Momen setelah Gonzalo Montiel mengeksekusi penalti terakhir. Menunjukkan intensitas level gledek selama 120 menit. Tiada luapan berlebihan, di mana pemain-pemain La Albiceleste di bangku cadangan hanya sedikit menyerbu lapang, dan para eksekutor penalti tak berhamburan untuk selebrasi. Stadion hening. Semuanya khusyuk dalam tangis, menahan gemetar dengkul saat menyadari trofi hampir lenyap dalam beberapa detik. Pelatih Scaloni coba menguasai ekspresinya. Mukanya yang merah dipeluk oleh asistennya. Messi jatuh berlutut. Tersenyum lega sebelum dirubung oleh kawan-kawannya.
Masih teringat kelakar/komentar dalam memuji Messi. Sebuah majalah, yang kubaca selagi SMA, membandingkan Ronaldo dan Messi seperti ini, “Ronaldo bilang tuhan mengutusnya ke bumi untuk mengajari orang cara bermain bola. Lalu dengan santai Messi berujar, aku, tak mengutus siapa-siapa.” Kemudian, Giorgio Chiellini menjelaskan kepada pers. Taktik mematikan dua cyber dalam laga yang sulit: “Ketika menghadapi Ronaldo, jangan berdiri terlalu dekat, jangan biarkan ia menembak dengan kaki kanan. Saat berurusan dengan Messi. Banyak-banyak berdoa saja.”
Aku tak peduli mana yang lebih hebat. Keduanya jadi momok bagi Arsenal, tim yang kujagokan sejak 2011. Tahun saat rubrik olahraga Republika masih melekati mading sekolah. Dirubung kawan-kawan pesantren selepas ashar. Saat di Barcelona, Messi hampir selalu menang lawan Arsenal. Di UCL 2016 ia memborong tiga dari lima gol yang bersarang, leluasa mengakali Cech dan Ospina. Lebih gila lagi di 2010. Ketika Bendtner menghidupkan asa di menit 18, membawa Arsenal unggul agregat sebelum Messi mencetak quatrick (4 gol) ke gawang ringkih Almunia. Kekalahan Messi dari Arsenal hanya saat 2011, ketika Barca bertandang ke Emirates Stadium dan Jack Wilshere berhasil menjinakkan Xavi dan Iniesta. Tertinggal akibat gol David Villa, Eksekusi Van Persie di sudut sempit, juga serangan balik yang ditunaikan oleh Arshavin, tanpa disangka sanggup melipur Arsenal.
Di musim 21/22. Sekembalinya dari Juventus, Ronaldo mencuri lagi hati Old Trafford. Ia memborong 18 gol untuk membantu MU lolos ke UEL. Mencetak dua gol saat menjamu Arsenal, membalik peruntungan MU ketika Fred yang menginjak kaki De Gea, memberi gol cuma-cuma kepada Smith Rowe. Hattrick-nya yang memikul MU sendirian dalam kemenangan atas Tottenham (13/3). Tendangan dari jarak 30 meter, tap-in meneruskan umpan Sancho, dan tandukan penentu bukan saja menyelamatkan MU, tapi juga menutup aksi ceroboh rekan-rekannya; semisal Telles yang menggratiskan penalti; atau Maguire yang mencetak gol bunuh diri. Memang di musim 22/23 wawancaranya dengan Piers Morgan memicu keretakan. Banyak fans MU balik menghujat, dan manajemen setuju untuk memutus kontraknya secara sepihak. Namun kontribusinya dalam menyelamatkan musim MU yang pas-pasan di umur lumayan tua, mengingatkan kita betapa kaki-kaki robot itu masih berbahaya.
