Sebentar lagi masuk 2024. Banyak teman-teman di medsos posting soal recap akhir tahun. Menyenangkan ketika rerata orang merespons dengan positif. Tahun ini banyak capenya, tapi alhamdulillah. Begitu tulis seorang kawan. Saya ikut mensyukurinya, plus saya juga ingin melakukan hal yang sama. Membuat afirmasi positif untuk tutup tahun ini lengkap dengan ajakan kemping bareng kisaran awal Desember nanti di Purwakarta. (Cek grup wa kami untuk update-nya, ya.)
Oke. Ayo kita mulai pelan-pelan, dengan memproses yang paling buruk dari kebiasaan introspeksi kita: membandingkan diri dengan orang lain atau istilah ilmiahnya Social Comparison (Guyer dan Johnston, 2018).
Berapa yang kita gak capai tahun ini? Sebanyak semua yang orang kita iri-in. Ambil satu contoh saja. Ada yang orang tuanya presiden. Sudah. Fakta ini saja bakal bikin kita merasa hidup kita seperti kentut di ruang terbuka. Bunyinya pendek dan saking pendeknya, kadang romanya bahkan gak kecium hidung kita.
Tapi, daftarlah yang kita punya. Satu saja. Bisa bangun pagi dengan rasa syukur. Lah tapi ini kan dimiliki semua orang? Yakin? Kalau iya kenapa kita mengira orang bersyukur iri dengan kemampuan bersyukur orang lain?
Mungkin ini terasa seperti toxic positivity, maksain orang mesti melihat sisi positif dari segala hal, tapi mari kita bicara lebih panjang lagi soal rasa syukur ini yang sering terlalu disederhanakan ini.
Pasti kita sering dengar kalimat semacam ini:
“Bersyukur, lu! Orang lain mah lebih parah dari lu!”
Meski banyak penelitian psikologi Amerika berujar bahwa cara membandingkan ke bawah (downward social comparison) sering memberikan efek positif, tapi tetap saja saya curiga. Kok bisa cara kita bersyukur mesti lebih dulu membandingkan diri pada yang kurang beruntung? Kenapa malah jadi begini?
Asumsi saya karena kita kadung terbiasa menggunakan “perbandingan” sebagai alat ukur. Tapi ini bukanlah murni salah kita. Sistemlah yang membentuk kita begini, dari jam kerja yang monitin sampai cara pikir yang sama robotiknya.
Kabar baiknya. Sistem bisa atur semua di luar kita, tapi cuma kita yang bisa set-up pikirkan.
Jadi mari coba berpikir lagi dan merombak ini.
Sistem yang sedang saya bicarakan adalah rutinitas harian yang terjadi di sekitar kita. Contoh jam kerja. Jam kerja pengaruh ke jam-jam macet. Yang jadi masalah adalah ketika semua yang kita lihat dari sitem itu mendikte cara kita berpikir dan meyakini.
Kita mesti sadari kalau sistem dan budaya yang kita alami saat ini berakar pada kompetisi, alias DNA sejati kapitalisme.
Perbandingan itu memanglah kondisi natural yang ada, hal ini seturut dengan omongan Leon Festinger dalam penelitiannya A Theory of Social Comparison Processes pada 1954. Bahwa secara alami, social comparison terjadi seiring dengan berkembangnya wawasan sosial, pengalaman, dan interaksi sosial yang dilakukan seorang individu. Bagaimana pun setiap individu pada hakikatnya memiliki dorongan atau kecenderungan (tendency) alami untuk melakukan evaluasi internal atas diri sendiri. Dalam melakukan evaluasi ini, individu melakukan perbandingan kepada orang lain.
Intinya perbandingan itu tak terhindarkan, seperti lapar. Yang jadi masalah adalah saat perbandingan ini bernapaskan kompetisi. Seperti saat kita lapar, yang kita makan bukannya yang bikin kita kenyang, malah yang bikin kita tekor sampai tanggal gajian selanjutnya tiba.
Perbandingan dengan napas kompetisi ini akhirnya menjadikan kita iri, dan iri mendorong kita merasa seperti seakan-akan hidup kita kosong dan bau. Masalahnya rasa syukur juga dipandang dalam hitung-hitungan yang sama.
Bisakah kita hidup tanpa rasa iri? Tidak mungkin. Tapi kita bisa kurangi mentalitas kompetitif yang makin lama bisa beracun ini.
Dalam banyak hal, membandingkan adalah tolak ukur paling awal untuk terus menemukan yang terbaik. Ini bukan cuma naluriah, tapi juga terbukti berguna secara umum. Ilmu alam dan humaniora menjadikannya metodologi untuk mengukur sejauh apa dunia dan peradaban ini bisa menyelesaikan problemnya. Tapi kita tahu perbandingan bukanlah satu-satunya alat ukur, dan kompetisi jelas bukan satu-satunya yang menghasilkan solusi terbaik dalam hidup kita.
Ini termasuk saat kita ingin mengukur apakah tahun 2023 yang akan lewat ini, kita hidup dengan baik?
Di tahun ini dan di usia ini mari kita renungkan secara mendalam. Bukan cuma memikirkan hal yang tak terhindarkan seperti: “Berapa yang kita capai?” Renungkan juga ini: “Apa saja yang telah kita nikmati?” Lalu coba kita temukan titik imbangannya. Antara yang kita capai (meski tak banyak) dan syukuri sungguhan.
Oh ya, soal info camping ceria, silakan gabung di grup Whatsapp Para Penyimpang di sini.