Setiap bangun tidur, hal pertama yang dilakukan adalah mencari handphone lalu membuka WhatsApp. Saya yakin, ini bukan hanya kebiasaan saya, tapi sebagian banyak dari kalian juga begitu.
Jumat, 14 April 2023, si Ahmad “Menyebalkan” Farid mengirim pesan, “Agus, sebulan rutin nulis 1 di nyimpang ga bisa?” Lihat, betapa menyebalkannya. Sudah lama tidak berkabar, sekalinya bertanya malah seperti itu.
Kalian mungkin tidak menyadari bahwa pertanyaan yang dia ajukan ke saya ini sebetulnya adalah permintaan. Permintaan agar saya yang super sibuk ini bersedia menyempatkan diri untuk menulis di Nyimpang: Media yang sudah lama dibangunnya dan Alhamdulillah, setidaknya sampai detik ini, masih bertahan. Dan kabarnya Nyimpang ini semakin eksis saja. Semoga begitu seterusnya.
Ya kan, kamu sedang meminta saya kan, Farid? Sudah, tidak perlu mengelak! Dan jika memang demikian, maka ini adalah permintaan kali kedua setelah tiga tahun silam lamanya. Bedanya, dulu permintaannya terdengar menyenangkan, makanya saya tunaikan. Sedangkan sekarang, sangat menyebalkan. Coba perhatikan lagi pesannya itu. Saya tulis ulang, “Agus, sebulan rutin nulis 1 di nyimpang ga bisa?” Fuck!
Meski menyebalkan, dia tetap sahabat saya. Jadi, saya berusaha berpikir jernih menangkap maksud pesan itu sampai kemudian muncul prasangka baik bahwa sebetulnya dia ingin bakat dan potensi yang sudah lama saya miliki ini tidak dibiarkan hilang begitu saja.
Jangan sampai seperti pisau yang berkarat sebab tidak lagi pernah digunakan untuk memotong. Jangan sampai seperti sepeda motor yang turun mesin karena tidak pernah diservis dan ganti oli. Jangan sampai kontolmu kaku karena tidak pernah difungsikan sebagaimana mestinya. Menulislah, Agus! Begitu kira-kira pesan tersiratnya.
Namun, tetap saja, saya juga tidak bisa mengabaikan sentimen negatif yang sempat muncul ketika pertama membaca pesan itu. Saya merasa seperti sedang diejek, diremehkan direndahkan.
“Agus, sebulan rutin nulis 1 di nyimpang ga bisa?” Anjing!
Ketika perasaan dongkol itu muncul, sontak saya terbangun, mengambil sikap duduk tegak, dan berusaha membalasnya sambil menggerutu, “jangankan sebulan sekali, sebulan sepuluh kali juga aing sanggup!” Beruntung pesan itu belum sempat terkirim karena saya segera tersadar. Betul-betul tersadar: Ah, Nyimpang kan nggak ada honornya, sebulan sekali juga cukup deh.
Baiklah, mari kita mulai!
Saya pernah berada di fase insecure dengan hasil tulisan sendiri. Terlebih ketika tulisan tersebut ditujukan untuk dimuat di media. Sudah menulis sekian paragraf lalu dihapus semua, dan mulai lagi dari awal karena yang sudah ditulis tadi terlihat sangat buruk. Sudah menulis semalam suntuk, tapi ketika dikirim ke media kok ya malah ditolak. Sudah menulis sampai punggung pegal-pegal, tapi setelah dikirim dan ditunggu berminggu-minggu kok nggak kunjung dimuat.
Menyebalkan memang. Bikin pesimis dan jadi malas menulis lagi. Tapi tenang, lambat laun akan terasa biasa saja. Terima aja dengan lapang dada. Ingat kata orang bijak, bisa karena terbiasa. Maksudnya, bisa menerima, ya karena terbiasa ditolak. Wkwkk
Si Farid, bapak pendiri Nyimpang.com ini pernah bilang ke saya, ada banyak tulisan yang masuk ke emailnya, tapi hanya sedikit yang bisa dinaikkan. Bukan kurasinya yang begitu ketat, namun memang tulisan-tulisan yang masuk itu tidak memenuhi syarat. (((Meski sebetulnya sampai hari ini kita juga nggak tau syarat apa saja yang dibutuhkan agar tulisan kita dimuat di sini))) Pokoknya alasannya beragam. Mulai dari judul tulisan dan isinya yang tidak relevan, penulisan yang acak-acakan, tata bahasa yang awur-awuran, dls.
