Meniup Lilin Ulang Tahun di Usia Dewasa

Di mana aku harus meniup lilin? Bolu dengan lilin warna-warni yang melingkar membentuk angka hari ulang tahun, dengan balutan cream yang memanjakan lidah itu? Aku tak bisa menemukannya di umurku dewasa ini. Dugaanku, masih tersimpan oleh orang-orangnya bersedia bertepuk tangan di hari yang kata orang bahagia itu.

Kemarin malam, saya baru saja menyaksikan orang yang merayakan ulang tahunnya. Ya, seperti pada umumnya di sekitar kita. Perayaan ulang tahun kerap kali dirayakan dengan prelude lagu Jamrud yang familier itu, kau pasti tahu soal lagu itu. Situasi dibuat senormal mungkin, agar si doi ini tidak tahu bahwa hari ulang tahunnya akan dirayakan. Lalu, si pembawa kue datang dari belakang sambil memakai topi yang berbentuk kerucut itu. Lagu mulai dinayalakan dan ya perayaan dimulai dengan apa adanya. Iringan lagu Jamrud dan teman-teman berkeliling sambil memanjatkan doa terbaik untuknya.

Saya menyaksikan perayaan itu dari bangku depan, karena mereka bertepatan di sebelah bangkuku bagian belakang. Saya memandangnya dengan berkerut lidah dan bertanya dalam hati,

“Sebenarnya, apa yang mereka cari di hari perayaan?”

Saya sempat berdiskusi enteng dengan teman sebelah saya, tapi saya merasa tak menemukannya. Maka, saya lanjut mencarinya dengan menulis opini ini. Saya harap, saya bisa menemukannya. Semoga.

Dewasa ini, saya tidak begitu penting memikirkan soal umur. Bagiku, umur hanyalah umur. Hanya sebuah angka yang menunjukan sebuah tanda bahwa manusia telah hidup sekian puluh atau beratus tahun. Dalam artian, umur di sini tak berpaut pada bidang tertentu, seperti pekerjaan, status sosial atau hal-ihwal yang lainnya yang memiliki arti tertentu. Maksudku, ia hanya sebagai acuan bahwa kita telah masih diberikan hidup oleh sang Maha Pencipta.

Pertanyaan-pertanyaan yang berkelindan di kepalaku terus saja berputar-putar, seolah permasalahan ini belum selesai. Ia tetap saja hadir dalam semesta pikirku. Tidak lain, ya tentang pembahasan kita kali ini. Baik, saya akan mencoba menguraikan benang pikiran yang kusut ini.

Saya khawatir, ketika saya merayakan sebuah perayaan dalam hal ini adalah ulang tahun, Saya tetap merasa sepi dan bahkan lebih parah dari sebelumnya. Tentunya, ini bisa dalam perayaan apapun. Tidak berfokus pada pembahasan kita kali ini saja. Saya meminjam kata-kata yang saya pun lupa pernah baca di mana. Tapi, saya memparafrasekannya sendiri, ya. Sepi adalah tamu setia manusia yang hadir sebelum rindu tiba. Sepi senantiasa pergi ketika rindu datang, dan hadir di hadapannya.

Kehadiran rindu memiliki durasi yang amat sedikit waktunya dibandingkan dengan kesepian itu sendiri. Katakanlah hanya beberapa detik, menit, jam, hari, bulan atau bahkan tahunan. Ia memiliki ikatan yang tak bisa dilepaskan. Setelah waktu itu habis dalam hal ini rindu. Kesepian sudah menunggu di balik daun pintu. Ia siap memberondongmu; tepat di depan keningmu; dalam ruang kesunyian yang membelenggumu sampai rindu itu Kembali padamu. Sedikit puitis. Memang.

Saya berasumsi bahwa orang-orang tak kuat menahannya, tak tahan menahan yang sebegitu beratnya. Belitannya begitu kencang, ia mengalung di leher dan seringkali menjelma ular yang siap mematuk keningmu hingga taringnya menancap dan bisa-nya menjalar di sekujur tubuh dan memanggil memori-memori masa lalu yang hadir di sekelilingnya. Lalu, dalam batin ia menjerit keras: tak ada uluran tangan dari arah mana pun. Seringkali, ada uluran tangan dari berbagai bentuk, seseorang, sebuah lagu dan sebuah buku. Jika salah satu orang tersebut tak memilikinyaz maka bisa dikatakan ia terpasung dalam kesepian yang amat panjang zamannya.

Mari kita selangkah lebih dekat dengan tema pembahasan kali ini. Pada umumnya, orang merayakan ulang tahun dalam hal ini ingin ia diakui keberadaannya. Ia tak mau dinafikan oleh dunia, Maka, orang-orang seringkali mencari sebuah tanda agar ia dapat menempelkan “keadaanya” supaya “ada.” Hal ini patut disadari bahwa, mereka yang memiliki kecenderungan seperti ini, menempelkan “keadaannya” ke simbol—simbol tertentu. Sifat dasar manusia meliputi keberaannya seringkali membuat dirinya terus berpikir dan mencari dirinya. Di sini, dirinya “ada” di sekitarnya yang mampu menyelamatkannya dari dalam kungkungan kesepiannya.

