek lawakan untuk “memeriahkan” acara–yang sebenarnya untuk memberikan makan ego yang mengelola acara atau orang utama yang menguasai panggung. Dengan hadirnya internet sebagai ruang untuk mengeluarkan unek-unek dan aspirasi, netizen kita memanfaatkannya untuk memantik kesadaran pentingnya memperlakukan orang lain secara manusiawi, dan tidak berhenti sampai di situ saja, netizen kita juga memperlihatkan ketidakadilan yang terjadi: bagaimana relasi kuasa antar Gus Miftah dan Sunhaji membuat yang satu menjadi penindas dan yang lain menjadi korban, bagaimana Sunhaji merupakan korban kemiskinan struktural, yang mana sebenarnya yang bersangkutan memiliki kesempatan untuk hidup makmur atau sejahtera apabila pejabat-pejabat di negeri kita nggak doyan menyalahgunakan jabatan dan anggaran, dan bagaimana kecaman yang bertubi-tubi terhadap Gus Miftah adalah bentuk sanksi sosial untuk membuat jera pelaku dan mencegah orang yang berniat melakukan hal yang sama untuk mengurungkan niatnya tersebut.
Dari hal-hal di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa netizen kita memiliki fungsi-fungsi berikut: fungsi pengawasan, fungsi penindakan, dan fungsi pendidikan. Hal-hal ini yang membuat netizen kita sanggup untuk menjaga ruang cyber.
Pelajaran untuk Politisi dan Publik
Gus Miftah ini kan dulunya orang kepercayaan Prabowo iya, berarti dengan adanya kasus ini menjadi pelajaran bagi Prabowo dan politisi yang lain untuk lebih bijak memilih orang untuk menjalani peran tertentu. Karena kalau memilih seseorang hanya karena dugaan balas budi politik, tanpa memperhatikan rekam jejak dan watak aslinya bagaimana, iya akhirnya blunder kaya begini. Publik pun kemudian bersikap kritis pada bagaimana kualitas Prabowo Subianto dalam memberikan kepercayaan pada orang yang digaji dengan uang rakyat. Muncul anggapan, “Ahh, berarti Prabowo ini tidak profesional!” Memberikan orang yang tidak kompeten jabatan, selain menyia-nyiakan anggaran dan menunjukan ketidakprofesionalan seseorang, juga menyakiti orang-orang yang tidak bersalah, seperti Sunhaji dan seniman perempuan senior yang Gus Miftah jadikan objek ejekan. Kan malu sendiri kalau di setiap pidato di podium sering berbicara tentang keberpihakan kepada rakyat kecil, tapi orang pilihan di circle-nya sendiri menindas kaum yang rentan.
Selain itu, hal ini juga menjadi pelajaran bagi publik, bahwa orang yang sudah berkali-kali membuat blunder seperti memperlakukan orang lain secara tidak manusiawi di depan umum, itu tidak perlu dikasih panggung. Cukup! Saya yakin Gus Miftah ini dulunya juga bermasalah–dilihat dari jejak digital yang ada di lini masa, hanya saja, karena mendapat pembiaran yang bersangkutan tetap mendapat panggung dan semakin mendapat justifikasi untuk mempertahankan wataknya yang jelek dalam waktu yang lama. Syukurlah pembiaran ini sudah berakhir dan Gus Miftah sudah mendapat sanksi sosial yang setimpal dengan perbuatan zalimnya.