Sudah 1,5 tahun saya di Cikampek, suatu tempat yang asing dan naon sih banget buat saya (tapi urusan gaji dan bonus mah tentu jha jadi favorit saya). Saya meninggalkan Bandung karena Ayah saya sakit keras dan butuh seseorang yang tangguh untuk memfasilitasi pengobatan jeung sajabana, dan dalam keluarga saya, Arini Pangais adalah jawabannya.
Saya sempat menceritakan kondisi Ayah pada beberapa tulisan seperti ini, dan beberapa waktu memang berangsur-angsur membaik, meskipun di waktu yang lain juga bisa sakit lagi. Sebetulnya perkara mengurus orang tua yang sakit-sakitan ini bikin lelah, tapi saya merasa saya gak ingin menyesal. Saya merasa saya harus melakukannya aja somehow.
Pengobatan Alternatif
Apalagi, kalau diceritain ya lucu dan jadi pengalaman baru juga bahkan yang sampai ngobatin ke ustaz-ustaz di kampung yang jauh banget gitu. Beberapa kali ngedumel sih dalam hati, dumelan such as
“Bisa-bisanya gue ngobatin bokap jalur tabib,” padahal ya beberapa waktu saya malas banget percaya sama hal-hal kekuatan selain yang lahiriah.
Tapi kan gak ada salahnya mencoba. Tanya sana tanya sini, bahkan sampai nanya ke Jojon, dan saya kaget dengar nominal uang maharnya. Masa sampai puluhan juta? saya mikir waduh kalau saya jadi “kaya yang gitu-gitu”, kayaknya setiap hari maranggi Haji Yetty.
Akhirnya saya berangkat juga bawa Ayah ke pengobatan alternatif yang sederhana dan gak neko-neko, tapi memang beberapa waktu setelah itu Ayah jag-jag seperti kemarin. Padahal, landongnya cuma berupa garam yang didoain aja. Kadang percaya, tapi kadang juga mikir,
“Ah kebetulan aja kali.” dan bukan itu poinnya sebetulnya.
Ketika dibawa berobat ke pengobatan alternatif, saya dan Ayah sudah terlebih dahulu diceritakan bahwa orang yang akan kita datangi ini adalah orang yang “sakti” atau “tercerahkan” begitu. Saya yang notabene sulit percaya hal-hal seperti itu santai-santai aja sebetulnya, apalagi banyak juga pemuka agama yang seolah tercerahkan padahal tydack.
Di perjalanan, saya membayangkan gambaran orang yang akan kami datangi: ya kayak foto-foto Walisongo aja mungkin. Jenggotan, pegang tasbih ke mana-mana, atau pakai ikat kepala gitu. Tapi ya enggak juga, di rumahnya yang sederhana, banyak poster Kurt Cobain, A7X, dan beberapa gak saya tahu. Rambutnya pun diwarnai dan pakaiannya santai banget. Which is membuka mata saya bahwa “Oh ada juga yang penampilannya gak mainstream.”
Di sana, si “yang sakti” ini banyak nasehatin Ayah, lah. Memang banyak yang relate, sih. Padahal saya belum cerita apa-apa. Ya singkatnya, dikasih garam yang didoain itu (yang kemudian namanya landong).
Cari-Cari Herbal
Sebetulnya saya gak awam sama obat-obatan herbal yang real. Artinya bukan kapsul, atau bukan merk gitu, ya. Saya juga cukup sering nemuin bahan makanan yang bisanya memang ditemukan somewhere gitu, yang jauh dan jarang dilihat. Saya juga gak asing dengan makanan atau bumbu-bumbuan yang aneh. No offense, di Sumatra banyak banget sirip hiu. Dulu pasangan saya dan keluarganya cukup sering konsumsi juga dijadiin sup gitu.
Penyu juga, yang katanya bisa bikin panjang umur atau apa lah itu gak tau. Terus ada juga buah-buahan/umbi-umbian yang saya gak pernah lihat sebelumnya kayak lotus, terus juga kabau. Kabau atau jolang jaling tuh sejenis petai tapi jengkol:( ya gitu lah. Kayak buah hasil kawin petai dan jengkol gitu.