Nasib keduanya memang sempat berbanding terbalik. Ketika Messi, dalam fase adaptasi, kesulitan di PSG, sedang Ronaldo yang bulan madu untuk kedua kalinya, moncer bareng Red Devils. Saat itu di Liga Prancis 21/22, Messi hanya mencetak 6 gol dan mengumpulkan 15 assist. Cedera dan masalah kesehatan seringkali membuatnya absen. Namun menjelang Piala Dunia, performa Messi lebih mentereng. Beda dengan Ronaldo yang terkucil di MU, dibangkucadangkan atas alasan attitude sampai-sampai mesti diskorsing, raihan Messi lebih mendukungnya untuk menggondol trofi. Melalui 13 laga, hanya mangkir satu kali akibat gangguan betis, 7 gol Messi melebihi capaiannya di musim pertama Liga Prancis.
Messi meliar ketika sang rival tak banyak berkontribusi untuk Portugal. Di pertandingan terakhir fase grup. Ronaldo digantikan di menit 65. Hanya menonton kemenangan Korea di pinggir lapang tanpa bisa berbuat banyak. Menyaksikan umpan terobosan Son berhasil melongkap tiga rekannya sebelum Hwang Hee-chan merobek jala Diogo Costa.
Di perempat final Ronaldo memulai dari bangku cadangan. Mendapati Goncalo Ramos yang terkesan cocok menggantikannya. Juga lini serang yang justru berkembang tanpanya, sebelum menjajal sedikit menit dan melangkah ke perempat final. Di babak itulah Maroko menyingkirkannya, memaksanya memasuki lorong dengan terisak menyadari impian kandas oleh kokohnya tembok lawan. Sementara Messi didukung jagat. Beroleh pemain-pemain energik yang siap mengantarnya ke podium juara.
Taktik Scaloni menyodorkan Messi menu istimewa. Ada Julian Alvarez yang menjamin mutu kecepatan. Enzo Fernandez dengan tekelnya, dan Mac Allister yang menekan di sepertiga lapang sambil menghubungkan lini serang. Ketiganya jadi penjamin Messi dalam bertindak. Mengupak tim secara taktikal setelah kalah dengan mengejutkan di pertandingan awal.
Mexico dengan Ochoa-nya dibobol dua gol oleh shooting datar Messi dan tendangan lengkung Enzo Fernandez. Setelah panik oleh penyelamatan penalti Szczesny, gol Allister dan Alvarez sempurna mengamankan poin. Mengatasi Polandia dan membawa Argentina lolos grup dengan memimpin. Di fase gugur, Australia sempat menganggu. Ketangguhan mereka tergambar dari skor ketat 2-1. Meskipun kalah, aksi Behich yang melewati empat pemain sebelum eksekusinya digagalkan Lisandro Martinez bikin jantung ber-jogging. Di laga itu, Alvarez menambah golnya. Membuktikan perannya di depan gawang lebih meneror daripada Lautaro yang terus-terusan buang peluang. Messi mencetak gol dari open play, memanfaatkan ruang sempit lewat kombinasinya dengan Allister dan Otamendi.
Mengatasi Belanda di perempat final. Mental pasukan Scaloni makin terlihat. Counter Attack ala-ala Van Gaal dihadapi dengan skema mirroring racikan Scaloni. Struktur 3-4-1-2 Belanda diladeni formasi 3-5-2 Argentina. Di mana sprinter-sprinter di kedua sayap, Dumfries dan Depay diredam oleh Acuna dan De Paul yang telaten. Blind yang berguna untuk memberi umpan terobosan dari sayap kiri, diganggu terus oleh Molina, sampai-sampai hanya mencatat 34 sentuhan dalam 68 menit, jauh dari rata-rata statistiknya di Piala Dunia 2022 (70/90menit). Laga sulit itu menyulut 14 kartu kuning, memberi waktu tambahan hingga Weghorst menyamakan skor dan memperpanjang nafas Belanda.
Aksi teatrikal mewarnai laga itu. Ada Paredes yang menembak bola ke bangku cadangan, membuat kedua negara saling dorong bersiteru. Emi Martinez, yang bertelanjang dada dan meledek lawan dengan frontal. Sisi lain Messi di lapang: menghampiri Van Gaal, yang pada jumpa pers lakukan psywar dan Edgar Davids seolah bilang, “Tutup mulut, dan hati-hati kalau bicara.”