Teruntuk kamu para pembaca Nyimpang (((apasih julukan buat pembaca Nyimpang?))) yang sudah berupaya mengirim tulisan ke media ini tapi nggak juga dimuat, jangan khawatir, jangan bersedih. Tetaplah menulis! Kirim lagi! Masih nggak diterima? Coba lagi! Sudah, dan masih ditolak? Coba lagi!
Sudah, dan nggak ada kabar baik? Coba lagi! Sudah, dan hasilnya sama saja? Coba lagi, minimal sampai 10x! Yakali dari 10 itu nggak ada satupun yang lolos kurasi. Dan kalaupun memang nggak ada yang berhasil, ya sudah, kirim ke media lain!
Da nggak cuma Nyimpang atuh, kan media lain juga masih banyak. Anggap aja tulisanmu terlalu bagus sehingga Nyimpang nggak pede untuk memuat tulisanmu. Atau, Farid memang orang yang nggak pandai menangkap isi pesan dari tulisanmu yang begitu ciamik. Terlepas dari benar atau tidaknya anggapan itu, setidaknya cara berpikir semacam ini bikin kamu jadi nggak putus asa untuk terus menulis. Percaya, deh!
Belasan media sudah kamu coba, beragam judul dan tema sudah kamu suguhkan, tapi masih juga nggak ada yang mau menerima tulisanmu? Dan dengan alasan itu lagi-lagi kamu mau berhenti menulis? Nya post weh atuh di media sendiri, anjing!
Mau konsisten menulis aja repot banget, banyak alasan. Kan masih ada Facebook, Twitter, atau Instagram. Atau kirim saja tulisan-tulisan itu ke semua kontak di WhatsApp-mu. Ya masa dari puluhan nomor di handphone-mu nggak ada yang mau baca seorangpun.
Dee Lestari aja, penulis terkenal itu, awalnya juga begitu. Bermula dari mengirim cerita-cerita singkat melalui pesan seluler ke teman-temannya semasa sekolah. Alhasil, teman-temannya menyukai cerita-cerita itu. Bahkan memintanya untuk meneruskan ceritanya. Sampai kemudian jadilah sebuah novel. Nggak percaya? Cari tau aja sendiri!
Prosesnya memang panjang sih. Tapi intinya adalah teruslah menulis. Mulai saja dari tulisan-tulisan yang pendek. Di story WA mu misalnya. Kalau sudah dicoba dan ada yang mengkritisi tulisanmu, bersyukurlah! Itu awal yang baik. Oh iya, setiap tulisan yang sudah kamu hasilkan, jangan dihapus atau dibuang. Kumpulin aja. Siapa tau kedepannya akan berguna. Syukur-syukur bisa menjalin kerja sama dengan Farid agar bisa dibukukan di pustakakipress. Ya, nggak?
Ingin menulis tapi butuh motivasi?
Kata Imam Al-Ghazali, “Jika kamu bukan anak raja, juga bukan anak ulama, maka menulislah!” Kenapa? Ya, nggak tau. Saya hanya copy paste. Silakan direnungkan sendiri!
Cukup, ya? Oh, belum.
Oke, coba simak baik-baik quote dari Pramoedya Ananta Toer, penulis legendaris, yang sempat dikutip oleh Ahmad Farid, yang juga mungkin menjadi motivasinya sehingga sampai sekarang dia masih tetap menulis, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Apa iya? Ah, nggak juga. Banyak kok orang yang tidak menulis tapi terkenal dan tercatat dalam sejarah.
Sudah ya, cukup!
Kalau kamu memang tidak berniat untuk menulis, ya sudah, mungkin menulis memang bukan passion-mu. Kamu masih bisa tetap hidup kok tanpa perlu menulis. Tapi kalau kamu memang ingin menulis, ya menulislah!
“Menulislah karena kamu ingin menulis, bukan karena ingin jadi apa atau untuk siapa.” Ini kata siapa? Ya, kata saya!
Sekali lagi, jika kamu memang ingin menulis, maka menulislah, Anjing!