Kontradiksy mengabadikan kenangan bersama Paul, seorang earth defender sahabat kita semua.
Mini Album Kontradiksy: Nada-Nada untuk yang Pergi

Profil Singkat
Kontradiksy lahir sebagai ruang ekspresi musikal Diksy Singadiwarja pada penghujung 2019. Berangkat dari keinginan untuk menyimpan karya-karyanya secara legal di platform digital, ia mengemas setiap lagu dengan gaya yang bebas dan otentik—tanpa terikat jadwal rilis atau tekanan industri.
Nama “Kontradiksy” mencerminkan dua sisi pergulatan batin sang pencipta:
Kontra: ekstrospeksi—pengamatan terhadap apa pun yang berada di luar diri.
Diksy: introspeksi—menelusuri dan menyelami dunia batin.
Mini album perdana Sowing Light (20 April 2025) hadir sebagai tribute khusus untuk Paul Alexander David Ter Weel, aktivis alam yang menginspirasi Diksy menabur “cahaya” tanpa pamrih. Dua lagu di dalamnya—“Love For Mother Earth” dan “Wildflowers”—menyimpan jejak kenangan akan filosofi hidup Paul dan semangatnya merawat bumi. Tentu saja, sebagai aktivis Anti Vietnam War dan Earth Defender, Paul mewariskan seluruh dasar-dasar pemikiran yang berharga untuk orang-orang di sekitarnya.
Ingin tahu cerita seluk-beluk Kontradiksy dalam proses membuat lagu ini? Simak wawancara lengkap Redaksi Nyimpang bersama Diksy Singadiwadirja!
Mengenal Kontradiksy
Bisa ceritain apa sih sebenarnya Kontradiksy dan visi awal yang kamu bawa saat bikin project solo ini?
Kontradiksy adalah semacam rumah yang saya bangun untuk kegiatan bermusik saya. Sesekali ada kawan berkunjung dan berkolaborasi. Tapi hingga saat ini, saya belum terpikir untuk menambah anggota keluarga.
Kapan dan dalam situasi gimana kamu memutuskan mulai Kontradiksy—ada tanggal atau momen spesial yang bikin kamu melompat ke project ini?
Secara resmi saya menggunakan nama itu di penghujung tahun 2019, walau esensinya sudah bergulir sejak lama–mungkin 20 tahun sebelumnya. Tidak ada momen spesial. Saya hanya ingin merekam lagu-lagu saya dan menitipkannya di DSP (Digital Store Platform) agar lebih aman secara legalitas, juga karena di hardisk atau format lain beberapa kali data saya rusak.
Kenapa memilih format solo project, bukan band atau kolaborasi? Apa tantangan dan keasyikannya bagi kamu?
Band saya masih ada, walau jarang berkumpul. Jelas, karena semua punya kesibukan masing-masing dan band saya pun hanya sekadar band yang dibuat untuk kesenangan kami berlima. Sama sekali bukan untuk tujuan lain kecuali bersenang-senang.
Sebetulnya saya terbuka untuk kolaborasi dengan siapa pun, selama saling cocok. Buktinya dari banyak lagu yang sudah disimpan di DSP hanya beberapa yang aransemennya minimalis—hanya vokal dan gitar (baca: saya sendiri). Artinya, saya melibatkan pihak lain (berkolaborasi) dalam proses rekaman dan perform jika memungkinkan.
Asiknya, saya bisa lebih bebas. Persis kalimat pendek di bio Spotify Kontradiksy: “Seadanya. Sebisanya. Semaunya.” Tantangannya ya, jelas, saya harus mengatasi semuanya sendiri. Tapi, sejauh ini baik-baik saja karena memang tujuannya hanya sebatas menyalurkan hasrat bermusik dan menitipkan data supaya lebih aman.
Nama “Kontradiksy” kan unik, ya—ada cerita atau filosofi di balik penamaan itu gak, sih?
Nama saya Diksy Singadiwarja. Jadi secara singkat Kontradiksy adalah saya melawan saya. Meski ide awalnya itu untuk double album (sekitar 20 lagu) yang terbagi 2 chapter. “Kontra” untuk lagu-lagu ekstrospeksi saya, sedang “Diksy” untuk lagu-lagu introspeksi saya.
Target apa yang kamu tetapkan di fase awal Kontradiksy—misalnya jumlah rilis, panggung perdana, atau audience impian?
Tidak ada sama sekali. Saya hanya berkarya dan mengamankannya. Sesekali mengisi acara yang dirasa tepat, boleh juga.
Sowing Light & Tribute untuk Paul
Mini album perdana ini kamu beri judul Sowing Light—kenapa nama itu, dan bagaimana ia mewakili tribute untuk Paul?
