
Di satu malam, saya bertamu ke kosan adik angkat perempuan tidak dengan tujuan apa-apa selain bersilaturahmi, kemudian membicarakan persoalan-persoalan klasik orang muda di zaman sekarang seperti asmara, kuliah, karir dan keluarga, ya deep talk ala ala gitu.
Lucunya, obrolan tidak dimulai dengan pembahasan yang ringan. Seingat saya adik angkat langsung menanyakan tujuan hidup, pertanyaan itu lumayan sulit untuk dijawab. Semakin ke sana-ke sini apa yang dibahas semakin dalam dan berat.
Satu di antara banyaknya bahasan kami, saya agak mikir tentang “tidak punya keinginan untuk bunuh diri”. Adik angkat itu bercerita tentang peristiwa-peristiwa pilu yang mendorongnya buat bunuh diri, di sambung dengan cerita saya yang juga sempat berpikir ingin demikian. Tak lama setelah cerita saya selesai, dia bertanya
“Lu aneh gak sih sama orang yang gak kepikiran bunuh diri?”
Saya jawab, “Enggak.“
Dia melanjutkan, “Soalnya cowok gua gak pernah kepikiran bunuh diri. Buat gua aneh ya karena di kehidupan yang bajingan ini dia gak kepikiran kaya gitu.”
Bagi saya tidak ada keinginan bunuh diri adalah hal yang lumrah di tengah-tengah orang yang berkeinginan bunuh diri, alasannya gampang saja yaitu hidup ini kompleks: ada hidup, ada mati, ada pula yang sakit-koma. Meski gak ngerasa aneh tapi saya juga tidak pernah tahu alasan lain seseorang enggan bunuh diri selain dilarang agama.
Tentu tidak memberitahu secara tersurat, terlebih Ini hanya sudut pandang pribadi yang mungkin saja salah. Si Neng -adik angkat saya, menarasikan atau menggambarkan pacarnya sebagai orang yang suka menyelesaikan masalah dengan cara yang berani, unik, sedikit gegabah dan konyol.
Mengetahui pacarnya Si Neng begitu “tingkahnya, saya spontan menilai si pacarnya ini sebagai pemeran utama -meskipun kita semua juga pemeran utama di hidup kita masing-masing.
Berdasarkan penilaian tersebut, saya berasumsi barangkali dengan kita merasa sebagai pemeran utama—di kehidupan yang bajingan ini (begitu kata Si Neng) itu akan mengurangi atau bahkan menghilangkan pikiran untuk melakukan bunuh diri.
Maksudnya begini, di zaman teknologi yang memudahkan segalanya, banyak orang —apalagi generasi muda merasa hidup di sisi lain peradaban atau merasa diri bukan pusat dunia (begitu kata founder nyimpang.com), ditambah mereka harus menghadapi masalah internal maupun eksternal dari dirinya sendiri yang sukar dilewati, sehingga menciptakan mental yang gampang menyerah dan gampang pula berpikir untuk melakukan bunuh diri.
Maka, kembali yang sudah disebutkan sebelumnya, barangkali dengan merasa sebagai pemeran utama itu akan mengurangi atau bahkan menghilangkan pikiran kita dari keinginan bunuh diri. Memang bagaimana caranya menjadi pemeran utama?
Tersedia 3 jawaban yang mungkin bisa disepakati bersama, dan jika tidak, boleh diabaikan saja.
Menyebutkan Kenshin di poin ketiga, saya jadi teringat dan menyadari pemeran utama dari Samurai X itu, ternyata memiliki ketiga poin di atas. Kenshin Himura diceritakan ingin bertaubat karena telah membunuh banyak orang, akhirnya ia memutuskan untuk berbuat baik dengan membantu kepolisian jepang. Selama masa pertobatan ia pernah bimbang hati, berpikir, apakah penebusan dosa yang setimpal buat pembunuh sepertinya, kemudian ia merasa untuk siap mati kapan saja. Ia pun pernah merasa dosanya bisa tertebus dengan bunuh diri. Tapi kebimbangan itu kemudian diluruskan oleh guru berpedangnya, sang guru mengatakan: Kenshin harus tetap hidup dan keahlian berpedang Kenshin dipakai untuk mengabdikan diri dengan melindungi orang-orang terdekat, juga untuk menjaga masyarakat, biarpun masyarakat tersebut masih menista atau mencemooh, Kenshin harus bertahan. Begitulah penebusan dosa semestinya dilakukan. Barangkali kita dapat mengambil pelajaran dari karakter fiksi sekalipun; dari karakter-karakter pemeran utama lainnya yang protagonis, yang terus bertahan, yang berkeahlian dan tentu yang tidak pernah berpikir untuk bunuh diri.
Bareng-bareng kita berkarya dan saling berbagi info nongkrong di grup whatsap kami.