Mimpi Menyeramkan Belakangan

Aku bekerja di sebuah pusat perbelanjaan terbesar di kawasan Jakarta Utara. Sebagai seorang perantau, tentu lah aku memilih untuk menyewa sebuah kamar kos di sebuah perumahan yang dekat sekali dengan tempat orang-orang tajir belanja itu.

Kosanku tidak buruk, tidak mewah juga, biasa saja. Sebab ini adalah daerah perumahan tua, rumah-rumah di sini sudah dipugar sedemikian rupa oleh para penghuninya. Berbeda dengan perumahan di kabupaten asalku yang kebanyakan berbentuk sama (karena subsidi), dan belum bisa dipugar macam-macam.

Anak kecil pun jarang terlihat di sini, malahan lebih banyak anjing peliharaan daripada anak kecil. Tepat di samping kosanku, berdiri sebuah rumah besar dua lantai yang memiliki anjing penjaga di dalam pagar tingginya. Hari pertama dan hari kedua ketika aku pindahan ke kosan ini, anjing itu lantang sekali menyalak. Mungkin ia belum terbiasa dengan bau Dian Sastro KW 8 ini. Tak apa lah, aku maklum. Toh hari ketiga dan selanjutnya ia tak pernah menyalak karena sudah mengenal bauku. Sekali lagi, aku maklum.

Ini perumahan tua dan letaknya di kota, namun memang tak banyak juga pemilik yang menjadikan rumah ini sebagai kosan, mungkin mereka memang sudah tajir atau punya kosan di tempat yang lain saja, seperti yang pernah kudapat informasi dari seorang nenek yang selalu berjemur setiap pagi di gerbang kecil pejalan kaki.

Ah! Nenek itu. Lucu sekali wajahnya, dan gayanya sangat jenaka. Sebetulnya aku selalu menyukai baju-bajunya yang vintage, dia juga sering ngomong sendiri. Maka ketika lewat, aku selalu menyapanya dan meskipun terdengar tidak sopan, aku suka masuk ke dalam obrolannya.

Aku rasa dia pikun atau semacamnya, deh. Dia pernah bilang begini,

“Iya tuh, dasar si Suep! Susah kalau dibilangin. Sering ngedumel kalau disuruh belanja naik oplet.”

“Ke mana si Suep sekarang, Nek?” tanyaku nimbrung sebentar sambil menggendong tas waktu kerja shift pagi

“Tuh lagi betulin mesin cuci. Pengeringnya rusak.” jawabnya sambil masih ngedumel

“Kerja pagi sekarang?” tambahnya

“Iya nih, fullshift aku hari ini Nek. Dah dulu, ya.”

“Iya iya.”

Ia lalu melanjutkan dumelannya dan aku pun melangkahkan kaki lagi buat menyeberangi Boulevard Raya. Lagu Dan Byrd selalu terngiang saat aku memabca plang jalan yang menunjukkan Boulevard. Aku lalu memikirkan diriku di masa tua nanti, mungkin aku akan tetap indie dan aktif ngedumel seperti Nenek itu pagi-pagi. Hanya saja, dengan tambahan rokok di jepitan jariku.

Kemudian, aku juga melanjutkan lagi perjalananku menyeberangi kolong lintasan LRT. Jalan yang besar dan berisik itu membuatku selalu ingin cepat-cepat memelet dan membuat presiden RI menikahiku sekarang juga. Aku tentu tidak keberatan kalau kelaminnya memang betul dipotong dan tak bisa memenuhi kebutuhanku yang “itu”, ah lagipula itu perkara mudah! Toh, lebih susah menjadi pekerja yang harus menyebrangi jalan dan bersiap-siap tidak ditabrak sesama pekerja yang juga ketakutan dimarahi bosnya.

Hari itu, hujan sepanjang hari. Dari siang sampai malam, aku hanya mengurung diri di tempat kerja juga. Makan di tempat penyimpanan, dan ya merebahkan diri di atas kardus dan melihat tumpukan bahan minuman premium lainnya.

Sudah pukul 11 malam, sudah waktunya aku pulang.

Aku kembali menyebrangi jalan, lalu memasuki gerbang khusus pejalan kaki, dan kembali melewati rumah Nenek. Tentu saja malam ini ia tidak pernah nongkrong dan berjemur di depan rumah. Mungkin saja ia sedang nonton film Amerika di bioskop malam Trans TV atau Trans 7.

Aku melewati rumah nenek itu dan di depannya memang ada rumah yang dijual. Itu bisa terlihat dari spanduk yang menempel di pagar rumah itu lengkap dengan nama salesnya. Rumahnya putih dan hampir semua dindingnya kaca, sehingga aku bisa melihat ke dalamnya.

Rumah itu kosong melongpong, dan semuanya serba putih. Hanya ada satu lampu yang menyala di tengah rumah yang sangat jauh dari tempatku berdiri, yaaa karena rumah itu luas. Aku melihatnya dari jalanku yang pelan. Aku melihat ke dalam, agak merinding juga.

Sebetulnya ini bukan kali pertama aku melewatinya. Beberapa kali kalau aku pulang malam aku juga sering mendengar lantunan ayat kursi terus-terusan disetel di sini. Padahal, tidak ada orang di dalam, tapi lantunan itu terdengar begitu nyaring dari dalam rumah itu. Suasana yang menyeramkan sekali. Ditambah, jalan sangat sepi dan gerimis mengeclak sedikit-sedikit. Angin juga halus sekali rasanya. Bulu kudukku merinding.

