Merawat bumi dimulai dari hal-hal kecil bersama.
Menyanyikan Bahasa Bumi di Hari Lahirnya

Saya selalu mengamini bahwa kita adalah apa yang kita lihat, kita adalah apa yang kita dengar, kita adalah apa yang melingkari kita, sebab begitu pula bunyinya dalam beberapa peribahasa lama seperti masuk kandang kambing mengembik, masuk kandang kerbau menguak atau bisa juga apa yang kamu tanam adalah apa yang kamu tuai.
Bunyinya kurang lebih sama, bahwa setiap manusia adalah bunga yang mekar, warnanya jadi petanda air apa yang diserap, kokoh enggaknya itu tanaman juga bergantung tanahnya, bolong atau enggak daunnya, tinggal dilihat saja lingkungannya: hamanya banyak atau enggak? Begitupun tubuh dan tanah.
Apa yang kita makan? Apa yang kita minum? Kapan kita tidur? Siapa yang kita follow? Dengan siapa kita bergaul? ya kira-kira begitulah.
Suatu hari yang ajaib membawa saya berkenalan dengan Tati Krisnawaty, sosok yang saat sudah mapan nanti, saya ingin jadi seperti beliau. Meskipun menjadi seperti beliau tidak harus menunggu diri ini mapan, tapi setidaknya saya mulai berjalan ke arah “sana”.
Mbak Tati membawa kami semua (saya, teman-teman Saung JHB, dan mahasiswa Unsika) turut merayakan Hari Bumi. Semacam gelaran sederhana piknik di kebun buat merayakan ulang tahun Bumi. Saya tentu saja tidak tahu apakah Tuhan menciptakan bumi di tanggal 22 April atau bagaimana, tapi yang jelas, gelaran kemarin sangat berkesan.
Tidak hanya membuat gelaran yang sakral, bahkan sebelum hari H-nya, Mbak Tati sudah banyak menanamkan nilai-nilai baik untuk kami. Yang pada akhirnya, nilai-nilai itu tumbuh menjadi rasa peduli dan perasaan,
“Oh iya ya, bumi tuh gini…”
Jujur saja, tidak banyak orang yang bisa menanamkan nilai-nilai tersebut secara halus dan gamblang seperti Mbak Tati. Mungkin kalau saya gak ketemu Mbak Tati, saya gak akan tahu bahwa gravitasi bulan menarik kandungan gula di dalam batang bambu. Pengetahuan yang diwariskan Paul dan Mbak Tati kepada kami.
Bukan Sekadar Perayaan Keren-kerenan
Ya, sebelum hari H, kami banyak berdiskusi soal hal-hal kecil yang bisa merusak bumi, eksploitasinya, dan metode bersyukur. Kami diminta untuk meditasi jeruk. Hal yang mungkin selama ini jarang sekali kita lakukan.
Proses mensyukuri segenggam jeruk yang akhirnya sampai pada keseharian saya mensyukuri setiap makanan yang masuk ke dalam mulut saya, mensyukuri dan memahami bagaimana bumi ini bekerja dengan menyediakan segalanya untuk kita.
Selain itu, banyak juga yang terlibat di perayaan ini. Kami banyak bersilaturahmi dengan pegiat kesenian tradisional seperti Mang Yaya, Mang Dody, dan Mang Arul. Berbicara dengan mereka saya jadi kagum. Ternyata mereka lebih ngulik daripada saya yang tinggal di tempat yang sedikit lebih ngota dengan segala kemudahan aksesnya.
Dongeng-dongeng yang dibawa Avatar Rasman juga. Saya baru tahu Nyi Mas Gandarasa ternyata tinggal di dalam laut. Dan, harusnya dengan kemudahan akses informasi, saya seharusnya sudah tahu, kan? tapi saya malah mengetahuinya dari sosok Avatar Rasman. Benar-benar percakapan bernilai! Para penari juga, Mang Hasan dan ce-es. Anak-anak muda yang pandai dan gak malu melestarikan kebudayaan Sunda. Hade pisan pokokna!
Gak ketinggalan teman-teman Jogja, Mas Bagus dan Kwartet Gesek yang membuat saya seperti berada di kerajaan Eropa. Sebelum tidur dan bangun tidur, saya disuguhi musik-musik klasik. Bukan main!
Obrolan dan nilai-nilai yang ditanamkan pada hari persiapan sampai dengan perayaannya adalah hal yang sangat berharga untuk kami semua.
Berkumpul dengan Orang yang Memiliki Visi yang Sama
Jujur saja, saya senang bukan main ketika kedatangan banyak orang-orang hebat di dalam acaranya. Tidak hanya hebat, tapi semua orang yang hadir adalah kakak-kakak yang beneran deh, gak ada sombong-sombongnya. Yang ada malah ngobrol, menyemangati, dan memberikan banyak insight. Ini yang jarang saya temukan. Di beberapa kegiatan, biasanya satu kelompok akan terus mengobrol dengan kelompoknya. Tidak terjadi pertukaran ide di sana, tapi pada perayaan ini, semuanya setara. Tidak ada junior atau senior, tidak ada yang lebih aktif atau kurang aktif, tidak ada yang lebih berdampak atau kurang berdampak, tapi kami pernah begini, dan kami melaluinya begini. Kamu pun bisa mencobanya.
Pertemuan dengan orang-orang hebat, menyanyi bersama, bercengkrama bersama. Tidak ada yang lebih spesial, karena semua orang spesial di sana. Semua orang memiliki nilai yang sama. Diksy, A Tauhid, Taufan, semuanya sangat terbuka dan excited. Bang Jek, tentu saja.
Semua obrolan terasa hangat. Kehangatan itu membawa saya untuk tetap menjaga bumi, setidaknya dari hal-hal kecil yang bisa saya lakukan, ya karena saya masih mau ketemu lagi sama teman-teman. Saya masih mau piknik di kebun.
Kalau kebunnya gak ada, bagaimana kita bisa piknik? kan tidak mungkin piknik di pabrik.
Di Hari Bumi itu, saya banyak belajar. Bahwa semua manusia setara dan sama di atas bumi, bahwa kita semua punya kewajiban yang sama untuk menjaga bumi sebagai ibu. Kerusakan memang tidak bisa kita lawan, tapi setidaknya kita bisa sedikit memperbaiki kondisinya. Dimulai dari hal-hal kecil seperti membawa misting kalau jajan, dan jangan sembarangan memetik bunga hanya untuk kesenangan kita sendiri. Sebab kita tak perlu jadi Greta Thunberg untuk melindungi bumi, cukup jadi diri kita sendiri, dan mari menjaga bumi dari berbagai lini!
Leave a Comment