Di sebelah barat antara tenggelam dan hilang. Semburat jingga melesap bersama senja. Aku duduk mempelajari keramaian bersama Cakra. Ia terus menikmati hisapan rokok dan bongkah asapnya. Ditemani kopi, buku, dan kita.
Orang-orang berjejalan pada kesepahaman dan ketidak sepahaman. Baku hantam, umpat, benci, caci maki, bunuh, dan terus melukai. Ruang bahagia terhimpit duka cita. Tawa-tawa hingga sekarat jiwanya.
“Kebahagiaan itu sifatnya subjektif dan kadang menurutku konteksnya gak jelas,” ucapku.
“Bukankah kejelasan dan ketidakjelasan itu ambiguitas?” sambung Cakra.
“Misal konteksnya adalah kebersamaan antara aku dan kamu sekarang, Kita sama-sama menikmati suasana kebahagiaan hari ini. Menikmati kopi, rokok, dan tertawa bersama-sama dengan hal-hal yang konyol,” kataku.
“Apakah kebersamaan saat ini akan sama konteksnya dengan 5 tahun yang akan datang. Walaupun dengan orang yang sama dan rasa yang sama?” lanjutku.
Pengaruh kondisi kekinian mengukur kebahagiaan itu susah. Ketika lagi lapar, melihat makanan apapun itu ingin dibeli dan dimakan. Tapi ketika kenyang makanan selezat apapun tidak akan dimakan. Rasa itu muncul dalam kondisi kekinian. Orang yang selalu mencari kebahagiaan itu cenderung susah untuk mendapatkannya. Itulah paradoks, semakin dijelaskan akan semakin ambigu dan jauh.
“Lalu dimanakah letak kebahagiaan ada di luar diri kita atau di dalam diri kita?”, tanya Cakra sambil menggeser kopinya.
Aku dan Cakra masih berada di pinggir jalan. Jalanan memberiku ruang. Ruang untuk melamun, terkadang mengenang mantan yang sudah menikah, mengingat perjuangan untuk mendapatkannya hingga akhirnya aku hanya bisa dapat hikmahnya. Jalanan juga mengumpulkan banyak ide. Menyusun banyak kalimat dan berakhir pada pengarsipan. Sebab, di jalanan aku mengambil banyak makna hidup.
Ada orang yang meminta-minta sesuai dengan keahlian dan belas kasihan yang mereka punya. Anak-anak kecil bernyanyi di lampu merah. Bagimu mungkin banyak pilihan tapi bagi mereka itulah satu-satunya pilihan yang dapat mereka pilih untuk bertahan hidup.
Tiba-tiba dering gawai merusak suasanaku dan Cakra di jalanan. Aku mengabaikan dering telpon yang berhasil menjeda obrolanku dengan Cakra. Setelah merampungkan sedikit lamunan, mendapati nama yang muncul.
Notifikasi berupa chat undangan digital. Maaf ya karena tidak bisa menemuimu. Aku mengirim undangan ini lewat Whatsapp. Aku meminta maaf dan meminta restu. Semoga kamu selalu diberikan kebahagiaan.
Dewi dan Rudi, itulah pertama kali yang tertangkap mataku ketika membuka notifikasi gawaiku.
Kebekuan menghampiri dan melenyapkan pandanganku. Segala kenangan kukemas menjadi kado pernikahan. Lalu melanjutkan perjalanan hidup, termasuk melanjutkan obrolanku bersama Cakra. Hidup tak melulu tentang cinta pada kekasih. Makna cinta lebih luas lagi, cinta kepada diri sendiri, keluarga, alam semesta, dan Tuhan. Setidaknya melepaskan merupakan wujud manifestasi dari cinta itu sendiri.
“Aku pernah membaca bukunya Pramoedya Ananta Toer yang judulnya Bukan Pasar Malam.” kata Cakra.
“Ceritanya tentang apa?” aku bertanya.
Bercerita tentang perjalanan seorang anak revolusi karena ayahnya jatuh sakit. Pram akhirnya melunak ketika dihadapkan dengan kenyataan sehari-hari. Cerita ini membuat sebuah refleksi kehidupan yang dinarasikan oleh kawan-kawan ayahnya Pram salah satu diantara mereka orang Tionghoa berkata,
“Ya, mengapa kita ini harus mati seorang diri? Lahir seorang diri pula? Dan mengapa kita ini harus hidup di satu dunia yang banyak manusianya? Dan kalau kita sudah bisa mencintai seorang manusia, dan orang itu pun mencintai kita,”
“Kemudian kita harus bercerai-berai dalam maut. Seorang. Seorang. Seorang. Dan seorang lagi lahir. Seorang lagi. Seorang lagi. Mengapa orang ini tak ramai-ramai lahir dan ramai-ramai mati? Aku ingin dunia ini seperti Pasar malam.” lanjutnya
Kesendirian dan kebersamaan merupakan fitrah manusia. Orang yang faktanya selalu sendiri belum tentu merasa kesepian. Bisa jadi, merupakan upaya untuk menyendiri. Kesendirian merupakan hakekat hidup yang paling hakiki. Kita lahir sendiri dan mati pun sendiri.
“Kadang-kadang kesendirian membuatku merasa tenang. Aku bisa merenung dalam kesunyian memahami diri sendiri dan menemukan kedamaian di tengah hiruk pikuk keramaian,” kataku.
“Aku mengerti, tapi kadang kebahagiaan sering ditemukan dalam momen-momen bahagia bersama keluarga, kawan dan kebersamaan. Kita berbagi canda, tawa, dan cerita,” sanggah Cakra.
Kesendirian dan kebersamaan mempunyai tempatnya masing-masing dalam kehidupan.