Rasanya cukup melelahkan saat saya menulis esai personal, pengalaman pribadi, atau pengalaman orang lain terkait dengan kasus pelecehan dan kekerasan seksual. Semua hal menyangkut kasus ini benar-benar menguras energi saya.
Beberapa waktu lalu, saya melihat postingan teman-teman soal kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang dilakukan band straight edge kepada seorang perempuan. Kemunculan kasus baru pelecehan dan kekerasan seksual seperti lagu lama yang rasanya sepanjang tahun akan terus kita dengar, persis pemberitaan terkuaknya pelaku korupsi yang membudaya di balik dinding pemerintahan.
Untuk esai ini, saya hampir bingung mau menulis judul seperti apa, sebab saya hampir tidak pernah membagi-bagi kubu komunitas kecuali (1) dekat dengan pemerintah atau (2) tidak sama sekali. Maka apa pun bidangnya, secara personal saya hanya akan membaginya dengan 2 hal tadi. Lalu untuk kubu yang kedua, saya menyebutnya kolektif akar-rumput.
Kolektif Akar Rumput
Anggaplah kita semua sepakat bahwa kolektif akar rumput merupakan kolektif organik yang berasal ‘dari bawah’, dan yang punya kesadaran terhadap apa yang menjadi fokusnya masing-masing. Sosial, politik, atau seni sekali pun.
Saya tumbuh di lingkungan literasi, aktivisme, dan seni. Pergerakan yang hampir sama bila dilihat dari nilai-nilai yang seringkali dijunjung seperti humanisme, positivitas, dan asas-asas kolektif lain. Selebihnya, masing-masing kelompok dan individu memiliki fokusnya sendiri, termasuk saya.
Agaknya bukan sesuatu yang berlebihan kalau saya katakan, kita (atau kami) memiliki musuh yang sama: kekuasaan dan penindasan kelas, termasuk tetek bengek lain seperti kapitalisme, patriarki, stigma, stereotip, seksisme, konsumerisme, dan hal-hal ngehek lain.
Seringkali saya merasa lantang juga menyuarakan isu-isu kesetaraan gender dengan membuat kolom #MeToo di Nyimpangdotcom buat para korban yang ingin speak up soal pengalamannya bertahan dengan pelecehan dan kekerasan seksual yang pernah dialami. Semoga saja upaya kecil dan gak seberapa ini bisa membantu siapa pun yang membutuhkan, sebab saya paham betul perasaan tidak nyaman yang timbul setelah mendapat perlakuan tak menyenangkan itu.
Beberapa tahun di belakang, saya tergabung ke dalam kolektif aktivisme di Karawang. Kolektif yang akhirnya saya tinggalkan karena pada saat itu beberapa anggota gak becus menjaga isi celananya, beberapa lainnya hanya butuh jaringan pemasok narkotika atau mabokan gratis, dan alasan lainnya karena saya terlanjur menjadi pengecut saja karena gak bisa menghadapi semuanya.
Beberapa orang mungkin gak suka dengan yang saya tulis, tapi pada faktanya, kolektif yang beririsan dengan saya (atau barangkali kita) memang akan selalu jadi ladang basah kasus narkotika, pelecehan dan kekerasan seksual, seumpama parlemen yang akan selalu jadi lahan subur praktik korupsi. Kemudian sebagaimana negara, kolektif akar-rumput rasanya semakin kecolongan dalam melindungi anggotanya.
Kalau begitu, apa bedanya kita (atau saya) dengan –sebutlah polisi atau tentara yang hanya minta maaf kalau ke-gap viral waktu melakukan kesalahan? Yang pada saat lembaga menyebutnya ‘oknum’, di antara kita jadi seolah-olah gak terima kalau hanya itu yang bisa dilakukan.
Jika memang begitu, lantas sejauh mana kita melakukan tindak pencegahan pelecehan dan kekerasan seksual terhadap teman-teman terdekat kita? Sudahkah kita mengawasi obrolan ringan di kelompok kita? Seberapa jauh kita paham bahwa celotehan di dalam koloni kita dapat membentuk pikiran dan memengaruhi energi personal? Sudahkah kita memberikan ruang aman pada setiap anggota?
Pelecehan dan Kekerasan Seksual pada Kolektif Akar Rumput
Saya yakin sepenuhnya bahwa pelecehan dan kekerasan seksual terjadi tidak hanya pada lapisan kolektif saja. Didanai satu pihak, banyak pihak, atau tidak didanai pun, sebuah kelompok selalu memiliki resiko dihadapkan dengan kasus ini. Bahkan lingkup keluarga dan pendidikan pun tak luput dari persoalan pelecehan dan kekerasan seksual.
