Pagi ini teman kerjaku misuh ngedumelin jalanan macet menjelang mudik. Apalagi doi tinggal di wilayah yang jauh dari pusat kota, Dengklok City. Tapi Rengasdengklok mah Rengasdengklok aja deng udah.
“Urang sapopoe mangkat gawe teh jam 6 nya, terus amun usum mudik kudu mangkat jam sabaraha meren ieu teh?” begitu celotehnya dengan muka kusut karena ternyata doi gak sempet sahur juga.
Saya yang juga punya urusan di luar dengerin curhatan dia juga jadi menimpal sedikit kesal. Ya gini, deh. Terus saya harus apa? Harus demo sendiri gitu ke Teh Celli?
Sebenernya bukan dia aja yang kesal dengan kemacetan akibat mudik ini, aku juga termasuk orang yang gak gitu suka dengan budaya mudik. Buatku, mudik merupakan tradisi yang paling menyebalkan.
Maksudku gini, momen lebaran memang menyenangkan tapi tidak untuk mudiknya. Dalam rentang waktu yang singkat dan serentak, ratusan juta penduduk Indonesia akan melakukan perjalanan besar-besaran lewat berbagai jalur. Siapa yang diuntungkan? Lagi-lagi kaum kapitalis dong, harga bahan pokok jadi mahal banget. Belum lagi tiket angkutan umum yang ikut-ikutan naik dengan alasan “THR Karyawan”. Yang padahal, THR juga habis digunakan untuk keperluan lebaran saja (seenggaknya buat saya).
Masyakarat jadi semakin konsumtif dan gila checkout di toko hijau-oren walaupun harga melambung tinggi. Beli baju baru, sepatu baru, ayang baru (ehh) boncos juga kan. Akhirnya THR menjadi semacam kenangan yang melipir sebentar seperti kamu yang hanya menjadi tempat persinggahan. Belum lagi tradisi THR bocil karena tingkat fertilitas yang tinggi, maka pengeluaran THR buat ponakan yang baru lahir juga berbanding lurus ikutan tinggi juga yang padahal kita semua tau duit THR merekapun juga bakal masuk ke kantong emaknya sendiri (ngalamin THR “dititip” di emak soalnya wkwk).
Kalau zaman dulu, mudik atau pulang kampung dilakukan karena memang tidak bisa komunikasi dengan orang di kampung, zaman sekarang yang emak-emak udah bisa mantau anaknya pake cctv lewat hengpon, tiap hari video call sama nenek buat sekedar liat outfit doi pengajiannya hari ini pake apa, juga grup keluarga yang trang-tring rame terus kirim foto-foto aib masa kecil. Apa masih perlu tradisi pulang kampung di satu waktu?
Padahal pulang kampung bisa dilakukan kapan saja, buat acara keluarga sendiri tanpa harus di waktu yang bersamaan bukan? Momen lebaran justru seharusnya dilakukan dengan tetangga menurutku, karena tetangga merupakan keluarga terdekat kita.
“Za, tapi ini menyangkut warisan budaya dan agama loh.”
Oke dah, sungkem kalau udah bawa kartu merah begitu. Takut dicoret dari Kartu Keluarga dan disuruh pindah ke tetangga bikin kartu sendiri yang baru, “Kartu Tetangga”. Mudik merupakan warisan budaya yang pelan-pelan berpindah haluan menjadi sebuah kewajiban karena “norma keluarga”.
Pengalaman Mudik 2004
Ini merupakan mudik paling saya ingat, waktu itu saya masih kecil sekali tetapi masih teringat jelas. Keluarga kami memiliki eyang yang sangat jauh sekali kampungnya, ya betul kampungnya di Jakarta. Ini sangat bertentangan dengan “teori mudik” pada umumnya. Memiliki eyang yang sudah berfikir millennial banget pada zamannya, ia memutuskan rumah terakhirnya berada di Jakarta Selatan. Kami dari Bandung (waktu itu tol Padalarang belum dibuka), mengalami perjalanan ke Jakarta lewat Puncak Bogor. Perjalanan tersebut menggunakan bis yang “ada toiletnya” karena jarak yang ditempuh dari Bandung ke Jakarta normalnya saja 8 jam jika mudik bisa 12-18 jam.
Itu yang ke arah Jakarta mudik lawan arus saja begitu, gak kebayang yang mudiknya beneran mudik ke arah selatan dan utara berapa jam ya? Macet jelas, bete, takut, rawan kecelakaan, dan mabok perjalanan sudah menjadi hal yang menyebalkan jika kuingat.
Belum lagi ngiler pengen jajan pop mie pinggir jalan, tapi Ibu selalu larang alasannya “Mahal, gausah! Airnya juga pake air keran.” ketusnya.
Akhirnya aku ngotot nanti pas balik ke Bandung gak mau lagi naik bis, mau naik kereta saja. Aku merengek dengan alasan capek jekpot terus kalau naik bis. Pada saat itu ayahku menuruti keinginanku dengan syarat THR yang sudah kudapat dari tanteku disimpan di ayahku, aku menggangguk saja dengan membayangkan betapa menyenangkannya naik kereta nanti. Tapi ternyata, tidak seperti yang kubayangkan. Orang-orang penuh sekali di stasiun, seperti banjir manusia!
Sesak, muka kebentur-bentur tas orang, tangisan bayi dimana-mana, belum lagi pas kereta datang orang-orang makin bejubel. Akupun sampai terjatuh karena terdorong-dorong yang entah dari mana. Sulitnya memasuki gerbong kereta bahkan ada yang masuk lewat jendela. Aku nangis saat itu. Euphoria naik kereta tak seindah bayanganku.
Gridlock Tol Brebes 2016
Siapa yang gak tau Gridlock Tol Jakarta – Brebes yang menjadi rekor mudik terparah sepanjang sejarah atau dikenal tragedi kemacetan Brexit yang memakan korban jiwa sebanyak 17 orang. Kemacetan sepanjang 34 KM tidak bergerak sama sekali. Banyak akar permasalahannya, dari meledaknya volume kendaraan karena waktu mudik yang serentak. Juga terbatasnya kemampuan dari pihak Jasa Marga yang hanya membuka tiga jalur loket pembayaran. Banyak mobil yang mogok di peristiwa tersebut dan bahkan warga sekitar ikut berjualan dipinggiran tol. Tentu saja dengan harga yang sangat tinggi, bensin misalnya dijual hingga 50rb per liter.
Banyak orang yang trauma berat akibat kejadian kemacetan tersebut, sehingga serentak di tahun 2017 munculah bergerilya “pemudik motor” yang meramaikan nuansa permudikan hingga saat ini. Pemerintah pun ikut mendukung bahkan memberikan rute mudik bagi pemudik motor.
Biar bagaimanapun, tampaknya mudik juga bakal sangat sulit diubah. Ya ambil sisi positifnya saja seperti, orang-orang Cikampek yang tidak pulang kampung menuju arah Karawang pada arus balik bisa ikut merasakan mudik juga. 2022 lalu temanku memasang status di Whatsappnya
“Terjebak arus balik jalur Cikampek – Karawang Kota 6-8 jam gelo alabatan mudik ieu mah.”
Yah, semangat terus dan masih berharap akan selalu ada perubahan yang lebih baik untuk Indonesia kedepannya. Terutama untuk rakyat yang bekerja di jalur arus mudik ataupun arus balik semoga terus dikuatkan tonggongnya, dan khususnya untuk warga Cikampek yang berbahagia selalu exist masuk TV nasional di berita jalur pantauan mudik.