Menyandarkan Mata ke Luar Jendela
Gemuruh awan mendung pecah di atas gerbong ini,
dan serpihan-serpihannya yang tajam adalah hujan,
berserakan di jalan kereta, juga di tubuh orang-orang
yang pulang kerja.
Di gerbong lima, bapak-bapak karyawan–tepat di
depanku, menyandarkan matanya ke luar jendela dan
membuang semua yang dilihatnya: sawah, antena
rumah, genting-genting yang basah dan persoalan
kantor yang membuatnya lelah.
Di kursi kami, masa depan terasa begitu acak dan
menegangkan.
Akupun mengangkat sepipih layar. Di dalam percakapan,
kukatakan pada pacar:
“Kalau sudah tidak lagi pengangguran, aku mau
tangamu jadi tempat pulang.”
2023
Membuka Puisi
Puisi sudah sampai. Buka bungkusnya pelan-pelan dengan senyuman,
dan jangan pakai gunting. Sebab isinya adalah seluruh tubuhmu.
Kau telah memesannya sebulan lalu lewat daring, kemudian menyisir waktu.
Hingga sekarang tepat di depanmu, dan keraguan
raib dalam sejumput pertemuan.
Satu-satunya bait, tertulis:
“Hai diriku dalam bentuk istri.
Mungkin kita tak sesial Laila dan Majnun pada kesempatan ini.
Tapi kuharap api mereka merambat-hanguskan kita dalam perhelatan nanti.”
Kau jawab “Amin.”
Tercium bekas aroma sushi dari gigimu yang licin.
2023
Tentang Puisi
Pagi-pagi aku memikirkan bunyi dalam puisi,
Ia khawatir bila kata-kata salah dipilih, akan
melemahkan bangunannya.
Kita barangkali selalu
terikat ujung kalimat yang berirama, dengan
huruf-huruf akhiran yang sama.
Sebab selain lemah,
bunyi-puisi hanya sebaris fisik yang menggelitik.
Dan menjadi kuburan makna bagi peristiwa.
2023