Setelah membuat saya terpukau lewat serial The Haunting of Hill House (2018), Mike Flanagan kini kembali dengan serial terbarunya berjudul Midnight Mass (2021). Fredel mungkin sudah lelah mendengar saya berulang kali memuja-muji serial ini. Bukan tanpa alasan. Bagi saya, apa yang coba diangkat oleh Mike Flanagan sangat relevan dengan kondisi sosial-masyarakat saat ini. Midnight Mass merupakan sebuah satir-elegan yang berformat serial tujuh episode. Yang tentunya sangat worth-to-watch.
Midnight Mass dibuka dengan kedatangan Pastor Paul (Hamish Linklater) ke sebuah pulau terpencil bernama Crockett Island yang penduduknya kurang lebih cuma 100 orang. Dengan gayanya yang kharismatik terutama ketika berkhutbah, Pastor Paul menjadi daya tarik tersendiri bagi jemaat untuk berbondong-bondong pergi ke gereja. Di samping itu, Pastor Paul juga datang dengan “mukjizat”. Dari mulai menyembuhkan warga yang kakinya lumpuh, hingga membuat orang mati dapat bangkit kembali, bahkan abadi. Sangat biblikal!
Takjub melihat bagaimana Pastor Paul membuat banyak keajaiban di Crockett Island, Beverly Keane (Samantha Sloyan) sebagai pengurus gereja, malah ngide untuk mengiming-imingi para jemaat untuk melakukan bunuh diri massal dengan meminum racun agar dapat hidup abadi. Parahnya, Bev menghasut jemaat lewat ayat-ayat Alkitab yang ia terjemahkan secara mentah-mentah dan alakadarnya.
Merasa ada yang tak beres setelah kedatangan Pastor Paul, terutama karena kedatangannya berbarengan dengan rentetan kejadian misterius yang melanda Crockett Island, Erin (Kate Siegel), Riley (Zach Gilford), Dr. Sarah (Annabeth Gish) dan Sheriff Hassan (Rahul Kohli) mencoba melakukan penelusuran guna menguak misteri dan keganjilan yang terjadi berturut-turut di kota pencil mereka.
Dengan tangan dinginnya, Flanagan sekali lagi membuktikan kemampuannya dalam membangun horror di atas pondasi cerita yang kuat. Memadukan horror dengan drama yang puitis. Penuh dengan sisipan dialog filosofis tentang kehidupan, kematian dan keyakinan. Kini semakin berasa, berkat dibumbui dengan muatan religi yang sangat nendang. Semua aspeknya melebur menjadi sajian yang bukan hanya sekedar menciptakan rasa takut, namun juga penuh makna.
Walaupun mengambil referensi ajaran dan budaya agama Katolik dan menyajikannya dengan begitu provokatif, unsur religinya tidak datang untuk memojokan agama tertentu. Tapi mengkritik manusia-manusia picik yang menyalahgunakan agama demi keuntungan pribadi. Cerdiknya, hal tersebut tidak dibungkus dengan kemasan yang menggurui. Namun dijewantahkan dengan begitu luwes lewat karakter-karakternya.
Meski ada sosok makhluk yang di-set untuk meneror penduduk Crockett Island. Kengerianya justru hadir dalam wujud manusia bernama Beverly Keane. Lewat karakter Beverly, Flanagan tampak ingin memberi gambaran bahwa; apa yang dilakukan manusia bisa lebih menakutkan dari setan itu sendiri. Kemunculannya selalu bikin gregeten. Terlebih karena Bev selalu “pang-aingna”. Merasa paling suci dan merasa berhak untuk menghakimi seseorang karena menganggap orang lain manusia rendahan. Merasa berhak mendiskriminasi seseorang yang berbeda keyakinan, hanya karena orang tersebut minoritas. Adegan Beverly berdebat dengan Sherif Hassan terkait pembagian Alkitab di public school saja membuat saya menghela nafas lebih panjang dibanding teror makhluknya.
Hal menarik lainnya adalah, ketika Flanagan mencoba merasionalkan mukjizat yang menyertai Pastor Paul. Biarpun beberapa hal ditarik ke arah supranatural. Namun penjelasannya masih dapat diterima. Siapa yang menyangka kalau semua mukjizatnya berakar dari makhluk yang merupakan vampire. Mengingat ketika bangkit dari kematian, warga Crockett Island menjadi haus darah dan dapat terbakar ketika terkena sinar matahari. Vampire ini juga nantinya digunakan Beverly untuk mengibuli jemaat, memanipulasinya seolah-olah vampire tersebut adalah malaikat utusan Tuhan.
Untuk departemen akting, Flanagan kembali membawa aktor dan aktris langganannya. Salah satunya tentu istrinya sendiri, yaitu Kate Siegel yang penampilannya tak pernah mengecewakan. Kebencian saya terhadap karakter Beverly Keane juga menunjukan betapa berhasilnya Samantha Sloyan memerankan karakter tersebut. Satu lagi yang menjadi sorotan adalah penampilan ikonik dari Hamish Linklater selaku pendeta muda yang kharismatik dengan monolog-monolog panjangnya saat berkhutbah. Jangan lupakan, kombinasi visual cantik dengan warna yang temaram serta setting cerita di pulau terpencil dan terisolasi juga turut bahu-membahu membantu menguatkan kesan konservatif yang meliputi kisahnya.
Di beberapa bagian, Midnight Mass kadang mengulur ceritanya terlalu panjang. Flanagan menyimpan rapat-rapat misterinya di tiga episode awal. Menyelimuti penonton dengan rasa penasaran. Menebak-nebak kemana arah ceritanya akan berjalan. Kemudian dengan telaten mengupas lapisan misterinya satu-persatu secara perlahan dan menumpahkan semua konfliknya di dua episode akhir. Dua episode yang akan membayar kontan rasa penasaran dan kesabaran penonton.
Midnight Mass hadir untuk menggugat fanatisme. Fanatisme buta yang membuat kita selalu merasa lebih baik dari yang lain. Fanatisme buta yang malah menjauhkan diri kita dari nilai-nilai yang kita anut dan kita yakini. Fanatisme buta yang membuat kita sulit membedakan mana yang perintah Tuhan dan mana yang datang dari ego kita semata. Lebih jauh lagi, Midnight Mass berhasil menyentil sisi humanis kita. Mempertontonkan rasa takut bukan dari setannya, tapi tingkah laku manusia-manusianya. Horror yang teramat nyata karena dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Buah karya yang mengagumkan dari Mike Flanagan.