Perang dagang bikin semrawut, massa turun ke jalan.
Menyalanya Perang Dagang dan Pentingnya Aksi Massa “Hands Off!”

Suatu hari tanggal 2 April 2025, di atas podium dengan sorotan kamera dari segala arah, Presiden Amerika Serikat Donald Trump dengan penuh percaya diri mendeklarasikan perang dagang ke berbagai negara—termasuk Indonesia.
Semua produk dari negeri kita yang masuk ke Amerika bakal dikenai tarif bea masuk sebesar 32% per 9 April. Waduh! Mulai dari pejabat berdasi yang doyan omon-omon di Istana sampai bapak-bapak yang lagi santai ngudud di pos ronda pun mendadak merinding disko.
Dengan kebijakan ini, industri dalam negeri kita bisa megap-megap. Menurut laporan Tempo, industri padat karya Indonesia termasuk yang rajin ekspor ke Amerika, seperti sepatu dan tekstil. Kalau tarif segede itu beneran diberlakukan, siap-siap aja harga barang kita di negeri itu melambung tinggi kayak balon.
Tarif 32%: Ongkos yang Nggak Murah
Tarif 32% ini bikin harga jual barang ekspor kita di Amerika naik sampai bikin pusing. Misalnya, sepatu buatan Indonesia yang biasanya dijual seharga $50, jadi $66 karena kena tarif. Buat konsumen berdompet tipis sampai kelas menengah yang rawan ambruk ke bawah, selisih $16 itu bukan recehan.
Bayangin mereka lagi jalan-jalan di mal, atau rebahan sambil scroll e-catalog, terus ketemu sepatu yang harganya udah $66. Iya jelas pelanggan bakal berpaling. Sedih sih, tapi begitulah keadaan pasar: yang lebih mahal biasanya ditinggal.
Yang mengerikan adalah ini merembet ke ruang pabrik. Karena permintaan turun drastis, maka ada keuntungan menghilang secara massal, produksi dipaksa turun sampai ke jurang, dan potensi PHK pada para pekerja Indonesia menjadi semakin besar.
Trump beralasan negara-negara lain, termasuk Indonesia, sudah lebih dulu bikin hambatan tarif atau non-tarif untuk produk Amerika. Jadi menurutnya, ini waktunya balas dendam ekonomi.
Indonesia saja misalnya, dianggap telah menerapkan hambatan non-tarif sebesar 64% kepada setiap barang dagangan Amerika yang masuk ke negara kita. Tapi, ada prinsip yang mesti kita ingat, “Dua hal yang salah tidak membuat yang satu menjadi benar.” Kesalahan yang lama tidak perlu dilanjutkan kesalahan yang baru. Apa yang Trump lakukan ini tidak hanya merugikan kita, tapi juga negaranya sendiri.
Patriotisme Gaya Trump: Pelindung Produk dan Pekerja Lokal Amerika atau Simply Ngawur?
Retorika Trump selalu berapi-api. Ia bersikeras bahwa tarif ini demi melindungi produk dan pekerja dalam negeri Amerika. Di hampir setiap pidatonya, kalau bukan semua, ia teriak-teriak soal kepentingan Amerika dan bahaya “asing.” Gaya ngomongnya mirip pejabat kita yang sering lewat di lini masa: semangatnya gede, tapi bobot isinya kosong.
Tarif tinggi ini justru bisa jadi bumerang. Kenapa dulu impor dibikin gampang? Karena permintaan barang dari masyarakat tinggi banget. Kalau tiba-tiba dibatasi atau dikenai tarif tinggi, sementara produksi lokal Amerika belum siap mengisi celah itu, iya bisa-bisa terjadi kelangkaan.
Hukum ekonomi simple: barang langka, permintaan tinggi, lalu harga naik. Naiknya pun nggak nanggung—bisa bikin kepala cenat-cenut. Produk lokal Amerika mungkin laku, tapi cuma buat yang dompetnya setebal dompet pejabat. Daya beli secara umum masyarakat turun, produksi seret, dan kalau udah gitu—PHK massal bisa jadi kenyataan juga di Amerika.
Ini sejalan dengan pemikiran Adam Smith dalam The Wealth of Nations—kalau negara membatasi perdagangan bebas, konsumen justru dirugikan, dan pelaku ekonomi gulung tikar. Tertampar bolak-balik, dan remuk-redam luar-dalam.
“Hands Off!” sebagai Representasi Kesadaran Massa
Tapi, di tengah situasi kayak gini, rakyat Amerika bisa juga sadar dan bergerak. Gerakan “Hands Off!” mulai menyala di berbagai kota di Amerika, diramaikan puluhan ribu orang dari kelompok masyarakat sipil, serikat buruh, dan aliansi warga lainnya. Gerakan “Hands Off!” punya makna tekanan kepada Trump dan kabinetnya untuk tidak mengutak-atik urusan rakyat dengan tangan mereka.
Aksi ini penting karena lahir dari kesadaran massa yang berpijak pada realitas: ketidakadilan dan tekanan ekonomi yang terjadi sehari-hari.
Mereka menuntut, di antaranya, agar perang dagang dihentikan dan supaya pemerintah stop bikin kebijakan “efisiensi” yang ujung-ujungnya memotong anggaran penting buat kelompok rentan. Umm… kedengarannya mirip-mirip sama kondisi di suatu tempat, iya?
Sejarah mengajari kita sesuatu: saat krisis datang, massa bergerak. Mulai dari Gerakan Hak Sipil di Amerika (1950–1960-an), Gerakan Mahasiswa (1966) di Indonesia, Demonstrasi Anti-Perang Vietnam, People Power di Filipina (1986), hingga Reformasi (1998). Semua itu muncul karena rakyat sadar bahwa sistem yang ada sama sekali nggak berpihak ke mereka.
Contohnya penggulingan Orde Lama: waktu itu pemerintah seenaknya cetak uang buat proyek mercusuar, yang bikin inflasi parah banget dan harga barang naik gila-gilaan. Karena peredaran uang lebih tinggi dari kebutuhan, nilainya pun anjlok.
Di Amerika sana, kondisi politik dan ekonominya nggak jauh beda dengan kita: ada pemangkasan anggaran, ada oligarki, dan ada kebijakan yang menggerogoti kepentingan publik seperti satu pasukan ikan piranha yang menghabisi bangkai binatang yang tidak berdaya.
Aksi massa “Hands Off!” ini penting karena punya potensi untuk mengguncang dan mengubah tatanan ekonomi-politik yang selama ini bias pada segelintir elite, menjadi tatanan yang lebih berpihak pada massa rakyat.
Leave a Comment