Tak terpengaruh celoteh Van Gaal, di laga itu Messi tampil beringas. Umpan nutmeg-nya untuk Molina, yang menerjang dari sisi kanan, menaklukkan Ake yang sedang membayang-bayanginya. Menunjukkan kejelian Messi menggiring bola sambil memindai posisi rekan. Penalti yang didapat Argentina, setelah Acuna dilanggar, juga berhasil dituntaskannya.
Melangkah jauh sampai ke final. Cibiran tak luput menyerang Argentina. Banyak yang menyorot keputusan wasit memberi penalti. Merasa kontak terlalu ringan atau bersifat “tak bisa dihindari” seperti di semifinal ketika Alvarez berbenturan dengan Livakovic. Tak dikartumerahnya Paredes di perempat final juga memicu perdebatan. Piers Morgan malah mengungkit soal kesepakatan Messi dengan PSG yang salah satunya berupa jaminan Piala Dunia, tanpa memberi bukti yang valid. Haters di media sosial juga tak bosan untuk mengomentari jalur bagan yang menghindarkan Argentina dari lawan-lawan kuat.
“Argentina akan lolos dari grup dan menjadi juara.” Sebut Herve Renard setelah timnya, Arab Saudi mengalahkan Argentina. Membuat Sultan berterimakasih dengan memberikan mobil mewah kepada pemainnya yang cetak sejarah. Menghasilkan rasa superioritas pada publik arab meski sejenak. Bukan sembarang penghormatan, kata-kata itu terbukti setelah final. Terkesan lebih relevan dari iklan Louis Vutton yang memotret Messi dan Ronaldo beradu catur di atas koper.
Di babak pertama final, Argentina memborong semua keuntungan. Menerapkan high press yang bikin mati kutu lini tengah Prancis. Menyulitkan Griezmann untuk mengumpan dan mengisolir Tchouameni. Deskripsi ketatnya laga terbukti dari Rabiot yang beberapa kali terlanggar, juga adu banyak-banyakkan gasak antara De Paul dan Enzo Fernandez terhadap lawan.
Adapula tactical fouls dalam merecoki build up. Sebelum diselamatkan peluit. Grizzi turun jauh hanya untuk menjemput bola. Ngeri kakinya patah. Giroud betapapun kokoh tubuhnya, diganggu Romero dan Otamendi tiap kali memegang bola. Dikover dua pemain sekalinya menyambut crossing dan free kick. Argentina juga mengempesi sektor sayap. Menumpuk banyak pemain di sana untuk keunggulan jumlah. Tchoumeni kecolongan menutup Messi tak disokong para bek yang geraknya diikat Di Maria. Melonggarnya sisi kanan Prancis, dieksploitasi Di Maria dalam proses gol kedua
Demi membenahi lini serang, yang kesulitan mendapat bola, mengeksplorasi kecepatan Mbappe yang sejak awal disia-siakan, Kolo Muani dan Thuram masuk sebelum jeda. Di babak kedua agresifitas disuntik dalam hadirnya Coman dan Camavinga. Sejak itu peruntungan sedikit berubah. Prancis sanggup berduel, merebut bola dari kaki lawan. Kolo jadi penyelamat saat tubuh gempal Otamendi keteteran oleh kecepatannya, memberi tim penalti yang berhasil memperkecil ketertinggalan. Coman pun berhasil menyerobot bola yang dikontrol Messi. Mengalirkannya ke tengah sebelum first touch Mbappe, hasil kerjasama dengan Thuram, membobol gawang Emi Martinez untuk kedua kalinya.
Skor sama kuat membangunkan Argentina. Menyikapi extra time dengan memenangi lini tengah. Membuat Lloris kelabakan begitu Enzo, Lautaro dan Messi tanpa ampun melubangi barisan bek. Sementara Lautaro gagal memanfaatkan one by one, di depan gawang, menanduk bola seburuk gaya rambutnya, Messi memberi lagi pembuktian. Menambah skor 3-2 sebelum shoot Mbappe yang mengenai tangan Montiel memaksa laga tanding kiper di bawah mistar.
