Menetap atau tinggal untuk sementara, Jakarta gak pernah jadi tujuan saya. Mungkin ini personal, tapi semenjak lama, Jakarta adalah kota yang saya hindari. Namun hidup nyatanya membawa saya kembali ke Jakarta juga, dan ya mau gak mau dong gue harus ke Jakarta lagi.
Di satu sisi, saya memang suka hidup di tempat yang besar, yang semua orang sibuk ngurusin dirinya masing-masing tapi di sisi lain, saya gak mau yang se-modern ini. Iya, ada sebuah tempat di pinggiran Jakarta yang mungkin gak jauh beda sama ring 1 saya. Tempat yang biasa-biasa saja dan mirip dengan Gang Kelinci-nya Lilis Suryani, bukan semewah Jakarta yang saat ini saya tinggali. This is overkill. Ini terlalu berlebihan buat saya yang sedikit saja melihat teknologi, saya langsung “Anjir, canggih!” tapi gak lama, “Meuni asa rariweuh ih!”
Ditambah, lift perkantoran saya sukses bikin saya merasa lagi di dalam elf Bandung-Sumedang. Saya memang gaptek dan norak, jadi gapapa bodo amat.
Berikut adalah culture shock personal saya, yang sebelumnya menghabiskan banyak keseharian di Karawang dan Bandung.
Salah Dikit Mampus Aku Diputar-putar Lalin
Jakarta itu jalannya gede-gede, punya 4 ruas jalan. Iya, di Pantura juga jalannya gede-gede, cuman 2 arah tapi dan Pantura masih punya teknologi canggih yang dinamakan belokan trotoar. Kelewat dikit, kita masih bisa lurus dan mepet trotoar biar bisa muter. Turunkan jendela dan bayar saja 2000, selesai urusan. Di Jakarta mana ada?
Saya ngerasa goblog banget menghabiskan waktu 4 jam di dalam mobil hanya karena salah jalan. Pada masa-masa terberat ini lah saya merasa merindukan Mio Hijau saya.
Masalahnya, maps saya itu cuma ngarahin jalan dan lihat kemacetan aja. Gak ada keterangan “Kiri dikit, ambil jalur kedua dari kiri.”
Ya otomatis saya bingung, dong. Itu maps cuma lurus-lurus warna doang, sedangkan ruas jalan ada 4. So-soan mengandalkan ingatan tea kan. Eh, gak taunya. Saya salah ambil jalan. Harusnya langsung belok kiri tapi karena planga-plongo, ini mobil jadi di tengah-tengah dan kaget karena jalan lurusnya perboden. Walhasil, berputar lah saya ke kanan (ke Kuningan), dan babiii!
Di tengah-tengah kemacetan, saya menggerutu dan bingung “Anjir, muternya jauh banget.“
Bayangin. Ibaratnya, saya mau ke Purwakarta pakai mobil dari Purwasari. Di jembatan Plaza, saya malah ke bawah lewat pasar yang jalannya ditutup. Yang kalaupun muter, saya harus muter lagi di terminal angkot dan lurus balik ke arah Purwasari, tapi ini lebih parah karena gak ada belokan di trotoar. Aduh gimana ya jelasinnya. Jadi seperti, ketika saya salah jalan dan telat belok, saya harus cari puteran sampai bunderan Pancawati. Ya mirip-mirip warga Pantura kalau udah musim mudik, lah.
Bedanya ini setiap hari.
Akhirnya dari Cikampek ke Sudirman, saya menempuh perjalanan 4 jam karena muter di Kuningan. Bayangkan betapa pegal kaki menginjak kopling. Tapi kan itu perjalanan setiap Senin pagi. Selebihnya, apartemen saya (yang dibayarin big boss itu) dekat sekali dengan kantor.
Pengalaman ini subjektif dan saya gak tahu gimana rutenya pakai KRL. Lagian saya gak serajin itu bangun pagi untuk pergi dari Cikampek ke Jakarta keretaan. Oke lah zaman saya sekolah, kereta ada yang langsung ke kota.
Tempo Hidup yang Darderdor
Saya akui saya gaptek dan gak tertarik sama hal-hal berbau teknologi (kecuali Ghost Ranger Indonesia ofc). Bayangkan untuk orang seperti saya yang bisa ke mana-mana tanpa jaringan internet (karena memang teu kabeuli kuota weh), tiba-tiba saya jadi harus ready steady bawa gadget ke mana-mana termasuk laptop.
