Ayahku belum mati. Ia terlalu bugar untuk itu. Di usianya yang 68 ia masih sanggup membanting ibuku seperti adonan martabak telur dan menggampar sungut-ku seolah-olah ia atlet lomba tampar dari Rusia.
Aku tidak tahu apakah mengatainya Kontol Babi sebab perlakuannya pada ibuku, membuatku pantas digampar, atau seharusnya aku memilih panggilan yang lebih tak enak di telinga. Misalnya Muka Kontol, atau… Kontol Lemas?
Ngomong-ngomong aku masih punya 89 sebutan tak patut lainnya, dan percayalah semua sebutan itu bisa membikin lutut siapa pun gemetar mendengarnya. Apa lagi jika diucapkan pada orang tua sendiri.
Aku bisa merobohkannya saat itu kalau mau. Aku tidak membalas tamparannya. Melihat jalannya yang sedikit gontai saja membuatku lumayan senang juga. Jika aku menumbuk lambungnya, atau mendengkul selangkangannya untuk membalas, aku takut rasa senangku malah berubah jadi iba.
Aku tertarik membayangkannya meninggal dengan penyakit berat yang menghabisinya. Covid-19 pun tak masalah buatku.
Lebih dari itu aku tertarik untuk memeras seluruh ingatanku untuk mencari bagian terbaik dari berayahkan seekor luwak. Sehingga ingatanku soal gamparannya di mulut kecilku, juga lebam di mata ibuku tergantikan oleh masa-masa aku diajaknya main ke pasar malam, naik kincir, tembak boneka, dan membeli arumanis besar, yang kuhabiskan sendiri. Hari-hari yang manis, untuk mengganti tahi-tahi yang pahit.
Paragraf pertamanya kira-kira begini:
“Ia bicara dengan tangannya. Ia bicara dengan tindakannya. Ia mengingatkan jika kasih sayang tidak selalu terucap. Ia bisa pada genggam tangan saat kau menyeberang jalan, atau saat ia menggendong tubuh demammu dan berlari ke puskesmas pada dini hari yang dingin. Kasih sayang yang sunyi adalah kasih sayang yang ayah saya nyatakan sepanjang hidupnya.”
Bagaimana? Tidak buruk bukan?
Ayahku belum mati, setidaknya untuk saat ini. Tapi aku sudah berencana menulis obituari untuknya, mungkin buat dipacak di Facebook, atau jadi bahan tulisan rutinku di kolom dalam waktu-waktu dekat ini.