Publik Qatar menyaksikan di mana laga sengit menghibur mereka sampai mau pingsan. Qatar Airways semringah berhitung keuntungan exposure, iklan segala macam, saat dua pemain dari klub yang disponsorinya jadi protagonis di partai final. Hattrick Mbappe mengklaimnya sebagai topskor Piala Dunia Qatar, sedang Messi(ah) sang juru selamat selangkah lagi sejajar dengan Pele dan Maradona, bikin Ronaldo mewek saat menontonnya dari rumah.
Segera saja penalti tunai. Emi Martinez tetap nyentrik, berjoget merayakan eksekusi gagal. Persis aksinya saat merecoki Yerry Mina di Copa America 2021, atau Bruno Fernandes di Premiere League. Kali ini Konsenstrasi Tchouameni yang diganggu hingga tendangannya melebar. Sedang Lloris selalu kalah cepat dalam mengantisipasi arah, memuluskan Argentina untuk juara ketiga kalinya.
Di Fantasista.id, Jurnalis sepakbola, Ilhamzada, menulis bagaimana trofi selalu didapat untuk mengobati luka Argentina. 1978 ketika Jorge Rafael Videla memimpin dengan tangan besinya. Menewaskan buruh, mahasiswa, jurnalis, seniman, membungkam elemen rakyat yang menentang kediktatorannya. Argentina yang dihuni pemain berkelas, seperti Pasarella, Osvaldo Ardiles dan Mario Kempes, mengalahkan Belanda di final. Sedikit melipur masyarakat yang hari-harinya sering tertindas.
Ketika juara pada 1986. Dalam kemenangan atas Inggris, gol tangan tuhan Maradona dan gocekannya, meninggalkan empat pemain sebelum mengatasi Shilton sendirian dianggap obat yang mujarab. Obat yang sanggup menghapus aib perang Malvinas empat tahun sebelumnya. Saat serangan nekat Leopold Gaulteri gagal total, dihabisi oleh angkatan laut Inggris di pulau Falkland. Pembalasan itu semakin lengkap ketika Jerman Barat diempaskan 3-2 di final.
Bertolak dari sejarah, Ilhamzada mengaitkan era sekarang. Argentina yang juara dunia seiring inflasi mencengkram, jadi penghiburan untuk rakyat. Memang sebagian penulis sepakbola akan tergiur mengungkit sejarah. Membahas lagi pemain berkelas yang di masa lalu pernah ada. Meletakkan pondasi pencapaian yang akhirnya disamai oleh penerusnya, tanpa sadar, sengaja atau tidak, telah meyakinkan pembaca jika turnamen ini hanya milik sebagian negara.
Aku berterimakasih sekali. Kalau saat menonton Piala Dunia 2022 diingatkan kembali problem negara, baik itu negara sendiri maupun kontestan. Semisal inflasi yang sedang merundung Argentina. Pemain iran yang menolak menyanyikan lagu kebangsaan saat bertemu inggris (21/11). Melakukan aksi protes atas tewasnya Mahsa Amini yang dipenjara setelah diduga melanggar aturan pemerintah dalam berjilbab. Tuan rumah Qatar yang mengebut pembangunan stadion dengan darah para imigran. Atau tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang, yang menunjukkan betapa murahnya nyawa suporter selagi federasi, polisi dan pihak-pihak yang menghidupkan kompetisi terus sembunyi tangan dari bertanggung jawab. Biarpun begitu, 90 menit di lapang tetap penting untuk pemain yang berkorban hingga sampai ke sana. Sebuah seni olahraga. Saat gerak atletis, terjangan, umpan-umpan kurang masuk akal, dan taktik pelatih mendukung penonton cuci mata. Maka pertandingan adalah pertandingan. Dunia lain saat apapun yang bersifat realistis disusupi degup jantung dan harap. Sesederhana hiburan temporer setelah lelah bekerja.