Sudah banyak kasus terungkap yang mengumumkan sosok guru, pemuka agama, hingga anggota keluarga sebagai pelaku pelecehan dan kekerasan seksual. Pemberitaan yang lagi-lagi membuat jengah.
Awal tahun 2023, saya menyunting sebuah tulisan yang masuk ke Nyimpangdotcom, yang membeberkan kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi di suatu kelompok, dan pelecehan dilakukan oleh ‘sesepuh’ kelompok tersebut.
Betapa najis kalau saya lihat pelaku bahkan sampai saat ini haha-hehe melenggang dengan asyiknya di media sosial lengkap dengan citranya yang busuk. Sedangkan korban (mungkin) hingga detik ini memilih untuk tidak pernah berkomunitas lagi atau bahkan tidak akan pernah pulang ke kota asalnya.
Yang mesti kita soroti adalah alasan korban untuk tidak lagi berkomunitas, bahkan tidak pernah pulang ke tempat asalnya. Biar bagaimana pun, dua hal tersebut adalah bukti kegagalan kita semua dalam memberikan ruang aman di lingkup komunitas dan kolektif akar rumput. Saya memang tidak tahu organisasi kasus yang saya sebutkan itu akar rumput atau bukan. Apa pun klasifikasinya, hal ini adalah tanggung jawab kita sebagai yang terlibat pada sebuah kolektif.
Beberapa teman lain menceritakan soal pengalamannya mengalami pelecehan dan kekerasan seksual pada saat menjadi penonton gigs-gigs lokal. Tak aneh. Saya pernah menerbitkan sebuah tulisan di Nyimpang terkait pengalaman saya nonton gigs lokal di Cikampek yang dihadiri band yang pada saat itu lagi laku-lakunya. Entah MC atau vokalis band-nya berkelakar seperti ini,
“Kemarin gua nyobain jablay Pantura noh yang di Rumah Makan Padang, gocap! Abis gua pake, pulang-pulang titit gua bau rendang.”
Saya rasa pembaca punya penilaian masing-masing terhadap kalimat tersebut. Kalau pun beberapa pembaca ada yang menganggap itu sekadar jokes, pembaca harus ingat bahwa jokes itu dilontarkan di acara gigs yang dihadiri orang banyak. Entah yang ngomong mabok atau enggak. Tapi coba pikirkan begini. Orang yang memegang mic menurut saya adalah orang yang memiliki kekuatan untuk melantangkan suaranya. Begitu, bukan? Lagian serius, deh! Dia tahu gak sih dampak dari apa yang dia bicarain?
Pikiran betapa menyeramkan saat orang yang memegang mic itu menggunakan suaranya untuk melantangkan jokes yang @#$%^&*!!!!
Yang jelas poin pentingnya: sejak kapan kita boleh menertawakan profesi orang lain atau perjuangannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya?
Pada titik tersebut, saya merasa acara gigs (yang saya datangi saat itu) tidak ada bedanya dengan sidang Fatia-Haris yang membuka fakta lain bahwa Ketua Majelis Hakim PN Jakarta Timur adalah seorang misoginis.
Lalu, adilkah kalau saya bilang bahwa semua kolektif sama saja! sebagaimana semua pemerintah sama saja! tapi enggak sih. Saya gak pernah sampai pada pemikiran final kalau kolektif dan pemerintah itu sama, karena tentu jha kolektif (mungkin) tidak akan makan wang padjak rakjat. Saya juga bukan tipe orang yang suka nyama-nyamain tok seperti Wira tempo hari, yang bahkan sampai sekarang pundung sama saya. Sebagai cerminan aja, kamu ikut kolektifmu itu buat keren-kerenan aja atau gimana?
Loh, saya pernah dilecehin sama koordinator jaringan lingkungan, kok. Yang dielu-elukan dari Sabang sampai Merauke. Merasa wow gitu kali, ya? Merasa oke. Gak tahu, lah.
Acapkali kita merasa gagah karena menjadi liyan, merasa paling pintar karena bacaan kita yang (mungkin tidak pernah selesai) adalah kanon, merasa keren meneriaki keadilan padahal di dalam tubuh sendiri ada sesuatu yang rongsok dan busuk: birahi yang tidak pada tempatnya, pengakuan diri, serta pasokan narkotika, gorila, dan ganja.
Kalau sudah begini, coba tanya lagi diri sendiri/kolektifmu.
Mau jadi akar rumput yang mana dan yang seperti apa?