Kemarin, teman saya di kantor keceletot lidahnya. Katanya badan saya terlampau kurus dan mengkhawatirkan. Saya lalu menangys di kamar mandi tapi setelah makan ESO ternyata saya haha-hehe lagi. Setelah dapat tenaga dari makanan enak, saya langsung bilang
“Hei! Sini kamu duduk. Ayo kita baku hantam!” Gak deng.
Air mata saya yang biasanya hanya jatuh karena tanggal tua dan orang tua itu langsung membuatnya merasa bersalah dan minta maaf. Kemudian kami lanjut TikTokan. Ya udah gitu za. I love you too.
Saya jadi kepikiran, sebetulnya sudah lama saya gak tersinggung sebab dari dulu saya rasa saya memang kurus dan kecil. Beberapa kawan lama pun sekelibat sempat bilang kalau saya terlihat kurus. Saya pikir itu wajar sebab saya waktu itu habis selesai operasi dan sedang sering-seringnya sakit.
Ketika saya selesai nangis itu, saya ngaca dan saya lihat mata saya memang terlihat seperti menekuk ke dalam. Rahang saya lebih jelas garisnya, dan ketika saya menelan ludah rasanya semua ornamen di leher saya menonjol semua sampai denyut uratnya terlihat. Bahkan ketika saya ngomong atau menarik ingus itu tenggorokan saya kelihatan banget.
“Anjir! Heeh tapi euy siga nu gering pisan ieu mah!” kata saya sambil melihat diri saya lebih menyedihkan daripada Isabella Swan waktu ngandung bayi vampir.
Saya menimbang berat badan saya yang ternyata hanya 38 Kg. Pantas saja Fadil mengsedih lihat saya sekarang dan,
“Dih lu teh makan atuh!”
Sumpah, saya makan woy. Malah belakangan saya di rumah terus karena Bapak lagi ngedrop dan aktivitas saya benar-benar cuma kerja, main game, dan rebahan. Dibalik permasalahan tubuh dan kekhawatiran soal itu, saya rasa ini permasalahan yang gak cuma dialami sama saya. Laki-laki atau perempuan,
Beberapa orang mengkhawatirkan komentar orang lain terhadap berat badannya. Ketika kamu laki-laki dan kamu kelewat kerempeng, beberapa orang akan menganggapmu morfinis. Ketika kamu perempuan dan kamu kelewat kerempeng, beberapa orang akan menganggapmu gak dikasih makan sama pasangan atau gak bahagia. Ketika kamu laki-laki dan kamu gemuk, beberapa orang akan bilang kamu malas olahraga, dan ketika kamu perempuan dan kamu gemuk, kamu akan dibilang orang kebanyakan makan atau disejahterai pasangan.
Kalimat seperti,
“Enak ya sekarang mah ada yang ngasih makan,”
“Baheula mah asa lintuh maneh teh jeung si eta mah, naha ayeuna bet leutik kitu.”
Mungkin iya pasangan akan memengaruhi pola makan dan aktivitas sehari-hari, cuman ya masa lintuh harus nungguan boga pasangan hela kan enggak. Bukan begitu cara kerja tubuh tuh. Tubuh kan beda-beda. Ada yang mau kamu makan sebanyak apapun badanmu tetap kurus, ada juga yang mau kamu gak makan pun badanmu tetap gemuk.
Sekarang gini:
Sepasang kembar dengan berat badan yang sama berolahraga rutin selama sebulan dengan asupan porsi makanan yang persis. Di akhir bulan, berat badan si A adalah 50 Kg, berat badan si B 45 Kg.
Kok bisa?
Ya bisa, da misalkan si A mah suka begadang. Oh si B mah suka ngerokok. Oh si A mah suka alkohol, oh si B mah beer doang. Misalkan. Belum lagi hal-hal lain seperti
“Aduh lieur cicilan imah.”
“Aduh anak urang can dahar.”
“Aduh isukan hari terakhir perpanjang SIM.”
Serta rentetan hal-hal kompleks lainnya.
Saya lantas membawa diri saya ke tahun-tahun sebelumnya. Setiap makan, saya memang selalu disuapi pasangan. Apa-apa tersedia sampai ke depan mulut saya, saya cuma tinggal telan saja. Mau makan ini, mau makan itu, ambil. Mau pesan ini, mau pesan itu, tinggal bilang. Dipikir-pikir, ya juga ya sekarang saya gak punya waktu untuk merhatiin dan mikirin diri sendiri.
Alih-alih milih makan siang nasi padang atau ayam chicken, semenjak pulang ke rumah orang tua saya malah sering mikirin mendingan beli bensin atau ganti oli. Ya begitu lah. Hiduf adalah bercanda.
Saya tahu ini salah. Saya mungkin baru akan makan kalau lapar dan sisanya saya lebih sering menguyah asap tembakau ketimbang nasi. Tapi saya masih makan, guys dan perut saya itu selalu kenyang karena satu dan lain hal dan saya sedang berupaya supaya saya bisa sehat seperti biasa. Huhu.
Percayalah, saat saya menulis ini, teman lain di kantor saya baru aja bilang “Mbak gendutan dikit dong ihh kurus banget gak kayak awal masuk.”
Tapi menarik juga, ya. Semua orang seolah dituntut untuk memenuhi kriteria dan melampaui standar “tubuh yang ideal”. Padahal, berat badan bukan satu-satunya indikator tubuh sehat. Ah enggak tahu juga, lah.
Saya gak tahu sejak kapan angka yang muncul di timbangan itu jadi penentu utama ideal atau enggaknya tubuh saya. Saya kira proporsi lemak, otot, tulang yang seimbang, dan isi dompet harus diperhatikan juga. Intinya, tubuh kurus, tubuh gemuk, kita sama kuat dan sama sehatnya dengan tubuh yang lain karena kita masih hidup dan tetap bertahan diantara gempuran masa lalu yang suka datang semaunya.
Allah. Allah. Allah.