Aku muslim tapi jarang salat, dan meskipun begitu, aku tahu kalau suatu tempat banyak hantunya, katanya memang harus sering-sering dingajiin. Aduh! Mana jalan ke kosanku masih panjang, pula!

Aku mempercepat langkahku dengan sedikit berlari. Soalnya, samar-samar aku melihat sesuatu melintas di dalam rumah itu. Namun tentu saja karena aku menulis ini pun sambil takut, maka tak akan aku gambarkan!

Aku lalu berjalan cepat, dan tak peduli dengan tikus-tikus yang juga kaget dengan langkahku. Pasti tikus-tikus itu juga kesal.

Guk! Guk! Guk! Guk! 

Aku semakin merinding ketika anjing tetangga itu malah meneriakiku. Heran sekali aku! Bagaimana bisa ia yang sudah mengenali bauku kali ini menyalak begitu lantang seperti waktu aku pertama kali datang ke kosan ini?! Angin berhembus lagi dan

Guk! Guk! Guk! Guk! 

Sambil membuka gembok pagar, aku terburu-buru dan mencoba memberanikan diri dengan bilang,

Ssst! Heh! Diam kau! Berisik kali kau anjing!” teriakku sambil ketakutan. Anjing itu malah makin menyalak, dan kunciku terhempas ke bawah sebelum gemboknya terbuka. Alamak! 

Aku bisa merasakan sebuah wajah tersenyum lebar mendekat padaku!

Guk! Guk! Guk! 

Aku buru-buru membuka pintu sambil membaca-baca entah apa karena aku tentu tak hapal doa-doa. Aku ngibrit langsung menaiki tangga menuju lantai 3, tempat kamarku berada.

Huft. Hah. Lelah sekali. Setan sialan! Sudah dihantui pemerintah dan kehidupan melarat, masih dihantui setan juga!

Aku membuka sepatu, dan merokok sejenak sebelum mandi. Aku menunggu diriku menjadi lebih santai, dan rokok adalah juaranya. Aku pun membereskan kamarku dan memukul-mukul kasurku dengan sapu lidi untuk menghilangkan debunya. Maklum, kadang kipas anginku membawa debu ke kasur, dan setelah kasur itu bersih, aku mulai rebahan sedikit. Aku mulai membuka ponsel.

Chatting-chatting pekerjaan dan hisapan rokok membuatku lupa akan kejadian menakutkan tadi. Bahkan aku langsung saja mandi saking kesalnya pada bosku yang sok itu. Tidak ada yang aneh di kamar mandi, dan aku memang sudah tidak takut lagi setelah mandi meskipun kamar mandiku berada di luar dan aku harus turun 1 lantai.

Sambil membuka pintu, aku bersiap merebahkan diri di kasurku yang empuk sambil video call dengan lelaki yang cukup membuatku kangen. Begitu aku membuka pintu, aku langsung terkejut melihat bunga-bunga kering telah tertabur di kasurku. Suara anjing tetangga itu kini menyalak lebih kencang lagi.

Guk! Guk! Guk! 

Bulu kudukku berdiri sampai ke ubun-ubun!

Aku megap-megap dan sekonyong-konyong langsung menelepon lelaki nun jauh di sana itu. Langsung diangkat, dan aku langsung menceritakannya. Dingin menjalar di telingaku sampai ke tumit. Ini kali pertama aku dikerjai setan!

Ditenangkannya aku yang sudah menangis itu. Aku ditemaninya sampai tertidur, dan ketika aku membuka mata sekitar jam 2, aku melihat ia pun sudah pulas dan telepon masih menyala. Aku sudah tidak takut lagi dan membayangkan betapa baiknya dia kalau sedang seperti ini.

Ya di saat-saat yang lain juga baik, sih. Hanya saja aku yang pada dasarnya kurang ajar kadang menyadarinya di waktu-waktu begini saja. Lagian, gengsi juga. Aku lalu melihatnya tertidur, sesekali menggaruk-garuk entah apa, lalu aku memperhatikan wajahnya saja.

Aku kenal betul dengan tempatnya tertidur, ya… di rumahnya. Aku juga mengingat-ngingat betapa sering aku menghabiskan waktu di sana. Nah, di waktu-waktu seperti ini juga lah aku mulai merasa menjadi manusia paling menyedihkan hanya karena terpisah kota dengan lelaki macam dia.

Aku memperhatikan rambutnya, dan ia pun menggaruk-garuk rambutnya, dan …

“Eh? Tunggu. Kenapa, rambutnya jadi panjang, dan … muncul sebuah wajah dari belakangnya! Mendekatkan diri padaku melalui kamera.”

“Aaaaaargh!” aku berteriak tak tahan lagi dengan semua ini!

“Sayang? Sayang? Sayang?”

Nut. Nut. Nut. Nut. 

“Sayang, kamu mimpi, ya?” lelaki itu bertanya padaku. Napasnya yang sedikit bau jigong pagi itu menemple di depan wajahku

“Iya.” aku menangis ketakutan

“Mimpi apa, Sayang? Adududuh kasihan, sini sini aku peluk. Kamu mimpi apa?” ia lalu memelukku dan mengusap-ngusap rambutku

“Aku mimpi kita LDR. Serem banget … hiks hiks hiks.” 

Author

  • Arini Joesoef

    Menulis puisi, prosa, melukis, dan bermusik tipis-tipis. Bukunya sudah 4, As Blue As You (2022), Jayanti (2023), Notes of The Lost Sheep (2024). dan Yusuf dan Sapi Betina (2025). Suka pamer dan suka bikin pameran.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like