Punggung saya sudah bungkuk karena bawa laptop sejak SMP hampir setiap hari. Ya laptop zaman dulu, coy! Berat! Hooo maklum. Warisan sekolah RSBI, kan.
Pokoknya, entah karena beban pekerjaan juga jadi nambah atau emang Jakarta sesibuk itu, saat saya makan pun saya gak bisa berhenti ngecek ponsel hanya untuk ngeladenin kerjaan. Ya Tuhan, kapan gue ngedit videonya kalau gini?!
Waktu memang gak akan kerasa kalau di Jakarta. Tapi kalau berpisah denganmu di bandara, sakitnya sampai sekarang. Waaaaaa.
Biaya Hidup yang Naudzubillah
Kantor saya terletak di kawasan elite. Yang kalau makan itu di ground floor yang sekali makan 50K (udah mahal sih kata saya yang biasa makan 15K mah), ada juga di cafe-cafe outdoor masih di gedung yang sama itu ada yang 100Kan atau mau yang fancy dikit jalan ke SCBD Park atau The Langham yang sekali makan 300K belom sama pajak. Sejauh ini saya belum nemu warteg jamur hipotesa seperti di Jatinangkring. Ya sebenernya ada aja sih yakin, cuman kayak keburu capek nyarinya.
Oh iya untuk tempat tinggal dan transportasi, saya dicover perusahaan. Jadi, saya gak keluar biaya-biaya itu. Yang jelas dengan tempat senyaman itu, kayaknya gaji saya habis sih buat tempat tinggal sama transport sih.
Sebetulnya bisa masak, sih. Tapi enggak ah, capek. Belum lagi harus beli alat-alat yang sepertinya gak bakal setiap hari saya masak.
ID Card, Jaringan Internet, dan Cashless-Cashlessan
Saya gak tahu apakah ini akan berlaku di tempat lain atau enggak, tapi di gedung perkantoran saya itu termasuk yang ketat sih (setidaknya menurut saya yang biasanya bisa asal selonong masuk ke gedung-gedung lain di Bandung, Karawang, atau Purwakarta). Ya gak selonong juga sih maksudnya, pasti nanya ke satpam atau ke resepsionis juga. Tapi gak harus registrasi ke pihak gedung atau punya ID Card tetap juga buat lewat. Scanning tas pula.
Bayangkan, handphone saya itu black market. Waktu itu saya belum punya modem, terus pas sampai di pintu masuk saya disuruh registrasi dulu via WA. Ya bayangin aja gimana lah. Riweuh pokoknya.
Semuanya hampir cashless. Ya gak masalahnya juga kalau memang ada duit di m-banking, tapi masalahnya saya aja yang moneyless, bukan cashless. Tapi anak soleh kan selalu ditraktir makan sama atasan, jadi untuk masalah ini saya gak cemas-cemas banget, lah.
Kebebasan Bekerja
Ada yang menarik. Sebelum saya promosi, saya mengajukan persyaratan ke atasan saya. Sebetulnya, promosi saya juga meloncati posisi atasan lain. Jadi, bisa dibilang saya beruntung karena langsung “loncat” gitu aja. Walhasil, saya manfaatkan momen ini. Saya bilang, saya mau merokok tanpa stigma, dan ketika saya makan dengan rekan kerja, saya juga tetap bisa merokok tanpa dicap macam-macam. Bukan tanpa alasan juga, di Cikampek sebagian orang masih begitu dan itu berpengaruh sama kinerja saya.
Misal saya pergi ke mana untuk urusan pekerjaan, eh malah ada omongan saya lagi nyebat dan banyak lah.
Entah karena saya di Jakarta atau gimana, tapi atasan saya jadi ngasih kebebasan bahkan saya boleh kerja dari mana saja. Akhirnya, sering lah saya kerja di Excelso sambil ngerokok.
“Gak masalah asal beres.”
Lalu saya merasa dicintai semesta.
Selebihnya, tak ada yang istimewa dari Jakarta. Kecuali piano, candi, patung, dan lukisan-lukisan yang terpajang di kantor. Wajarlah, Big Boss emang anak artsy wanna be. Beragam minuman dingin yang bisa saya ambil gratis, kursi pijat, perpustakaan dari buku-buku mahal dan klasik yang enak dibaca.