Merujuk pada data yang dihimpun oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), telah terjadi total 3.544 bencana alam yang terjadi pada tahun 2022 di Indonesia, yang menunjukkan bahwa banjir adalah bencana alam yang acapkali terjadi yaitu sebesar 1.531 peristiwa. Fenomena banjir seringkali disebabkan karena curah hujan yang tinggi, penyumbatan saluran air karena sampah bertebaran, dan kurangnya daerah resapan air yang ada di kota-kota akibat dari pembangunan yang tidak berkelanjutan. Pada dasarnya, faktor penyebab banjir adalah alam dan manusia. Musim hujan yang terus-menerus karena rusaknya lingkungan, juga faktor manusia yang tidak memiliki kesadaran ekologis tentang pentingnya menjaga alam.
Indonesia adalah negara yang rentan terhadap bencana alam terutama banjir merupakan fakta yang tidak bisa disangkal. Banjir tentu saja memengaruhi kehidupan bermasyarakat yang salah satu kegiatannya yaitu melakukan perjanjian hukum seperti perjanjian jual beli, perjanjian utang-piutang, perjanjian sewa-menyewa, dll. Seringkali hal seperti ini menimbulkan masalah: apa yang diperjanjikan tidak bisa dilaksanakan karena orang yang mau memenuhinya tersendat oleh peristiwa bencana alam itu.
Di sini penulis hendak memberikan ilustrasi contoh.
A adalah penjual burger
Si A gagal memenuhi kewajibannya mengantar 1 dus pesanan kepada pihak B (pembeli) di waktu yang sudah dijanjikan, karena terhalang banjir.
Alhasil B merasa tidak terima: para tamu yang ia undang jadi kecewa karena makanannya tidak juga kunjung datang. Ia langsung menggugat A dengan alasan melanggar perjanjian atau wanprestasi. Pertanyaannya kemudian,
Apa pandangan hukum mengenai hal ini dan bagaimana caranya orang-orang seperti A ini bisa membela dirinya di depan pengadilan?
Memahami Perjanjian Hukum
Supaya bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas maka perlu terlebih dahulu untuk diketahui mengenai perjanjian hukum. Perjanjian hukum sendiri diatur secara khusus di dalam hukum perdata sebagaimana asas Lex Specialis Derogat Legi Generale (Ketentuan yang Khusus Mengesampingkan Ketentuan yang Umum).
Menurut Ahli Hukum Subekti sebagaimana dikutip Tim Hukumonline (2023), hukum perdata berfungsi sebagai segala ketentuan yang mengatur keperluan-keperluan perseorangan. Merujuk pada pasal 1313 KUH Perdata sebagai sumber hukum perdata Indonesia menyatakan,
“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.”
Jadi di sini ‘persetujuan‘ atau dengan kata lain ‘perjanjian‘ adalah kondisi di mana satu orang atau sekelompok orang menyepakati tentang suatu hal yang berisi hak dan kewajiban tertentu dengan orang atau sekelompok orang yang mesti dipenuhi. Perjanjian dianggap mengikat karena adanya unsur hak dan kewajiban antar para pihak yang wajib untuk dilaksanakan secara timbal balik.
Selanjutnya supaya perjanjian ini bisa bersifat sah, maka mesti memiliki unsur-unsur sebagaimana disyaratkan oleh pasal 1320 KUH Perdata sebagai berikut:
- Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
- Kecapakan untuk membuat suatu perikatan;
- Suatu pokok persoalan tertentu;
- Suatu sebab yang tidak terlarang.
Poin pertama bermakna bahwa sebuah persetujuan itu wajib bersifat sukarela tanpa adanya paksaan. Poin kedua bermakna bahwa masing-masing pihak itu wajib memiliki kemampuan untuk melakukan perjanjian dalam arti jiwa atau akalnya itu waras. Poin ketiga itu bermakna objek perjanjian: sesuatu yang diperjanjikan. Terakhir poin keempat itu bermakna bahwa isi perjanjian tidak bertentangan dengan norma kesusilaan, adat istiadat, dan hukum yang ada di masyarakat.
Melindungi Diri dari Tuduhan Melanggar Janji
Bahwa dalam hukum sendiri tindakan melanggar janji disebut sebagai wanprestasi. Wanprestasi diatur pasal 1238 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut,
“Debitur dinyatakan Ialai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap Ialai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”
Yang dimaksud debitur di sini adalah pihak yang berhutang kepada seseorang atau suatu pihak yang dianggap melanggar perjanjian apabila tidak dapat memenuhi janjinya berdasarkan jangka waktu yang telah ditentukan secara bersama.
Akibat hukum dari pelanggaran perjanjian sendiri telah diatur melalui pasal 1239 KUH Perdata bahwa seorang pengutang wajib untuk mengganti biaya, rugi, dan bunga. Tapi jangan khawatir! Hukum Indonesia memandang bahwa sesuatu perjanjian yang batal dilaksanakan akibat force majeure (keadaan memaksa) seperti banjir tadi dapat membebaskan pengutang dari kewajibannya untuk mengganti biaya, rugi, dan bunga.
Dasar hukumnya terdapat di pasal 1245 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut,
“Tidak ada penggantian biaya, kerugian, dan bunga bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.”
Hal di atas bisa seorang tergugat (orang yang digugat karena alasan melanggar perjanjian) digunakan oleh seorang tergugat (yang digugat karena melanggar perjanjian) sebagai bantahan di dalam pengadilan. Supaya hal ini bisa terwujud, maka tergugat perlu untuk menguraikan alasan gugatan penggugat lalu kemudian membantah poin-poinnya dengan menyatakan peristiwa yang sebenarnya terjadi lengkap dengan dasar hukumnya.
Ini adalah bentuk pelaksanaan asas Audi et alteram partem (mendengar pihak lain). Jadi tidak hanya pihak penggugat yang didengar oleh Majelis Hakim tapi juga pihak tergugat.
Dasar Hukum:
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Daftar Pustaka:
Hukumonline, T. 2023. “10 Pengertian Hukum Perdata Menurut Para Ahli Hukum” (https://www.hukumonline.com/berita/a/pengertian-hukum-perdata-menurut-para-ahli-lt6450ac1b1741b), diakses pada tanggal 11 Desember 2023.