Bau-bau pemilu udah makin menyengat, nih. Kita bisa lihat di pinggir jalan, bahkan di properti pribadi (tanpa izin) udah ditempel macam-macam publikasi kampanye. Saya sendiri gak gitu peduli dengan pesta demokrasi yang digelar 2024 mendatang. Buat saya sendiri, janji-janji politik yang ‘mereka’ sampaikan sama PHP-nya kayak pacar kamu datang kalau lagi ada maunya aja.
Kenapa saya bilang gitu? Hm gini. Kita semua dengar janji mereka sebelum pemilu, kan? Gimana? Manis banget, kan? Pas mereka terpilih sebagian besar janji itu kayak angin lewat aja. Terlalu banyak fafifu yang keluar. Mulai dari sistem yang sudah mengakar lah, kalah suara di parlemen lah, dan ujung-ujungnya pemilu Cuma jadi momen cari kerja atau memperkuat lini bisnis yang mereka miliki.
Sebelum kedagingnya, saya mau bahas tentang Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menjadi Undang-Undang (“UU Pemilu”).
Bentar, editor napas dulu atuh da panjang.
Beberapa waktu lalu, ramai di media sosial mengenai ancaman pidana dan denda kepada siapa pun yang menghasut orang lain untuk golput.
Saya memahami pembuat kebijakan sangat khawatir karena penurunan jumlah pemilih dalam rentang waktu dari 2004-2014 (karena ketentuan ini terbit di tahun 2017). Mereka khawatir pada pemilu 2019, yang menunjukkan bahwa golput meningkat. Dengan disahkannya UU Pemilu, KPU mengklaim penurunan jumlah masyarakat golput di tahun 2019. Namun apakah bijak jika melalui ancaman pidana untuk mengurangi golput pada pemilihan umum?
Ketentuan tersebut tercermin dalam Pasal 515 UU Pemilu, yang bunyinya gini,
“Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dilihat jika seseorang melakukan hasutan pada saat pemungutan suara dengan cara menjanjikan uang atau materi lainnya sehingga pemilih menjadi golput, maka dapat membuat seseorang itu dipidana dan didenda. Sehingga ketentuan tersebut tidak dapat dikenai kepada orang yang memberikan pandangan objektif dengan tidak menjanjikan uang atau materi lainnya kepada calon pemilih.
Jadi, berita yang viral di media sosial itu cuma sebagian dari ketentuan pasal 515 UU Pemilu. Dan yang terpenting: jangan ragu buat bersuara, ya!
Sekarang pertanyaannya, gimana kamu menyikapi pemilu 2024 ini? Saya sendiri gak melabeli diri sebagai ‘si paling apatis’ pada politik praktis, tapi sedikit-banyak saya memahami cara kerja partai politik.
Saya ingat kutipan Soe Hok Gie dalam Catatan Seorang Demonstran, gini katanya:
“Politik adalah barang yang paling kotor, lumpur-lumpur kotor yang didalamnya sama sekali tak mengenal moral.” yang di akhir kalimatnya Hok Gie menuliskan,
“Tetapi suatu saat di mana kita tak dapat menghindari lagi, maka terjunlah … dan jika sekiranya sudah sampai, aku akan ke lumpur.”
Saya sendiri dapat memahami bahwa dalam politik praktis itu gak ada kawan atau lawan, yang terpenting dan yang abadi itu kepentingan. Kamu akan berwarna cokelat pada saat mereka dapat mengakomodir kepentinganmu, juga akan berwarna ungu pada saat warna cokelat tidak sesuai ekspektasimu.
Beberapa hal yang saya ketahui pula dalam dunia politik praktis akan sangat erat dengan dunia bisnis. Coba aja deh, kalau kamu background checking kepada anggota parlemen (pusat atau daerah), pasti sebagian besar merupakan pemilik atau minimal kerabat pengusaha, lah. Mengapa demikian? karena dengan berada dalam parlemen, mereka bisa membuat kebijakan yang mampu melancarkan usaha dan bisnis mereka. Kiw.
Kita juga sudah gak asing dengan ongkos politik praktis di Indonesia bukan main mahalnya. Saya memiliki teman yang pernah mencalonkan diri sebagai anggota parlemen di daerah. Saya lumayan kaget dengan nominal yang dikeluarkan untuk alat peraga kampanye, saksi-saksi di TPS, kebutuhan operasional, sampai panggung kampanye.
Bahkan menurutnya, nominal yang digelontorkannya itu masih tergolong kecil, padahal bisa nguliahin 7-9 orang kata saya mah. Udah gitu nggak kepilih lagi, sakitnya ke ubun-ubun gak, sih?:(
Segitu baru di daerah, gimana ongkos politik buat jadi parlemen di pusat?
Memang berdasarkan UU Pemilu, siapa pun dapat mengikuti dan mencalonkan dirinya. Tapi kan kenyataannya buat ikut nyalonin diri kamu harus punya bekal yang cukup. Bukan ilmu aja, ya. Bekal uang paling penting dalam hal ini.
Saya pun sempat diskusi dengan teman saya itu,
“Emang dengan kamu masuk ke dalam, aspirasi pemilihmu beneran bisa dijalankan?”
karena dalam pembuatan kebijakan, tentu jha banyak kepentingan lain yang ngantri diakomodir pula. Sehingga menurut saya, bukan dengan masuk ke dalam kolam tersebut jika ingin merubah sesuatu.
Saya sendiri mengambil sikap dari perkataan akhir Hok Gie,
“Pada saat kita tak dapat menghindari politik, maka akan saya akan terjun ke lumpur,”
Namun tidak dengan masuk partai politik. Saya akan bersikap politik dalam hal lain, dengan tetap berada di akar rumput dan bersama kawan-kawan yang memperjuangkan hak atas hidup, mendorong teman-teman untuk mandiri secara ekonomi, dan menjadi antitesis. Yoai.