Saya juga ingat dulu abis operasi saya dikasih daun binahong sampai muka saya alergi dan merah-merah karena gak cocok.
Khusus untuk Ayah itu emang susah-susah. Saya harus cari pucuk laos yang ngeluarin air (airnya itu yang nanti dijadiin obat). Terus ada juga ganyong (mirip-mirip kencur), dan yang paling aneh yang terbaru adalah ulat daun pisang. Saya kadang kaget tapi lebih sering menanti tantangan:
“Besok-besok disuruh cari apalagi, ya?“
Biaya Pemakaman dan Kematian
Sebagai tulang punggung dan penanggung jawab di rumah, saya beberapa kali memikirkan hal-hal seperti ini. Saya membayangkan ketika siapapun itu anggota keluarga di rumah saya tiba-tiba meninggal, saya harus punya dana darurat untuk biaya pemakaman dan kematiannya, termasuk saya.
Saya dibiasakan untuk selalu mengatur uang alias hemat. Se-simple kalau pesen makanan di Ojol beda 600 perak aja, saya disuruh jalan kaki dan mendingan beli langsung. Funfact, saya dibeliin cincin pas tokonya lagi diskon aja. Kalau enggak, ya udah. Dari kebiasaan-kebiasaan (dan kebangkrutan di masa lalu) itu, saya cenderung ketakutan gak punya uang untuk AIUEO terutama situasi darurat. Dengan kondisi semua orang di kantor saya tahu Bapak saya sakit, saya berani-beraninya nanya gini ke teman kantor saya.
“Pak, kalau uang buat makamin teh berapa, sih?”
“Pak, beli kain kafan itu berapa, sih?”
“Pak, tenda di yang meninggal itu bayar gak, sih?”
“Pak, tahlilan itu bayar berapa?”
dan hasilnya tentu saja saya diomelin dulu, “Yeh! Pamali! Kalah ngadoakeun kolot maot!“, padahal bisa jadi saya yang duluan, kan. Akhirnya, saya dapat rinciannya:
(1) Kain kafan (paketan) : Rp750.000 sudah termasuk menyan, bunga-bungaan, kain penutup keranda (yang warna hijau)
(2) Tahlilan: Rp500.000-850.000/hari x 7 = Rp5.950.000 (bergantung jumlah pengunjung) Ayah saya Muhammadiyah FYI, jadi saya gak tahlil.
(3) Tukang gali makam, yang ikut nyolatin, yang bawa keranda: Rp1.000.000 (semuanya sudah kebagian).
Di situ saya nanya,
“Pak, itu yang bawa keranda sama yang ikut nyolatin kalau gak dikasih gimana?”
“Nanti mayatnya disuruh jalan sendiri.”
Saya ketawa aja, tapi ternyata beneran ada yang gitu di beberapa daerah, ya. Huft.
“Makanya jangan mati pas miskin,” kata saya dalam hati ke diri sendiri
Saya mikir lagi, ya kurang lebih kalau saya Muhammadiyah saya harus siapin Rp5.000.000an, kalau saya NU dan saya harus tahlilan kayanya bisa Rp10.000.000an. Yang Katolik yang agak repot.
Peti itu bisa sampai di angka 10-20juta. Belum lagi biaya dekorasi rumah duka, dandan jenazah, suntik formalin, dan aaak gak kebayang saya. Tapi itu, ya.
Kembali lagi, sebagai penanggung jawab dan seseorang yang selama ini menghidupi keluarga sendiri, saya harus punya perhitungan dan tabungan buat dana kematian, dan itu bukan hal yang buruk. Bukan suatu pamali saya rasa, karena setiap orang pun pasti mati. Bisa jadi saya duluan, bisa jadi pembaca duluan. Tapi serius, saya rasa ini penting. Selain mempersiapkan dana pernikahan, saya rasa kita harus juga mempersiapkan dana kematian.