Saya sangat mengagumi Friedrich Wilhelm Nietzsche, terutama karya terakhirnya, Zarathustra. Dalam bab On the Tree on the Mountain, Zarathustra berkata,
“I am a sower of seeds among you; and let none say that I sowed for the harvest.”
Kata “Sower” itu membekas di benak saya sejak lama. Sepertinya baru awal April kemarin akhirnya saya putuskan untuk mengadaptasinya menjadi judul mini album menggantikan judul “For Paul” yang terasa terlalu personal. Lebih jauh, dalam pandangan saya, Paul memang menabur cahaya meskipun dalam lingkup yang terbatas.
Di “Love For Mother Earth” kamu menulis “Take off your shoes and step on the ground” sebagai penghormatan untuk Paul—kenangan apa yang bikin baris itu begitu terasa?
Saya asal saja waktu menulis itu. Saya tidak tahu persis kebiasaan Paul ketika di ladang. Saya pikir seandainya saya jadi Paul, saya tidak akan menggunakan alas kaki ketika saya harus berkebun atau semacamnya, karena saya pikir itu akan lebih nyaman bagi saya. Dan ternyata pemikiran saya memang persis seperti kebiasaan Paul.
Lirik “Greed is crime againts life and the land,” muncul dari pengalaman bareng Paul—apa momen paling personal yang melahirkan kalimat itu?
Itu kalimat Paul yang saya sadur. Saya tidak hadir waktu beliau mengucapkan itu. Saya hanya tahu dari pihak keluarganya bahwa beliau pernah berkata, “Ketamakan adalah kejahatan terhadap kehidupan dan alam.”
“Wildflowers” menggambarkan Paul menanam harapan—bisa ceritakan detik-detik kamu menyaksikan aksi nyata Paul di lapangan yang menginspirasi lirik ini?
Selama tujuh tahun terakhir, saya tidak cukup banyak berinteraksi dengan beliau. Kalau pun berinteraksi, lebih karena kami berdua sebagai fans Bob Dylan.
“Wildflowers” itu interpretasi saya atas kehidupannya. Beberapa dari pengalaman berinteraksi, pengamatan hasil kerjanya, dan selebihnya dari penuturan pihak keluarga.
Dari keseluruhan lirik kedua lagu, jika harus pilih satu baris yang paling “jiwa Paul”-nya, kamu bakal pilih yang mana dan kenapa?
Mungkin “Greed is crime againts life and the land,” karena itu jelas merujuk ke pemikiran beliau.
Bagian 3: Proses & Rencana ke Depan
Waktu riset tribute ini, kamu ngulik apa—arsip foto, cerita teman, atau bahkan rekaman field recording Paul? Mana yang paling menyentuh?
Bagi saya, semuanya menyentuh, hanya kadarnya yang berbeda. Dan saya baru benar-benar tersentuh ketika mengubah sudut pandang dan kemudian menuliskan bait elegi menjadi lirik, “The forest hums softly, the mountains reply to Paul’s quiet labor beneath the wide sky.” Ini sejalan dengan kalimat Zarathustra tadi—dia menabur bukan untuk memanen, karena yang menikmati hasilnya adalah generasi selanjutnya.
Ada sesi di studio yang tiba-tiba berubah jadi obrolan mendalam tentang legacy Paul—bisa share momen seru atau haru itu?
Tidak ada, karena semuanya dilakukan bukan di studio. Malah “Wildflowers” itu direkam live di pekarangan rumah Paul.
Gimana reaksi keluarga dan sahabat Paul saat pertama kali denger dua lagu tribute ini—ada feedback yang bikin kamu terharu?
Tidak ada. Maksud saya, mereka berkata mereka menyukai dua lagu itu. Saya pikir mereka benar-benar menyukainya—semoga demikian.
Ke depan, Kontradiksy akan eksplor apa lagi? Masih akan banyak project tribute, full album, atau justru tema baru yang pengen kamu angkat?
Belum terpikir. Untuk urusan bermusik, saya sering melalukan sesuatu tanpa rencana, tanpa konsep—atau setidaknya sering membuat konsep secara mendadak. Saya memang semaunya, haha.
Terakhir, ada pesan untuk pembaca Nyimpang yang mau dengerin mini album Sowing Light ini?
Dengarkan Sowing Light secara keseluruhan, karena Sowing Light adalah rahim berisi dua anak kembar. Dan dengan mendengarkan Sowing Light lewat DSP manapun, pendengar berarti berdonasi untuk pengembangan Yayasan Sekolah Sawah yang didirikan Paul. Saya sudah berkomitmen tidak akan mengambil seperserpun dari hasil streaming yang dihasilkan. Itu sepenuhnya untuk yayasan.
Leave a Comment