Messi yang berbahagia juga termasuk dalam paket hiburan. Tak seperti Piala Dunia 2014, ketika di final Argentina yang stagnan dikagetkan oleh gol Mario Goetze sebagai supersub, atau ketika 2018 saat kiper mereka Caballero dan Armani yang sama-sama jelek mutunya menyebabkan blunder dan tersingkirnya mereka dari Prancis di 16 besar. Kali ini Messi beroleh pemain-pemain yang menggaransinya sampai juara.
Penetrasi Julian Alvarez adalah sumbangan besar. Aksi itu melengkapi keuletan Enzo Fernandez dalam menekel lawan. Menjauhkan teror bagi Argentina sejak di lini tengah. Allister sebagai konektor, dan Emi yang menjamin gawang tak mudah jebol juga masuk hitungan. Walaupun seluruh pemain berkontribusi untuk gelar, tetapi mengingat lini serang Argentina di dua edisi Piala Dunia sebelumnya kurang klik dengan La Pulga, apalagi kiper, beroleh gantinya edisi sekarang, maka mereka-mereka inilah yang menghadirkan perbedaan. Merekalah pilar terpenting yang menyokong Messi sampai ke puncak. Bahkan, pemain-pemain ini sukses mengklaim turnamen sebagai panggung milik mereka.
Enzo Fernandez yang meraih gelar “pemain muda terbaik piala dunia 2022”. Membuktikan sumbangsihnya dalam 118 sentuhan di final. Membuat 10 tekel, terbanyak sejak Gattuso mencatat 15 tekel pada final 2006, telah mendukung Messi dalam masa terpuruknya. “Lakukan apa yang kamu mau, Lionel, tapi tolong pikirkan untuk bertahan. Melihatmu bermain dengan biru muda dan putih adalah kebanggaan terbesar di dunia. Bermainlah untuk bersenang-senang. Kamu tidak tahu betapa menyenangkannya itu untuk kami,” dukung Fernandez, yang ketika itu berumur 15 tahun, kepada Messi yang baru saja mengumumkan pensiun dari timnas setelah gagal di Copa America 2016.
Mac Allister selaku gelandang serang, dan seringkali nyambi jadi pemain sayap kurang dilirik pada awalnya. Di musim pertama berseragam Brighton, ia hanya tampil 9 kali, sebelum jadi andalan pada musim 2020/2021. Bersama Caicedo dan Trossard, Allister membawa Seagulls jadi kuda hitam Liga Inggris. Meraih peringkat 9 musim lalu dan setelah 15 pertandingan, sekarang nyaman bercokol di posisi 7. Seiring aksinya di Piala Dunia, kupikir tak mengejutkan jika kontrak bernilai besar, ia tandatangani dalam waktu dekat.
Di Manchester City. Julian Alvarez belum jadi pilihan utama. Itu terlihat dari Pep yang berhati-hati mengintegrasikannya. Memberi sedikit menit dalam 12 pertandingan liga. Namun kepercayaan Scaloni yang berhasil ia balas di lapang akan jadi pertimbangan Pep untuk lebih sering memainkannya. Menyebabkan penalti untuk tim, cetak gol usai merecoki umpan kiper, dan mendukung assist Messi lawan Kroasia, bukanlah kontribusi yang membuat pelatih manapun di dunia cepat-cepat memalingkan muka dari pemainnya.
Tak hanya pamer aksi tengil, atau melakukan mind game pada eksekutor penalti. Emi Martinez selalu siaga di menit-menit akhir. Tendangan Garang Kuol dalam tambahan waktu lawan Australia, juga Kolo Muani di final, sanggup ia mentahkan. “Saya akan memberikan nyawa, untuk melihat Messi juara,” ucap Emi. Perkataan itu memberinya kekuatan. Membawa Messi & Argentina sampai ke final hingga akhirnya beroleh gelar.
Desember, 2022