Setiap orang menerjemahkan kesepian itu berbeda-beda. Dalam hal ini adalah terjemahan bebasku perihal kesepian yang dimiliki oleh sang penulis. Saya selalu mengaitkannya dengan permasalahan yang ada di sekitar saya. Sejalan dengan tema pembahasaan kali ini, yaitu kesepian yang dibalut dengan hari perayaan. Ya, bagi sebagian orang memang ribet membicarakan hal-hal yang tak seharusnya dibahas-lugas seperti ini. Bagi saya, justru hal ini adalah sebuah bentuk perekaman terhadap suatu peristiwa yang saya hadapi di sekitar saya. Di sisi lain, saya tak peduli apakah tulisan ini berguna atau tidaknya pada orang lain. Yang jelas, saya hanya menulis rekaman-rekaman yang dituangkan ke dalam tulisan. Hanya itu.

Saya baru menyadari bahwa ada perspektif lain dalam hal merayakan sebuah perayaan. Saya dapat ilham ini dari buku Menumis itu Gampang, Menulis Tidak karya Mahfud Ihwan yang dalam esainya perihal perayaan juga bahwa ketika ia merayakan sebuah perayaan ia seolah mendapat sesuatu. Tidak lain adalah sebuah kenikmatan sontak saya mendapat pencerahan yang datang secara tiba-tiba. Pada awalnya, saya masih menyanggah bahwa apa yang dikatakan Cak Mahfud itu begitu kawan-kawannya memanggil kurang riset atau kurang mendalam. Saya masih mendudukan posisiku di atas Cak Mahfud. Ya, saya tidak terima saja lhawong saya lagi menggali sumur perihal peryaan ini dalam-dalam malah ada yang mendahuluinya. Begitu kataku dalam hati yang bagian sombongnya. Tetapi, hati nuraniku mulai menengahi kedua belah pihak dan diminta tenang dahulu. “Selesaikan masalah dengan kepala dingin,” kata Pak RT.

Secara perlahan, saya mulai sadar dan setuju apa yang dikatakan Cak Mahfud itu. Saya mulai mengurainya satu persatu sambil Kembali menelaah tentang peryaan itu di dalamnya ada sebuah kenikmatan yang tiada tara. Terus terang, saya memparafrase apa yang dikatakan oleh Cak Mahfud dan saya betul mengimani esai itu.

Mari kita bedah lagi, adanya kenikmatan yang datang bertubi-tubi sungguh jarang terjadi. Seringkali, ia berkamuflase dengan derita yang menghantuinya dalam hal ini adalah trauma. Maksud saya adalah, kenikmatan itu datang hanya sebagai tirai penutupnya saja tapi jika disingkap ia berupa derita yang datang dari masa lalu. Maka, ada sebagian orang yang menolak bahwa perayaan itu tidak penting. Ia hanya mengundang beribu-ribu luka atau memori yang rusak hadir kembali di hadapannya.

Mari selangkah lebih dekat, memang ada yang seperti itu, tapi maksud saya adalah orang-orang yang merayakan sebuah perayaan entah itu bentuknya hari ulang tahun atau hari raya secara tidak langsung mendapatkan energi positif yang mana bisa berimplikasi pada kenikmatan tersebut. Seperti yang saya sebut di atas bahwa akan ada rasa derita atau trauma yang hadir, tapi rasa nikmat ini akan menepis itu semua. Memorinya akan pulih dan terekam jelas pada saat energi positif itu ada di sekeliling kita.

Pada akhirnya, saya memaknai sebuah perayaan itu hanya sebuah kata, tak lebih dan tak kurang. Ia hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu yang berarti tak semua orang mendapatkannya. Saya termasuk orang yang tak beruntung tak bisa mendapatkannya; jauh dari jangkauan. Saya tetap merayakannya dalam kesunyian. Dalam ruang yang sunyi dan meniup lilin itu dalam kesunyian. Selamat ulang tahun untuk diri saya. Wish you all the best.

Catatan: Esai ini ditulis pada tanggal 12-27 Juli 2025.

Syamsul Bahri seorang guru bahasa inggris di Yogyakarta. Selain kesibukannya menjadi guru, ia juga kadang-kadang menulis, esai, cerpen, puisi resensi dan hal lainnya yang sia-sia. Bisa disapa lewat Instagram: @dandelion_1922

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like
Yuk Berkawan

Bareng-bareng kita berkarya dan saling berbagi info nongkrong di grup whatsap kami.

Promo Gack dulu, dech Ayooo Berangkat!